JAKARTA, TODAY—Pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) sepakat menetapkan asumsi Harga MinÂyak Mentah Indonesia (ICP) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pe 2016 (RAPBNP) pada level USD40 per barel. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan usulan awal pemerinÂtah di harga USD35 per barel.
“Kami melihat sampai dengan Juni rata-rata ICP ada di angka sekitar USD36,42 per barel. Estimasi kami dari Juli sampai Agustus itu rata-rata ICP sekitar USD45 per barel. Jadi kaÂlau kita lihat rata-rata ICP setahun itu di angka USD40 per barel,†kata KeÂpala Badan Kebijakan Fiskal KementÂerian Keuangan (BKF Kemenkeu) SuaÂhasil Nazara, Rabu(15/6/2016).
Sebelumnya, keputusan rapat Komisi VII menyepakati asumsi ICP sebesar USD 45 per barel dengan mempertimbangkan tren kenaikan harga minyak dunia. Namun demikiÂan, Suahasil menilai asumsi tersebut akan sulit tercapai dan bisa menimÂbulkan risiko pelebaran defisit anggaÂran di akhir tahun. “ Pengertian kami kalau rata-rata asumsi ICP USD45, maka di sisa Juli-Desember rata-rata ICP harus diangka USD54 per barel. Pada pertengahan Juni rata-rata ICP USD36 per barel memang sedang tren naik. Tapi di sekitar musim paÂnas Augustus-September akan turun dan di musim dingin biasanya naik lagi,†jelasnya.
Lebih lanjut, kenaikan asumsi tersebut berpotensi menaikkan penerimaan dalam anggaran tahun ini. Kendati demikian, Suahasil menÂgaku belum menghitung potensi penerimaan tambahan dari perubaÂhan asumsi tersebut. “Target peneriÂmaan nanti akan meningkat tetapi juga ada sisi lain yaitu subsidi, yang bisa jadi meningkat,†ujarnya.
Sampai saat ini, besaran subÂsidi akibat perubahan kesepakatan harga ICP sendiri belum tuntas dibiÂcarakan dalam Banggar DPR. Selain menyepakati perubahan asumsi ICP, pemerintah dan Banggar DPR juga menyepakati lifting minyak bumi sebesar 820 ribu barel per hari (bph) dan lifting gas 1,15 juta barel setara minyak p er hari, serta biaya operasi minyak dan gas bumi yang ditagihkan kepada negara (cost recovery) sebeÂsar USD8 miliar.
Terkait subsidi listrik sebesar Rp38,39 triliun yang masih tercantum dalam RAPBNP 2016, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said tetap meminta BangÂgar DPR untuk menyetujui usulan instansinya agar subsidi tersebut bisa dicabut dan dialihkan kepada sektor lain yang lebih membutuhkan.
“Subsidi itu tetap ada dengan catatan tidak ada kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan berdaÂya 900 kilo volt ampere (kVA). Tapi menurut data yang telah kami verifiÂkasi, banyak pengguna listrik 900 kVA itu tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat miskin,†kata Sudirman.
Meski tetap meminta pencabuÂtan subsidi, Sudirman mengaku akan menunggu keputusan final dari BangÂgar DPR dan Kementerian Keuangan selaku bendahara pemerintah. “DPR itu mempunyai hak budget melalui komisi yang bersangkutan tentu puÂnya kewenangan untuk memutuskan dan itu sudah diputuskan jadi kita hanya menunggu,†jelasnya.
Sementara itu, harga minyak mentah kembali jatuh pada awal perdagangan sepekan terakhir ini, menyusul meningkatnya kekhawatiÂran pelaku pasar terhadap perekoÂnomian Asia dan apresiasi nilai tukar dolar AS.
Harga minyak mentah jenis Brent turun 65 sen atau 1,29 persen menÂjadi USD49,89 per barel dari posisi terakhirnya pekan lalu. Sementara harga minyak mentah AS jenis West Texas Intermediate (WTI) turun 78 sen atau 1,5 persen menjadi USD48,29 per barel.
Mulai pulihnya nilai tukar USD, pasca menguat sekitar 1,3 persen dari posisi terendahnya pada Juni ini, juga turut melemahkan harga minyak. Tren penguatan USD dipenÂgaruhi oleh meningkatnya kekhaÂwatiran pelaku pasar terhadap prosÂpek ekonomi Asia, terutama China, sehingga menyeret mayoritas mata uang regional.
Hal ini membuat impor minyak diperdagangkan dalam denominasi USD menjadi lebih mahal. Alhasil permintaan minyak berpotensi terÂpukul dan semakin membebani harÂganya.
Prospek gelap pertumbuhan ekonomi Asia ini membuat banyak spekulan minyak melakukan aksi jual, setelah mengambil keuntungan besar sejak awal tahun ini. Pada JanÂuari 2016, harga minyak menyentuh level terendahnya dalam satu dekade terakhir dan merangkak perlahan hingga kembali menembus US$50 per barel, sebelum kembali terkoreÂksi pada pembukaan perdagangan kemarin. (Yuska Apitya/dtk)
Bagi Halaman