TAK kurang dari dua pekan, ramadan akan segera beraÂkhir. Sebagaimana biasanya satu minggu menjelang akhÂir puasa ramadan, baik di Kantor swasta atau PemerinÂtah, Perusahaan, pembisnis, Kontraktor, terkesan fokus cerita semuanya gonjang ganjing tentang hadiah dalam bentuk parcel dan THR, dan pembicaraan ini terkesan menjadi trend dan budaya setiap lebaran Idul fitri atau hari raya lainnya di Indonesia dan/atau kegiatan yang memberi peluang untuk pemberian Parcel dan THR.
Sesuai dengan tradisi Pengusaha sudah memiliki anÂcang-ancang besaran dan pejabat yang akan direncanakan untuk mendapat Parcel dan THR, lalu Pejabat baik sebagai PNS maupun Pejabat Politik yang terkait dengan Pengelola Negara, juga berpikir siapa yang akan memberikan Parcel dan THR kepada mereka, tentunya tidak lepas dari perkonÂcoan yang telah dilakukan selama ini.
Pemberian Parcel dan THR didasarkan balas jasa dalam perkoncoan yang sudah dan akan terjadi untuk mencari keuntungan, terutama diberikan kepada PegaÂwai negeri Sipil (PNS) atau penyelenggara Negara, jelas motivasi pemberian ini termasuk kategori KKN, karena berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbÂagai peraturan perundang undangan yang ada. PemÂberian hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Tapi jika pemberian itu berasal dari seÂseorang yang memiliki kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan pejabat tersebut, karena dengan pembeÂrian tersebut akan mempengaruhi integritas, indepenÂdensi dan objektivitas dalam pengambilan keputusan atau kebijakan, sehingga dapat menguntungkan pihak lain atau diri sendiri, tindakan tersebut adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termaÂsuk dalam pengertian gratifikasi.

Parcel dan THR merupakan bagian dari Gratifikasi, sedangkan gratifikasi dalam sistem hukum di IndoneÂsia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang PemÂberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainny
Bahkan Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 meÂnyatakan bahwa Pemberian Gratifikasi ini baik dalam bentuk Parcel dan THR dll, diberikan kepada Pegawai negeri Sipil (PNS) atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatanÂnya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasÂnya, dan apa Apabila seorang pegawai negeri atau peÂnyelenggara negara menerima suatu pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK sebagaimana diatur menurut Pasal 12 C UU No 20 TaÂhun 2001, yaitu <1>. Ketentuan pada Pasal 12 B ayat (1) mengenai gratifikasi dianggap sebagai pemberian suap dan tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK; <2>. Laporan penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhiÂtung sejak tanggal gratifikasi diterima; <3>. Dalam wakÂtu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan laporan, KPK wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara; <4> Tata cara penyampaian laporan dan penentuan status gratifikasi diatur menurut Undang-undang tentang KPK.