WASHINGTON TODAY– SeÂbanyak 65,3 juta orang di duÂnia terusir dari tempat tinggal mereka, sebagian besar melariÂkan diri dari perang di negara asal namun tak juga memiliki tempat bernaung karena terbenÂtur tembok pembatas, hukum penerimaan pengungsi yang ketat serta sentimen antipenÂgungsi ketika mereka mencapai wilayah perbatasan.
Angka tersebut merupakan peningkatan yang tajam dari taÂhun 2014, ketika terdapat 59,5 juta orang terlantar setelah melarikan diri dari negara asal. Jumlah tahun ini juga merupakan peningkatan sebesar 50 persen dalam lima tahun terakhir, menurut laporan “Global Tren†yang dipublikasiÂkan lembaga pengungsi PBB, UNHCR, dalam rangka Hari PenÂgungsi Dunia, Senin (20/6).
Jika dirata-rata, terdapat 1 dari 113 orang di dunia yang kini menjadi pengungsi, pencari suaÂka, atau orang yang terusir dari tempat tinggalnya namun masih berada di dalam negera asal.
Konflik di Suriah, AfghaniÂstan, Burundi dan Sudan Selatan memicu eksodus manusia, denÂgan total pengungsi mencapai 21,3 juta orang. Sekitar setengah dari jumlah itu merupakan anak-anak. “Para pengungsi dan imiÂgran yang melintasi Laut MedÂiterania dan tiba di tepi Eropa, pesan yang mereka sampaikan bahwa jika Anda tidak menyeleÂsaikan masalah, maka masalah yang akan mendatangi Anda,†kata Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi.
“Menyedihkan karena buÂtuh waktu lama bagi mereka yang berada di negarakaya unÂtuk memahami hal itu. Kita perÂlu bertindak, melakukan tindaÂkan politik untuk menghentikan konflik. Cara itu menjadi upaya terpenting dalam pencegahan arus pengungsi,†ujarnya, diÂkutip dari Reuters.
Laporan ini juga merinci bahÂwa terdapat sekitar 2 juta klaim suaka yang baru diajukan di neÂgara-negara industri sepanjang 2015. Selain itu, terdapat hampir 100 ribu pengungsi anak tanpa pendamping atau terpisah dari keluarga dan orang tua mereka. Jumlah ini merupakan peningkaÂtan sebanyak tiga kali lipat ketimÂbang tahun 2014 dan merupakan yang tinggi dalam sejarah.
Sebanyak satu dari tiga penÂcari suaka di Jerman merupakan pengungsi Suriah. Pemerintah Jerman menerima 441.900 pengajuan suaka, diikuti oleh Amerika Serikat dengan 172.700 pengajuan suaka. Sebagian beÂsar pencari suaka di AS merupaÂkan warga yang melarikan diri dari perang antar geng bandar narkoba di Meksiko dan negara-negara Amerika Tengah.
Menurut laporan itu, negara berkembang masih menjadi tuan rumah yang menampung 86 persen pengungsi dunia. Negara yang paling banyak menampung pengungsi Suriah adalah Turki, dengan 2,5 juta pengungsi, diikuti oleh Pakistan dan Libanon.
Sentimen Xenofobia
Para pencari suaka yang melarikan diri dari konflik atau penganiayaan harus menghaÂdapi tembok pembatas di perÂbatasan dan sentimen antipenÂgungsi. “Munculnya xenofobia, sayangnya, menjadi faktor yang menentukan dalam lingkungan kita,†ujar Grandi.
“Pembatasan muncul di maÂna-mana, dan saya tidak hanya berbicara dari soal tembok pemÂbatas, namun juga hambatan legislatif yang akan datang, terÂmasuk di negara-negara di dunia industri yang telah lama berprinÂsip dalam mempertahankan hak fundamental terkait suaka,†kata Grandi.
Setelah negara-negara BalÂkan serempak menutup perÂbatasannya, Uni Eropa memÂbentuk kesepakatan pengungsi dengan Turki pada Maret lalu untuk membendung masuknya lebih dari satu juta pengungsi ke Eropa pada 2015. “Fakta bahwa arus imigran telah berÂhenti bukan berarti masalah perpindahan orang telah beraÂkhir. Masalah ini mungkin sudah berakhir untuk beberapa negara yang tidak harus berurusan denÂgan hal ini lagi, untuk saat ini,†kata Grandi.
Skema pengungsi Uni Eropa, yang akan memukimkan kemÂbali 160 ribu pencari suaka dari Yunani dan Italia ke negara-neÂgara anggotanya juga mandek. Hingga kini, baru 2.406 penÂgungsi yang sudah direlokasi.
Terkait hal ini, Grandi menÂegaskan, “Tidak ada rencana B untuk Eropa. Eropa akan terus menerima orang yang mencari suaka,†ujar Grandi. “Semua orang harus berbagi tanggung jawab sekarang.†(Yuska ApiÂtya/net)
Bagi Halaman