BANJIR akhir-akhir ini menjadi masalah terbesar bagi umat di Indonesia. Laju urbanisasi dan jumlah penduduk yang tidak bersamaan dengan perbaikan ekologis menyebabkan bencana bertubi-tubi. Bencana banjir bukan lagi persoalan yang baru untuk sejarah bumi. Masa lalu nabi Nuh dan kaumnya pernah mengalami hal yang sama. Kini masyaraka bumi dan negeri ini terancam dari banjir. Fungsi ekologis mati dan masyarakat tumbuh menjadi manusia yang serakah. Sikap serakah tadi mengalahkan perilaku untuk beriman.
Oleh: BAHAGIA, SP., MSC.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan IPB dan Dosen Tetap Universitas
Ibn Khaldun Bogor (UIKA Bogor)
Seberapa luaspun bumi ini tetap akan kurang saja untuk menamÂpung banyaknya orang tadi. Satu sisi semua bagian-bagian bumi sudah dicuÂkupkan dan tidak lagi mungkin untuk ditambah. Meski manuÂsia cerdas namun belum bisa membuat bumi baru. Belum bisa membuat hewan-hewan baru. Hewan-hewan tadi lama kelamaan punah sehingga berkurang jumlahnya. TumbuÂhan yang tadinya beragam jenÂisnya namun harus punah satu persatu.
Lantas kita mau makan apalagi suatu saat? lantas kita mau minum air yang seperti apa suatu saat? lantas benih tumbuhan apa yang kita tanam sehingga bisa tumbuh untuk memberi makan umat dibumi. Rumahlah yang kita perluas. Kita buat rumah kita mewah. Sebagian yang lain punya dua dan tiga rumah. Lagi-lagi hak setiap orang untuk dapat rumahlah yang selalu menÂjadi perdebatan. Ia lupa kalau dirinya telah serakah lahan dan rumahnya membuat desakan kepada yang lain.
Mendesak semua yang ada dibumi. Mendesak air agar tumpah, membuat air keruh dan jenuh, membuat bumi kerÂing dan banjir. Gejala itu benÂcana besar bagi manusia dibuÂmi. Ntah apa yang dipikiran umat kini. Mau sebanyak apaÂlagi kita ini. Jumlah kita sudah banyak sekali. Dimana tidak ada manusia? jadi benar banyaknya jumlah manusia namun tumpul kecerdasan dan iman maka beÂginilah jadinya bumi tadi.
Sayangnya yang mengaku ustadz, ilmuwan, pemikir dan pengamat tak bisa berbuat banÂyak. Sekedar teori saja disamÂpaikan didepan publik. Padahal ikut pula dirinya menjadi peÂrusak bumi tadi. Mau bencana seperti apalagi agar kita mau kembali beriman. Mau sebanÂyak apalagi korban berjatuhan dan meninggal sia-sia agar kita mau memperbaiki ekologis kita ini. Kondisi kota kini tumpah dengan musibah. Lapisan taÂnah harus tertutup rumah, asÂpal, dan beton. Air tumpah dan memberikan bencana kepada manusia.
Menurut BPS (2014) JumÂlah desa terbanyak yang terÂkena banjir tahun 2014 ada tiga propinsi. Propinsi Jawa barat sebanyak 1193 desa mengalami banjir, disusul jawa tengah 1273 desa, dan 1218 desa terkena banjir. Kini banjir dimana-mana sesuai dengan kadar kerusakan ekologis. Tentu banjir ekologis tadi sangat ditentukan kadar imannya manusia tadi. Banjir masa lalu belum juga jadi perÂingatan kepada manusia saat ini agar kembali ke jalan benar. Banjir bandang kaum Nabi Nuh harus dijadikan referensi untuk memperbaiki ekologis dan mitiÂgasi bencana.
Untuk itu kita perlu melakuÂkan mitigasi atau antisipasi sebelum terjadinya banjir. TerÂungkap dalam Al-Quran Surat Huud ayat 40. Hingga apabila perintah Kami datang dan daÂpur telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masÂing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluarÂgamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapÂnya dan (muatkan pula) orang-orang yang berimanâ€. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.
Ada beberapa hikmah dari ayat Al-Quran diatas. Pertama, Allah sudah menyuruh nabi Nuh membuat perahu dari kayu sebagai antisipasi terjadi bencana banjir. Persiapan unÂtuk mengatasi bencana sudah dilakukan dengan memahat kayu-kayu menjadi perahu besar. Membuat perahu tidak langÂsung jadi. Butuh waktu memÂpersiapkan perahu agar mampu beradaptasi terhadap bencana. Termasuk bahan-bahannya seperti kayu yang bermutu dan cara pembuatannya.