Pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan VakÂsin Palsu untuk melacak para korban vaksin palsu. Pemerintah akan meÂnentukan langkah penanggulangan selanjutnya saat para korban sudah ditemukan. “Saya mau secepatnya (ditemukan),†kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya, di Mabes PolÂri, kemarin.
Soal sejauh mana pergerakan SatÂgas melacak para korban, Agung menÂgatakan masih berjalan. Agung berÂjanji, apabila semua data korban dari vaksinasi telah ditemukan, pihak-pihak terkait akan segera menentukan tindak lanjutnya. Ia memaparkan, ada beberaÂpa langkah untuk menemukan korban vaksinasi tersebut. Mula-mula, Satgas akan memetakan aliran distribusi dan peredaran vaksin palsu. Selanjutnya klinik, rumah sakit, ataupun rumah berÂsalin di lokasi itu diperiksa.
Jika terindikasi ada peredaran vaksin palsu pada fasilitas kesehatan terkait, bayi dan balita yang pernah divaksin di tempat tersebut kemudian ditelusuri untuk kemudian ditindaklanÂjuti. “Kita akan identifikasi saat itu biÂdannya seperti apa sehingga bisa dilihat vaksin palsu itu terdistribusi di mana. Kalau itu ada di tempat klinik dia, kita akan mencari sampai di mana. Kita liÂhat apakah dia tahu palsu apa tidak,†kata Agung.
Kasus vaksin palsu mulanya diteÂlusuri kepolisian menyusul laporan tewasnya seorang anak selepas diiÂmunisasi. Pada Mei lalu, seorang disÂtributor vaksin palsu di Bekasi keÂmudian ditangkap. Salah satu lokasi produksi vaksin palsu tersebut digerÂebek di Tangerang Selatan, Banten. Sejauh ini, Bareskrim Polri telah menangkap 16 orang terkait produksi dan distribusi vaksin palsu tersebut di Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Praktik produksi vaksin palsu disebut telah dimulai sejak 2003 dengan keuntungan Rp 25 juta per pekan.
Pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah mengungÂkapkan indikasi peredaran vaksin palsu pada 28 sarana kesehatan yang melakuÂkan pengadaan vaksin di luar jalur resmi Kemenkes. Sebanyak 28 sarana pelayÂanan kesehatan yang membeli vaksin di luar jalur resmi itu berada di kota-kota besar, seperti Palu, Sulawesi Tengah; Pekanbaru, Riau; Serang, Banten; BandÂung, Jawa Barat; Surabaya, Jawa Timur; Yogyakarta, DIY; Denpasar, Bali; MataÂram, NTB; dan area Jabodetabek.
Sarana-sarana kesehatan itu umÂumnya merupakan rumah sakit swasta, klinik, dan rumah sakit bersalin. Di antara produk vaksin yang dipalsukan adalah vaksin Engerix B, vaksin PediaÂcel, vaksin Eruvax B, dan vaksin TripaÂcel. Kemudian, vaksin PPDRT23, vaksin Penta-Bio, vaksin TT, dan vaksin camÂpak. Selain itu, vaksin hepatitis B, vakÂsin polio bOPV, vaksin BCG, dan vaksin Harvix.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebelumnya juga telah merencanakan pemberian vaksin ulang kepada anak-anak korban vaksin palsu. Direktur JenÂderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, menyatakan, satgas akan membawa dokter anak untuk melihat aspek dampak kesehatan bagi anak-anak di lokasi peredaran vaksin palsu. “Kalau nggak menimbulkan kekebalan, akan (kami) vaksin ulang. Kami siap berikan vaksin gratis,†ujar Linda.
Sedangkan, Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik BPOM Togi Junice Hutadjulu, mengatakan, lemÂbaganya bakal kewalahan bila harus melakukan razia atau pemeriksaan seÂcara serentak pada ribuan apotek. SeÂbab itu, BPOM mendorong masyarakat melaporkan indikasi peredaran vaksin palsu.
Dia menjelaskan, apotek sedianya tidak boleh menjual vaksin. Sebab, jalur distribusi dan penjualan vaksin harus melalui mekanisme cold chain. Dalam arti, vaksin harus selalu ditempatkan dalam alat pendingin khusus (cold storÂage), bukan kulkas biasa. “Jadi, kalau ada masyarakat yang curiga atau ini, misalnya, di apotek rakyat jual vakÂsin yang itu kan sudah melanggar perÂaturan. Enggak boleh mengedarkan atau menyalurkan vaksin. Itu laporkan saja kepada kami, biar petugas kami laporkan penelusuran,†kata Togi JuÂnice Hutadjulu, kemarin. Dengan lapoÂran masyarakat, kata Togi, pemeriksaan BPOM bisa lebih terarah.
BPOM mengklaim, sudah mendeÂteksi peredaran vaksin palsu setidaknya sejak delapan tahun lalu. Menurut Togi, hingga kini pihaknya terus menelusuri rumah sakit atau klinik yang mengadaÂkan vaksin dari pedagang besar farmasi resmi atau di luar jalur resmi Kemenkes. Jumlah 28 sarana yang sebelumnya diteÂmukan, lanjut Togi, masih berkemungÂkinan bertambah.(*/ed:Mina)