DI Indonesia harga barang pokok saat hari-hari besar terutama ramadan dan lebaran seolah menjadi bagian dari fenomena yang biasa terjadi. Ibu rumah tangga se­bagai manager keuangan keluarga harus lebih pandai menyusun siasat, menerapkan strategi agar anggaran rumah tangga mampu mengatasi lonjakan harga tanpa harus mengambil kas dana darurat. Apalagi kenaikan harga bahan pokok biasanya mulai merangkak sejak menjelang Ramadhan. Artinya sebulan sebelum lebaran harus lebih matang menyusun perencanaan keuangan.

Mengapa kenaikan harga bahan pokok selalu ter­jadi menjelang hari-hari besar? Kenaikan harga pada umumnya dipengaruhi oleh kenaikan ongkos produksi, peningkatan permintaan dan keterbatasan bahan peng­ganti. Menjelang lebaran naiknya harga bahan pokok ini secara langsung dipengaruhi oleh peningkatan permin­taan dan minimnya persediaan bahan pengganti. Harga telur misalnya terus meroket seiring dengan tingginya kebutuhan untuk membuat kue-kue kering selain me­ningkatnya kebutuhan akan telur sebagai lauk yang di­anggap paling praktis untuk santap sahur.

Kebutuhan bahan-bahan pokok selama ramadan dan menjelang lebaran juga semakin melonjak seir­ing kesadaran ingin memperbesar infak dan sedekah berupa sembako, makanan ringan untuk menyeger­akan berbuka puasa, pembagian nasi bungkus lengkap lauk pauk untuk kaum dhuafa di saat berbuka dan sahur atau membayar fidyah hingga zakat fitrah yang wajib diberikan dalam bentuk beras atau makanan pokok. Sesuai hukum ekonomi fenomena meningkatnya per­mintaan ini secara langsung berpengaruh pada kenai­kan harga dan menjadi pintu terbukanya spekulan dan mafia sembako untuk bermain menaikkan harga demi keuntungan pribadi. Tetapi apakah tidak ada langkah taktis untuk mencegah kenaikan harga bahan pokok yang terlalu drastis?

Seorang rekan di Malaysia menceritakan bahwa harga bahan pokok di negara tetangga ini dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Harga telur pada waktu tertentu ditetapkan tidak boleh melebihi sekian ringgit dan jika ditemui pedagang yang melanggar dapat dike­nai sanksi penutupan izin usaha. Bagaimana dengan di Indonesia? Selama ini seringkali terdengar kabar ten­tang “operasi pasar” menjelang Ramadhan dan Leba­ran. Pemerintah dari tahun ke tahun telah menugaskan kementerian terkait untuk mengatasi dan mengendal­ikan kenaikan harga bahan pokok. Namun tampaknya prakteknya tidak mudah. Di zaman pemerintahan SBY program operasi pasar cukup gencar dilaksanakan. Tetapi di era Jokowi belum terdengar gaung operasi pasar yang diharapkan mampu mengendalikan kenai­kan harga bahan pokok. Harga daging sapi meroket tak terkendali hingga akhirnya kran impor daging sapi di­buka kembali.

Lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Kondisi perekonomian dan bentuk pemerintahan di Malaysia dan Indonesia berbeda. Membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menciptakan masyarakat yang taat hukum dan perundangan. Hal ini didukung pula oleh kondisi sosial politik di Malaysia yang cend­erung stabil. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah cukup tinggi.

Sudah saatnya pemerintah melakukan pengawasan lebih ketat terhadap naik turunnya harga bahan pokok. Kementerian terkait mungkin bisa membentuk tim khusus yang memantau jalannya distribusi bahan po­kok sehingga dapat diketahui di titik mana probabilitas kenaikan harga terjadi dan menerapkan sanksi tegas bagi para spekulan. Di sisi lain dampak dari regulasi pemerintah hanya dapat berjalan sesuai harapan jika mendapat sambutan positif dari masyarakat. Diperlu­kan tingkat kepercayaan tinggi dari masyarakat untuk mendukung regulasi-regulasi pemerintah.

Mencari-cari kesalahan penyebab melambungnya harga menjelang lebaran tidak menyelesaikan perma­salahan. Solusi terbaik adalah berupaya mengupayakan agar kenaikan harga tidak terjadi secara drastis. Peran aktif masyarakat dalam mengendalikan tingkat kon­sumsi terhadap suatu barang bisa membantu menekan kenaikan harga. Hal ini tampak pada cenderung stabil­nya harga ayam potong semenjak kebiasaan mengada­kan “selamatan megengan” sebagai bagian dari tradisi menjelang Ramadhan mulai berkurang. Saat ini di kota-kota besar adat syukuran atau selamatan menjelang Ramadhan tidak seramai di kampung. Masyarakat kota memilih tidak mengikuti adat. Andai tetap melestarikan tradisi tersebut maka membawa beberapa kotak nasi untuk pengajian di masjid dianggap lebih praktis. Se­cara tak langsung kebiasan ini membantu mengurangi permintaan terhadap ayam potong yang kebutuhannya jauh lebih besar jika harus mengirimkan kotak syukuran dari rumah ke rumah.

Ramadan dan lebaran atau hari-hari keagamaan adalah momentum tahunan. Momentum untuk sema­kin mendekatkan diri kepada Tuhan secara lebih opti­mal. Kekhusyuan ibadah hendaknya tidak diusik dengan kerisauan akan harga-harga barang.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================