deddy-mizwar-730x340BANDUNG, TODAY—Pemerintah Provinsi Jawa Barat ( Jabar) belum menerima daftar Peraturan Dae­rah yang dicoret pemerintah karena dianggap menghambat investasi.

“Belum tahu Perda mana, belum ada pemberitahuan se­cara resmi Perda yang dicoret di Jawa Barat,” kata Wakil Gu­bernur Jabar Deddy Mizwar di Bandung, Kamis (16/6/2016).

Deddy mengaku, pemerintah provinsi belum bisa memantau pelak­sanaan penghapusan Perda itu di kabupaten/kota karena belum mem­peroleh daftarnya dari Kementerian Dalam Negeri. “Yang mana saja (di­coret) kami belum tahu, Perda yang mana saja, kami belum dapat pem­beritahuan secara resmi,” kata dia.

Menurut Deddy, pemerintah daerah tidak keberatan dengan pen­coretan Perda itu. “Kalau nanti dibu­tuhkan, kami bikin lagi, kan tidak apa-apa, ada hak otonominya di situ. Kalau pada saat pelaksanaan­nya program tertentu jadi ham­batan karena tidak ada Perdanya karena dicabut, bikin Perda lagi,” kata dia.

Kepala Biro Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Jabar Budi Prastio men­gatakan, Kementerian Dalam Negeri sempat memberikan daftar 89 aturan daerah yang tersebar di kabupaten/kota di Jawa Barat yang dinilai bermasalah dan masih dikaji. “Di Jawa Barat, 89 aturan itu tidak hanya Perda tapi juga ada Perbup, kami konsultasi terus ke Kement­erian Dalam Negeri itu masih dikaji, masih di­proses dibahas terus, belum dibatalkan,” kata dia, kemarin.

Budi mengatakan, substansi puluhan aturan yang dinilai Kementerian Dalam Negeri bermasalah itu bermacam-macam, termasuk di antaranya dinilai menghambat dunia usaha. “Ada ada juga yang menyangkut diskriminasi pada perempuan,” kata dia.

Mengenai perkembangan terbaru terkait penghapusan Perda bermasalah yang dilaku­kan pemerintah pusat, Budi mengaku belum mengetahui apa saja. “Yang dimaksudkan di­batalkan itu yang mana, kita enggak tahu juga,” ujar Budi.

Kendati demikian, pemerintah provinsi juga mempunyai kewenangan membatalkan Perda milik kabupaten/kota. Budi menconto­hkan, saat ini misalnya sudah dibatalkan 29 Perda.

“Memang dibatalkan karena ada putu­san Mahkamah Konstitusi yang mebatalkan undang-undang yang menjadi dasar terbitnya Perda dan Perbub, otomatis harus kita batal­kan, kedua menyangkut perubahan regulasi karena terjadi perubahan kewenangan itu pun langsung dibatalkan juga,” kata Budi.

BACA JUGA :  Menu Sederhana dengan Sayur Daun Ubi Tumbuk yang Gurih dan Harum

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Almuzzammil Yusuf mende­sak Kementerian Dalam Negeri mengumumkan peraturan daerah yang dibatalkan pemerintah. “Pemerintah harus transparan karena pemda, DPRD, dan masyarakat ingin mengetahui perda mana saja yang telah dibatalkan,” kata Almu­zammil, Kamis (16/6/2016).

Menurut politikus Partai Keadilan Se­jahtera ini, masyarakat juga ingin mengetahui argumentasi dan hasil kajian yang sudah dilaku­kan Kemendagri terkait dengan pembatalan 3.143 perda. Ia mengatakan pemda dan DPRD juga perlu mengetahui perda yang dibatalkan karena dalam Undang-Undang Nomor 23 Ta­hun 2014 tentang Pemerintahan Daerah me­nyebut mereka hanya memiliki waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan kepada pemerin­tah pusat.

Selain itu, Muzammil menambahkan, infor­masi perda yang dibatalkan perlu segera dik­etahui dan direspons pemda. Sebab, jika perda yang dibatalkan tersebut tetap diberlakukan, maka, menurut Pasal 252, akan diberikan sanksi penundaan evaluasi rancangan perda dan sanksi administratif berupa tidak dibayar­kan selama tiga bulan hak-hak keuangan bagi kepala daerah dan DPRD terkait. “Sanksi berat lainnya adalah penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi daerah bersangkutan. Jadi pemda dan DPRD terkait sangat berke­pentingan dan memiliki hak untuk mengetahui lebih awal perda yang dibatalkan,” katanya.

Menurut Muzzammil, pemerintah seha­rusnya tidak semena-mena dalam pencabutan perda. Sebab untuk melihat kualitas perda, kata dia, tidak boleh hanya menyalahkan pemer­intah daerah dan DPRD, tapi perlu juga men­gevaluasi kerja Kemenkumham yang memiliki tugas pemberian bimbingan teknis dan super­visi di bidang fasilitasi perancangan perda. “Jadi perlu ada evaluasi ke dalam apakah semua ke­menterian sudah bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing,” katanya.

Pembatalan 3.143 peraturan daerah oleh Presiden Jokowi ini dipandang Kementerian Dalam Negeri dianggap tidak perlu melalui ju­dicial review ke Mahkamah Agung. Pembata­lan cukup dilakukan Menteri Dalam Negeri dan dengan dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Jadi tidak benar kalau dikatakan harus dibawa ke lembaga peradilan. Baca dulu patokannya, UU Nomor 23 Tahun 2014,” kata Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Ka­mis (16/6/2016).

BACA JUGA :  Resep Rendang Kentang untuk Menu Makan Bareng Keluarga Dijamin Bikin Nagih

Widodo mengatakan tata cara pembatalan perda diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU 32 Tahun 2004. Kedua peraturan itu mengatur tentang pemerintahan daerah. Na­mun, dalam kedua peraturan itu ada perbe­daan tentang tata cara pembatalan perda.

Menurut Sigit, pada UU No 32 Tahun 2004, Kemendagri hanya bisa membatalkan perda untuk empat peraturan, yaitu terkait den­gan pajak daerah, restitusi daerah, APBD, dan RTRW. “Lainnya harus diminta judicial review,” kata Sigit.

Namun dengan terbitnya UU 23 Tahun 2014, dia melanjutkan, produk hukum ka­bupaten/kota bisa dibatalkan gubernur, dan produk hukum di provinsi bisa dibatalkan Men­teri Dalam Negeri. Untuk kasus tertentu bila gubernur tidak membatalkan perda kabupat­en/kota yang dianggap bertentangan, Menteri Dalam Negeri bisa membatalkannya. “Itu bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri. Dengan per­timbangan, ini domain executive review,” kata Sigit.

Apabila perda kabupaten/kota yang di­batalkan gubernur tidak diterima pemerintah kabupaten/kota, mereka boleh banding ke Menteri Dalam Negeri dalam waktu 15 hari. “Itu semua diatur dalam UU 23/2014,” kata Sigit.

Sekretaris Jenderal Kemendagri Yuswandi A. Temenggung mengatakan dari 3.143 per­aturan yang dibatalkan, ada 1.765 peraturan di tingkat provinsi, 1.276 peraturan di tingkat kabupaten/kota, dan 111 Peraturan Mendagri yang dibatalkan.

“Secara rutin kajian dilakukan dan kami sampai pada jumlah 3.143 peraturan yang dibatalkan,” kata Yuswandi. Dia mengatakan langkah tersebut diamanatkan UU 23/2014, khususnya Pasal 251 ayat (1), (2), dan (3).

Yuswandi mengatakan perda dibatalkan untuk menjaga konsistensi dengan peraturan di atasnya. Selain itu, ada peraturan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, sehingga ti­dak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. “Secara otomatis, peraturan di bawahnya tidak berlaku dan dibatalkan,” kata Yuswandi.

Parameter lain perda yang dibatalkan adalah tidak menghambat investasi, tidak ber­tentangan dengan kepentingan umum, dan tidak menghambat percepatan pelayanan pub­lik, termasuk percepatan pelayanan investasi dan bisnis.(Yuska Apitya Aji)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================