TUJUH puluh satu (71) tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan hasil “penyelamannya†tentang jati diri bangsa Indonesia dalam Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Oleh: Wahyu Mulyana, S. Ip, M. Si
Dewan Pertimbangan, Persatuan Mahasiswa Kota Bogor (PMKB)
Setelah para anggota siÂdang berdebat panjang mengenai apa yang diÂjadikan dasar negara, Bung Karno dengan begitu yakin berdiri tegak di poÂdium seraya menyampaikan lima asas sebagai dasar negara yang kemudian ia namakan dengan Pancasila.
Dalam proses perjalananÂnya, konseptualisasi Pancasila sebagai ideologi bangsa telah mengalami tiga fase penting yang menjadi satu rangkaian bersejaÂrah, yaitu; fase pembuahan, fase perumusan dan fase pengesahan.
Dikatakan oleh Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna, fase pembuaÂhan dimulai pada tahun 1920-an dalam bentuk rintisan gagasan untuk mencarisintesis antar ideÂologi seiring dengan proses “penÂemuan†Indonesia sebagai nasiÂonalisme sipil (civicnationalism).
Kemudian fase perumusan ditandai dengan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang juga digodok lebih lanjut melalui PaniÂtia Sembilan untuk menyempurÂnakan rumusan Pancasila dalam pidato Bung Karno dengan versi Piagam Jakarta yang didalamnya mengandung “Tujuh Kata.†Pada akhirnya, konseptualisasi PanÂcasila berujung pada fase pengeÂsahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang hingga kini mengikat seluruh Warga Negara Indonesia secara konstitusional.
Setelah 71 tahun Pancasila mengikat bagi republik ini, maÂsyarakat justru disajikan dengan perilaku berbangsa yang jauh dari nilai-nilai Pancasila. KeÂmerdekaan yang dibangun atas dasarPancasila, justru menghadÂirkan ruang yang lapang bagi politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerjakeras, perniagaan tanÂpa moralitas, pendidikan tanpa karakter dan kebudayaan yang bercorak asing.
Kehidupan bernegara yang seharusnya juga berlandaskan nilai-nilai adiluhung Pancasila, nyatanyaterpelosok pada apa yang disebut oleh Machiavelli seÂbagai peradaban korup (citta corÂrottisima).
Bagaimana tidak, data KeÂmendagri menunjukkan bahwa 343 Kepala Daerah – baik GuberÂnurmaupun Bupati/Walikota – telah terlibat kasus hukum di KeÂjaksaan atau KPK. Sebagian besar darimereka diketahui melakuÂkan korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah yang bersumÂber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, penÂgadaan barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, serta perjalaÂnan dinas. Peradaban korup ini kemudian diperparah dengan ketimpanganekonomi yang beÂgitu tajam antara si kaya (The Have) dan si miskin (The Have Not) dengan Ratio Gini Indonesia yang berada di level 0,40 menuÂrut data tahun 2015 lalu.
Akibat Elit Politik
Peradaban korup dan ketÂimpangan ekonomi yang tajam di negeri ini pada akhirnya menunÂtut pertanggungjawaban para elit politik. Sebagai aktor utama pembuat kebijakan, mereka jusÂtru membunuh harapan dan melahirkan kemarahan dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Kejujuran dijauhi, keserakaÂhan disekutukan dan hukum denÂgan mudahnya merasa bisa diÂbeli. Moralitas dan politik ibarat air dan minyak yang takkan perÂnah bersatu, mungkin inilah yang disebut bencana politik.
Lebih lanjut, bencana politik ini kemudian menjadi akseleraÂtor yang ideal bagi kelompok-kelompok anti Pancasila untuk kian lantang bersuara. Ditengah keterbukaan dan kebebasanberÂpendapat – terlebih lagi dengan bencana politik yang kini sedang terjadi – kelompok anti Pancasila ini menjadi kian percaya diri bahÂwa pemahaman merekalah yang harus ditegakkan di negeri yang kita cintai, inilah ujian bagi 71 taÂhun Pancasila.
Terlepas dari landasan teoÂlogis atau pemahaman apapun yang mendasari ke-anti-an merÂekaterhadap Pancasila, bagi saya gerakan-gerakan anti Pancasila adalah “gugatan†kepada para elit politikagar berbenah diri dan kembali pada nilai-nilai Pancasila.
Kelompok-kelompok anti Pancasila samasekali bukan anÂcaman yang serius jika para elit politik mampu menghadirkan siÂfat-sifat positif layaknya manusia ber-Tuhan, beradab, menjaga persatuan, menghadirkan keÂbijaksanaan dalam perwakilan, serta mewujudkan keadilan sosÂial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adanya kelompok-kelompok anti Pancasila ditengah bencana politik saat ini tidak perludirÂespon dengan berlebihan (over react). Tak ada lagi pertarungan ideologi dalam konstelasi poliÂtik global, Perang Dingin (Cold War) sudah lama berakhir. Yang terjadi sekarang justru pertaÂrungan kepentingan (conflict of interest), terutama kepentÂingan ekonomi–politik dari inÂternal maupuneksternal. Maka dari itu, melawan kelompok anti Pancasila harus menjadikan perÂjuangan mereka sebagai perjuanÂgan semu dan menjadikan kamÂpanye mereka “tidak laku.†Jadi, memperkuat pengamalan nilai-nilai Pancasila itu sendiri adalah metode penangkalan yang palÂing relevan dibanding berteriak-teriak atau orasi tak berbobot, yang justru kian menampakkan ketidakberdayaan diri sendiriÂdalam mengatasi gerakan-gerÂakan anti Pancasila.
Jika pengamalan nilai-nilai Pancasila diperkuat dan terlakÂsana dengan baik, yakni ketika paraelit politik dengan tingkah-laku dan produk kebijakannya berhasil menghadirkan sifat-sifat positiflayaknya manusia ber-TuÂhan, beradab, serta terwujudnya keadilan sosial, maka kelompok-kelompokanti Pancasila ini takÂkan bisa tumbuh subur, teriakkan mereka takkan lantang seperti sekarang, dantakkan ada ruang bagi mereka untuk memperalat masyarakat.
Revitalisasi Pancasila
Persoalan-persoalan kebangÂsaan yang telah mencapai titik kronis ini pada akhirnyamemunÂculkan banyak tanya di dalam benak kita. Masihkah penting dan diperlukan Pancasila? SeberÂapa digdaya Pancasila ditengah berbagai anomali dan perubahan zaman yang begitu cepat? AtauÂbahkan, mungkin saja keadaan kronis ini justru membuat beberÂapa orang sangat apatis. JangankÂan memikirkan Pancasila, bagi beberapa orang kehidupan sudah cukup njelimet dengan kebutuÂhan pokok, cicilan-cicilan, atau mungkin tunggakan kartu kredit.
Kedigdayaan Pancasila sebetÂulnya telah diakui oleh banyak pemikir dunia. Salah satu penÂgakuan itu adalah ketika nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila mendapat pujian dari Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif dan jalan tengah antara ideologi demokrasi-kapitalis denÂgan ideologi komunis. Ia bahkan menyatakanbahwa Bung Karno adalah seorang pemikir besar dari belahan Timur (Great ThinkÂer in The East).
Tristan Mabry, salah satu DokÂtor Ilmu Politik dari University of Pennsylvania juga mengakuibahÂwa kehadiran Pancasila sebagai dasar negara begitu penting dan telah berhasil membangunidenÂtitas nasional sebagai identitas sipil (civic identity), bukan idenÂtitas etnis (ethnic identity) seperti Thailand dan Myanmar sehingga keduanya terus mengalami konÂflik etnis yang berkepanjanganÂhingga saat ini.
Sayangnya, kedigdayaan dan berbagai pengakuan dunia terhadap Pancasila tidak sejaÂlandengan praktek pengamalan Pancasila di negerinya sendiri. Padahal, Pancasila telah memiÂliki landasan ontologis, epistiÂmologis dan aksiologis yang sanÂgat kuat. Jika saja semua pihak memahami,meyakini dan menÂgamalkannya dengan baik, maka tujuan untuk mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa ini buÂkanlah perkara sulit. Setelah 71 tahun tegaknya Pancasila di negÂeri ini, kita harus kembali bangÂkit seraya melakukan revitalisasi Pancasila.
Revitalisasi Pancasila meruÂpakan suatu proses menghidupÂkan kembali nilai-nilai Pancasila kedalam kehidupan masyarakat. Proses ini, baik secara perbuatan maupun cara berpikir, dimaksudÂkanuntuk membuat Pancasila menjadi lebih aplikatif dalam konteks kenegaraan yang melÂingkupiberbagai dimensi, yaitu; politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
71 tahun Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak boleh seÂbatas peringatan dan seremoÂnial belaka, ia harus dipahami dengan komprehensif, diyakini dengan teguh dan diamalkan dengan sungguh-sungguh. DirgaÂhayu Pancasila, Dirgahayu IdeÂologi Bangsa. (*)
Bagi Halaman