Yang paling kentara ialah ketidakjelasan rimba sopir Sekretaris MA. Ia seperti disembunÂyikan agar borok-borok mafia peradilan terongÂgok tak terkuak. Sikap menyerahkan semua ke KPK di satu sisi seperti memberikan jalan kepaÂda KPK untuk melakukan penyidikan di tubuh MA. Di sisi lain, MA memberi kesan semakin menutup diri dan membiarkan KPK mengorek-ngorek sendiri jaringan mafia peradilan.
Semestinya, sebagai institusi publik, tanpa diminta pun MA menjelaskan secara terbuka ihÂwal dugaan praktik mafia peradilan selama ini. Tunjukkan bahwa MA siap bersih-bersih denÂgan proaktif memberikan informasi soal orang-orang yang namanya diduga terkait dengan penÂgaturan perkara.
MA tak bisa lagi berkelit mengaku telah melakukan reformasi untuk menyajikan peraÂdilan yang bersih. Kalaupun sudah dilakukan, artinya reformasi itu jauh dari cukup. Secara gamblang praktisi ataupun pengamat peradilan dapat menunjukkan celah-celah penyelewenÂgan masih ada.
MA juga tidak bisa membantah bahwa mafia peradilan masih bebas melakukan aksi. Kuatnya mafia peradilan dibuktikan dari hasil investigasi Ombudsman RI di beberapa pengadilan negeri di kota besar di Jawa selama 1 Januari 2014-31 Maret 2016. Dari investigasi tersebut ditemukan, praktik mafia atau percaloan di lembaga peradiÂlan masih marak. Para calo menjanjikan dapat memenangi perkara dengan imbalan uang sekiÂtar Rp25 juta-Rp80 juta. Peradilan yang bersih mutlak memerlukan lembaga penegak hukum yang bersih pula, yang tak segan mengoreksi diri dan berpegang teguh pada filosofi keadilan harus ditegakkan walau langit runtuh. Tanpa itu, keadilan akan runtuh.(*)