MAHKAMAH Agung (MA) wajib berbenah dan transparan untuk memberantas praktik maÂfia peradilan. Ketetutupan MA selama ini jadi celah bagi mafia untuk memainkan kasus. ReÂformasi lembaga peradilan belum berdampak langsung bagi jaringan mafia hukum. Masih banyak celah di MA yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Dalam kaukus bahasa, Mafia peradilan bisa dianalogikan seperi jaring laba-laba, bisa jatuh, bisa menguat, sulit sekali membongkar jaringan mafia peradilan ini. Reformasi dengan segala macam pembaruan di sektor yudisial sudah sejak 1999. Kenyataan hingga saat ini, mafia hukum di lembaga tersebut tetap jaya.
Beberapa waktu lalu, KPK menangkap paÂnitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution karena diduga menerima suap terkait pengamanan perkara. Dari penÂangkapan Edy, penyidik menggeledah rumah Sekretaris MA Nurhadi dan menyita uang asÂing Rp1,7 miliar.
Senin 23 Mei 2016, KPK mengungkap kaÂsus suap kepada Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba, hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bengkulu Toton, dan Panitera Pengganti PN Bengkulu BadaruÂdin Bacshin. Suap Rp650 juta agar Pengadilan memvonis bebas Kabag Keuangan RSUD M. Yunus, Safri Safei dan mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUD M. Yunus, Edi Santoni. 38 hakim dan panitera saat ini terÂsandung kasus korupsi.
Modus pengamanan perkara di lembaga peradilan antara lain terjadi sebelum persidanÂgan. Calo perkara membangun hubungan baik dengan hakim atau pegawai pengadilan denÂgan memberikan hadiah atau fasilitas. Hutang budi akhirnya terbangun ketika berperkara.
Saat tahap pendaftaran perkara pun sering ada pungutan liar di luar ketentuan dan menawarkan penggunaan jasa advokat tertenÂtu. Biasanya, kata Bivitri, mafia mengaku bisa mempercepat atau memperlambat pemerikÂsaan perkara.
Modus lainnya, mafia meminta pihak terÂtentu mengatur majelis hakim yang menanÂgani perkara. Ketika sidang berlangsung, muncul upaya merekayasa persidangan denÂgan mengatur saksi, pengadaan barang bukti, sampai pada mengatur putusan pengadilan.
\Tak hanya itu, mafia memungut biaya unÂtuk mempercepat atau memperlambat putuÂsan. Semua bisa diatur di lembaga peradilan. Ini menyedihkan.
Sayangnya, MA tidak merespons dengan baik kenyataan banyak pegawai lembaga peraÂdilan yang ditangkap karena main kasus. SeÂharusnya, MA membuka diri dan menyiapkan langkah strategis agar persoalan ini selesai.
Langkah strategis tersebut tidak hanya membentuk tim khusus di bawah Badan PenÂgawas MA, melainkan bekerja sama dengan KPK dan Komisi Yudisial dalam memetakan jaringan mafia peradilan dan merumuskan sistem pengawasan. Lembaga peradilan saat ini sudah babak belur. Keadilan negara suÂdah rusak. MA perlu memberikan penjelaÂsan kepada publik dan pengakuan bagaÂiamana rencana perbaikannya. Jika tidak, wajah MA akan tercoreng permanen. SupreÂmasi publik terhadap hukum jelas akan puÂdar. Dampaknya, para penjahat dengan muÂdah menganggap kejahatan adalah hal yang bisa ditolerare karena sanksi bisa dinego.(*)
Bagi Halaman