MENARIK apa yang di paparkan oleh M Dawam Rahardjo, Direktur Lembaga Studi dan Filsafat (LSAF) Jakarta dalam artikelnya di HU Republika (29/6) dengan judul Dari Islam Demokrasi ke Demokrasi Islam. Menarik, karena tulisan ini lahir di tengah sentimen negatif atas kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengelola negara dan rakyat. Dawam mencoba menawarkan kreativitas intelektual berupa sintesis Demokrasi Islam di Indonesia dan negeri-negeri muslim. Adakah ini formula terbaik atau justru merupakan sebuah kerancuan epistemologis ?
Oleh: DR. AHMAD SASTRA
Dosen Filsafat
Fakta demokrasi adalah sebuah ideologi politik transnasiÂonal yang lahir dari kultur Barat yang secara definitif sangat multi-interpretatif, baik teoritis mauÂpun implementatif. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap penÂguasa negara berhak mengÂklaim negaranya sebagai negara demokratis, meskipun nilai politik kekuasaannya yang diÂadopsi amat jauh dari prinsip dasar demokrasi. Karena siÂfatnya yang multi-interpretatif itu, lahirlah berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, deÂmokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokraÂsi parlementer, dan bentuk subÂyektifitas demokrasi lainnya. Dalam konteks ini, Dawam tidak menjelaskan demokrasi tipologi yang mana yang hendak disÂematkan dalam kata Islam.
Sebenarnya perdebatan inÂtelektual hubungan Islam dan demokrasi apakah kompatible atau kontradiktif sudah terjadi sejak lama, terutama saat kaum intelektual muslim bersentuhan dengan intelektualisme Barat. Meski demikian, belum ada haÂsil yang benar-benar disepakati oleh kaum muslimin, sebab fakta di lapangan justru negÂera-negara demokratis banyak yang menolak Islam itu sendÂiri. Bukti paling anyar adalah ungkapan-ungkapan sarkasme Donald Trump dalam dalam setiap kampanyenya yang meÂlarang komunitas muslim unÂtuk tinggal di Amerika. Padahal Amerika dikenal sebagai kamÂpium demokrasi. Bahkan saat kaum muslimin dengan partai Islamnya mengikuti perhelatan demokrasi dan memenangkan pemilu justru dianggap tidak sah dan dianulir seperti yang terjadi di Mesir dan Aljazair di masa lalu. Bahkan lebih dari itu, Dawan telah memaparkan fakta-fakta historis penolakan sekulerisme demokrasi terhaÂdap eksistensi Islam itu sendÂiri. Ini sebenarnya membuktiÂkan bahwa demokrasi sekuler adalah ideologi kontra agama.
Dawam benar bahwa sumÂber pemikiran demokrasi adalah filsafat sekulerisme. SekulerÂisme sendiri adalah paham yang mendistorsi peran etika Tuhan dalam ranah publik. Karena itu dalam paradigma sekulerisme, agama di posisikan di ruang priÂvate. Adapun di ruang publik yang berlaku adalah konsensus elite otoritas kekuasaan untuk mengaturnya. Meski tak dipungÂkiri, demokrasi seringkali hanya sebagai kuda tunggangan kaum kapitalis untuk menghegemoni ekonomi suatu negara. Itulah kenapa dalam negara demokraÂsi, kemiskinan rakyat tak kunÂjung dapat diselesaikan. Wajah demokrasi lebih sering nampak sebagai alat imperialisme atas negara-negara ketiga dibanding formula politik bagi kesejahterÂaan rakyat.
Sementara Islam tidak meÂmiliki sifat sekuleristik. Sebab Islam adalah sebuah ideologi, disamping ideologi kapitalisme sekuler dan komunisme atheis, yang secara komprehensif menÂgatur masyarakat di seluruh aspek kehidupan, baik ranah publik maupun ranah private. Dibawah prinsip-prinsip tauhid, Islam memiliki formulasi yang paradigmatik integratif dalam ranah politik, ekonomi, pendiÂdikan, budaya, dan sosial. SeluÂruh aspek publik selalu dilandaÂsi oleh etika dan hukum Islam. Sementara demokrasi sekuler melandasinya dengan akal beÂbas yang sangat relatif. Karena itu demokrasi yang secara geneÂtik membawa gen sekulerisme jika dipadukan dengan Islam akan nampak semacam sinkreÂtisme epistemologis jika tidak hendak dikatakan sebagai peÂmaksaan intelektual.
Memberikan interpretasi dikhotomis antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yang tertera dalam surat Asy Syura : 38 dengan memisahkan antara urusan ibadah individual dengan sosial adalah interpreÂtasi sekuleristik yang bertentanÂgan dengan sifat Islam itu sendiÂri. Sebab jika benar interpretasi ini, kenapa ada konsep ekonomi Islam, pendidikan Islam, poliÂtik Islam dan pemerintahan Islam. Syuro sendiri dalam IsÂlam adalah model pengambilan keputusan masalah-masalah mubah dan bersifat teknis, tiÂdak pada wilayah hukum. SeÂmentara masalah-masalah yang telah jelas hukumnya, tak perlu di musyawarahkan lagi. MendikÂhotomi hal ini adalah bentuk disÂtorsi dari kesempurnaan Islam. Padahal QS Al Maidah : 3 telah dengan jelas kesempurnaan IsÂlam bagi landasan hukum seluÂruh aspek peradaban manusia.
Sebenarnya dengan data-data yang dipaparkan Dawan dimana implementasi demokrasi di berbagai negara yang lebih banyak merugikan Islam menunjukkan indikasi yang jelas bahwa sebenarnya deÂmokrasi adalah ideologi politik sekuler yang tidak kompatibel dengan Islam. Islam adalah ideÂologi khas yang berdasarkan wahyu Allah dan memberikan rahmat bagi alam semesta. Otoritarisme penguasa musÂlim tidaklah bijak jika diangÂgap representasi dari Islam itu sendiri. Harus dibedakan antara Islam dan muslim. MusÂlim yang melakukan kesalaÂhan bukan berarti Islam yang salah, justru muslim itu telah melanggar etika Islam. Sebab jika Islam adalah otoriter yang destruktif tentu bertentangan dengan firman Allah sendiri yang menegaskan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin(QS al Anbiyaa : 107).
Dibawah panji Islam, RaÂsulullah dengan sangat indah menghadirkan kondisi paling ideal dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. ImÂplementasi hukum dan etika IsÂlam telah memberikan keberkaÂhan bagi siapa saja yang mau tunduk tanpa mengenal perÂbedaan ras, suku, agama, dan warna kulit. Hukum-hukum IsÂlam telah memberikan keadilan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai oleh ideologi lain sepanjang sejarah. Tentu saja Rasulullah mendasarkan seluruh gerakan politiknya pada paradigma wahyu.
Meski tidak begitu jelas tuÂjuan dan pesan yang hendak disampaikan oleh Dawam denÂgan artikelnya itu, namun jika dimaknai sebagai sebuah cita-cita akan tegaknya peradaban Islam melalui upaya-upaya gerÂakan politik, maka ada fakta yang harus juga diperhatikan. Metode yang digunakan untuk mengembalikan peradaban IsÂlam ada tiga. Pertama, dengan jalan kekerasan tanpa komproÂmi. Tentu jalan ini tidak dibenaÂrkan oleh Islam itu sendiri. IsÂlam adalah agama damai, bukan agama teror. Ada sebagian kecil kelompok gerakan yang mengÂgunakan metode ini telah gagal, bahkan metode ini telah melaÂhirkan islam phobia yang sangat merugikan kaum muslimin di seluruh dunia. Akibatnya umat Islam di berbagai negara menÂjadi sasaran diskriminasi yang tidak manusiawi.
Kedua dengan metode deÂmokrasi kompromistis. Metode ini dilakukan oleh partai-partai Islam yang mengikuti arus deÂmokrasi dengan mengikuti pemilu. Harapannya dapat menÂempatkan wakilnya sebagai anggota dewan dalam memÂperjuangkan aspirasi Islam. Metode inipun nampaknya gaÂgal. Sebab yang justru terjadi adalah proses pendangkalan Islam dan proses pencampuran ideologi. Tentu jalan ini juga tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab Islam adalah agama yang tidak memberikan kompromi bagi kebatilan, meski juga tidak melakukan kekerasan.
Ketiga adalah gerakan dakÂwah politis yang non parlementÂer tanpa kekerasan. Gerakan ini bertujuan memberikan edukasi politik sehingga melahirkan keÂcerdasan dan kesadaran kaum muslimin akan situasi politik yang ada. Inilah metode yang dilakukan Rasulullah hingga tegak supremasi hukum Islam di Madinah. Meski tanpa memÂberikan gambaran mekanisme kerja term demokrasi Islam yang digagas Dawam, nampakÂnya metode kedua yang lebih cocok untuk gagasan demokrasi Islam. Hal ini diindikasikan oleh Dawam dengan adanya dikhoÂtomi kedaulatan Tuhan dan keÂdaulatan manusia.
Pemaknaan demokrasi sebÂagai syuro merupakan penyeÂderhanaan masalah. Sebab deÂmokrasi tidaklah sesederhana mekanisme syuro. Demokrasi sesungguhnya adalah ideologi politik yang lahir dari filsafat Barat, sebagaimana juga ideÂologi komunisme. Sementara syuro adalah mekanisme penÂgambilan keputusan yang diÂdasarkan oleh nilai-nilai wahyu. Itulah kenapa produk hukum demokrasi banyak bertentanÂgan dengan produk hukum Islam. Di Indonesia sendiri perda-perda syariah dianggap diskriminatif dan tidak sejalan dengan paradigma demokrasi, meski perda itu hanya berlaku untuk kaum muslim.
Mendudukkan gagasan Dawam sebagai wacana yang sulit untuk diimplentasikan dalam tata kelola negara adalah hal yang rasional dan empiris. DenÂgan term demokrasi Islam yang cenderung sinkretis, akan meÂmicu istilah-istilah lain sejenis seperti sekulerisme Islam, libÂeralisme Islam, mederatisme Islam, sosialisme Islam, pluralÂisme Islam atau bahkan mungÂkin radikalisme Islam. Dua term yang memiliki asas yang berbeda, tidak mungkin bisa disatukan. Jika dipaksakan akan terjadi semacam sinkretisme epistemologi yang sekuleristik bahkan liberalistik. KesempurÂnaan Islam tidak membutuhkan lagi label-label primordialistik apalagi menyimpang. Al Qur’an telah menegaskan, ……pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpakÂsa…. (QS Al Maidah : 3). Hai orang-orang yang beriman, maÂsuklah kamu ke dalam Islam keÂseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu muÂsuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah : 208)
Karena itu Islam tidak perlu disandingkan dengan demokrasi atau sebaliknya, keduanya berÂbeda secara asas dan paradigma. Islam adalah ideologi sempurna dari Allah, demokrasi adalah ideÂologi sekuleristik buatan manuÂsia. Karena itu yang ada adalah pilihan : Islam atau sekulerisme, jangan dicampur. (*)
Bagi Halaman