JAKARTA, TODAY—Hingga akhir April 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.279,28 triliun. Naik Rp 7,46 triliun dibandingkan akhir Maret 2016, yaitu Rp 3.271,82 triliun. Itu artinya, setiap warÂga negara Indonesia menangÂgung utang Rp13 juta, dengan total total penduduk Indonesia 254,9 jiwa.
Dalam denomiÂnasi dolar AS, jumÂlah utang pemerintah pusat di akhir
April 2016 adalah USD 248,36 miliar, naik dari posisi akhir Maret 2016 yang sebesar USD 246,45 miliar.
Sebagian besar utang pemerintah adalah dalam bentuk Surat Berharga NegÂara (SBN). Sampai akhir April 2016, nilai penerbitan SBN mencapai Rp 2.529,92 triliun, naik dari akhir Maret 2016 yang sebesar Rp 2.521,66 triliun. Sementara itu, pinjaman (baik bilateral maupun mulÂtilateral) tercatat Rp 749,37 triliun, turun dari bulan sebelumnya Rp 750,16 triliun.
Menteri Keuangan, Bambang BrodÂjonegoro, kemarin mengatakan selama anggaran negara defisit, maka utang pasti akan bertambah. Bambng berÂcerita, dalam kondisi sekarang tidak ada satu pun negara dengan anggaran yang surplus. Artinya negara-negara mengguÂnakan utang untuk menutupi kebutuhan belanja.
Saat ini, Indonesia masih memiliki pinjaman luar negeri. Per April 2016, utang luar negeri pemerintah Indonesia (baik bilateral maupun multilateral) terÂcatat Rp 745,04 triliun, turun tipis dari akhir Maret 2016 yang sebesar Rp 745,82 triliun.
Secara bilateral, Jepang, Prancis, dan Jerman masih menjadi kreditur terbesar utang Indonesia. Sementara secara mulÂtilateral, Indonesia masih meminjam dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).
Berikut adalah pemberi pinjaman bilateral dan multilateral terbesar buat Indonesia, seperti dikutip dari data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko KeÂmenterian Keuangan, Selasa (24/5/2016).
- Islamic Development Bank (IDB)
Per April 2016, utang pemerintah Indonesia ke IDB mencapai Rp 9 triliun, naik dari bulan sebelumnya Rp 8,75 trilÂiun. Persentasenya adalah 1,2% dari total utang luar negeri Indonesia.
- Jerman
Hingga April 2016, utang pemerintah Indonesia ke Jerman mencapai Rp 21,71 triliun, naik tipis dari bulan sebelumnya Rp 21,82 triliun. Ini adalah 2,9% dari total utang luar negeri pemerintah pusat.
- Prancis
Sampai April 2016, utang Indonesia ke Prancis mencapai Rp 25,53 triliun. Turun dari bulan sebelumnya Rp 26,38 triliun. Jumlah tersebut adalah 3,4% dari total utang luar negeri pemerintah pusat.
- Bank Pembangunan Asia (ADB)
Utang dari ADB per April 2016 adalah Rp 118,68 triliun, turun dari bulan seÂbelumnya Rp 121,01 triliun. Jumlah ini adalah 15,9% dari total utang luar negeri pemerintah pusat.
- Bank Dunia
Bank Dunia memberi utang ke pemerintah Indonesia. Jumlahnya hingÂga akhir April 2016 mencapai Rp 218,66 triliun, turun dari bulan sebelumnya Rp 221,43 triliun.
Utang Indonesia ke Bank Dunia menÂcapai 29,3% dari total utang luar negeri pemerintah.
- Jepang
Negeri Matahari Terbit kembali menÂjadi pemberi utang terbesar ke pemerÂintah Indonesia. Per April 2016, utang pemerintah Indonesia ke Jepang mencaÂpai Rp 226,56 triliun, naik dari bulan seÂbelumnya Rp 220,04 triliun.
Utang tersebut mencapai 30,4% dari total pinjaman. Selain 6 besar ini, Indonesia juga memiÂliki utang luar negeri ke negara ini:Korea Selatan Rp 19,74 triliun
China Rp 11,98 triliun
Amerika Serikat (AS) Rp 10,72 triliun
Australia Rp 7,85 triliun
Spanyol Rp 3,84 triliun
Rusia Rp 3,52 triliun
Inggris Rp 3,42 triliun
Mengutip data Ditjen PengeloÂlaan Pembiayaan dan Risiko KementÂerian Keuangan, Selasa (24/5/2016), total pembayaran cicilan utang pemerÂintah pada Januari-April 2016 adalah Rp 182,672 triliun, atau 38,03% dari pagu, atau yang dialokasikan di APBN.Pembayaran pokok utang pada periode itu mencapai Rp 119,15 triliun, terdiri dari pokok pinjaman Rp 15,557 triliun atau 22,47% dari pagu APBN. Kemudian pembayaran pokok Surat Berharga NegaÂra (SBN) Rp 103,593 triliun atau 45,81% dari pagu APBN.
Sementara untuk pembayaran bunga utang, pada periode itu adalah Rp 63,522 triliun atau 34,35% dari pagu APBN. PemÂbayaran bunga pinjaman sepanjang periÂode itu adalah Rp 4,646 triliun (27,61% dari pagu APBN). Sementara untuk SBN, bunga yang dibayar tercatat Rp 58,876 triliun (35,02% dari pagu APBN).
“Utang itu muncul ketika jumlah beÂlanja lebih besar dari penerimaan. SeÂlama budget (anggaran) direncanakan seÂlalu defisit, maka pasti ada penambahan utang,†jelas Bambang.
Utang menjadi kebutuhan, karena untuk mendorong pertumbuhan ekoÂnomi yang masih melambat. Bambang menjelaskan, dari sisi konsumsi rumah tangga dan investasi swasta cenderung melambat. Sehingga diperlukan doÂrongan belanja pemerintah. “Penerimaan belum dapat menutupi belanja yang beÂsar, makanya dibutuhkan pembiayaan dari utang,†paparnya.
Penambahan nominal utang dipenÂgaruhi oleh dua hal. Pertama memang karena penarikan utang baru, dan kedua adalah depresiasi dari nilai tukar rupiah. Sebab pemerintah juga menerbitkan suÂrat utang berdenominasi valuta asing. “Tambahan utang itu karena memang tambah utang dan kedua adalah deprÂesiasi mata uang,†tegas Bambang.
Hal ini menjawab pertanyaan dari angÂgota Komisi XI, Jhony F Plate. Jhony memÂpertanyakan nominal utang pemerintah yang sangat besar. “Ini kok utang itu terus bertambah dan katanya sudah mencapai Rp 3.000 triliun, kenapa ini?†tanya Jhony pada kesempatan yang sama.
Bambang menceritakan dalam kondiÂsi sekarang tidak ada satupun negara dengan anggaran yang surplus. Artinya negara-negara menggunakan utang unÂtuk menutupi kebutuhan belanja. “Saya tidak mencari alasan, memang tidak ada budget yang surplus. Semuanya defisit,†kata Bambang.
Bahkan, menurut Bambang utang negara lain jauh lebih besar dari IndoÂnesia, baik secara nominal maupun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “Negara sepantaran dengan kita itu budget deficit-nya itu lebih tinggi dari kita. Mereka utangnya lebih tinggi secara nominal pastinya,†terangnya.
Tadinya, Arab Saudi merupakan salah satu negara dengan anggaran negara yang selalu surplus. Akan tetapi, setelah harga minyak turun drastis sampai denÂgan USD 30 per barel, penerimaan negaÂranya langsung anjlok.
Bambang menyatakan defisit angÂgaran Arab Saudi pada 2016 mencapai 20% atas PDB. Sehingga Arab Saudi mulai menerbitkan surat utang untuk menuÂtupi belanja. “Arab Saudi yang biasanya surplus, itu defisit 20% karena harga minÂyaknya jatuh,†tegas Bambang.
(Yuska Apitya Aji)
Bagi Halaman