PERSEKONGKOLAN busuk antara oknum polisi dan bandit narkoba Freddy Budiman yang ditulis Koordinator KontraS Haris Azhar, membuka tabir baru. Duit haram yang menyebar ke sejumlah oknum perwira itu mulai terbongkar. Siapa saja yang kecipratan duit Freddy?
YUSKA APITYA AJI
[email protected]
Data yang dihimpun BOGOR TOÂDAY menyebutkan, kasus FredÂdy menyeruak saat ia jadi terdaÂkwa kasus penyelundupan 1,4 juta butir pil ekstasi dari Hong Kong ke Indonesia. Padahal, saat itu FredÂdy tengah menghuni penjara LP Cipinang.
Berdasarkan berkas putusan penÂgadilan yang didapat sumber, Senin (1/8/2016), menyebutkan, Freddy maÂsuk LP Cipinang karena terlibat perdaÂgangan narkoba dengan aparat DitnarÂkoba Polda Metro Jaya.
Kasus itu bermula saat Freddy mendatangi rumah anggota DitnaÂrkoba Polda Metro Jaya, Aipda SuÂgito, di Jalan Regalia, Ciracas, Jakarta Timur, April 2011. “Saya tahu rumah Sugito karena saya informan untuk target bandar besar bernama Harun,†kata Freddy.
Dalam kunjungan itu, Freddy melihat alat mesin pencetak narkoba di rumah Sugito. “Mas, alat cetak ini bisa dipakai tidak?†tanya Freddy. “Saya belum tahu cara pakainya, nanti akan saya coba,†jawab SugiÂto. “Alat ini untuk apa, Mas?†tanya Freddy.
“Nanti sampeyan juga tahu. Saya lagi ada kerjaan akan nangkap banÂdar besar,†jawab Sugito.
Setelah itu Freddy pulang. Pada 26 April 2011, Sugito memerintahkan anak buahnya Bripka Bahri Arfianto untuk mengeluarkan barang bukti narkoba dari brankas untuk dijual guna menutupi kas operasional. SuÂgito berdalih diperintahkan atasanÂnya. “To, uang kas sudah habis, toÂlong kamu kondisikan,†kata Sugito menirukan perintah atasannya.
Sebagai bawahan, Sugito menyanggupi perintah itu dan menawarkan paket 200 gram sabu ke Freddy seharga Rp 140 juta. Di sisi lain, Freddy mengaku dirinya sedang kebingungan mau menitipkan paket sabu yang ia peroleh dari WN MalayÂsia Ahmad. Sugito tidak keberatan paket sabu itu dititipkan di rumahnÂya. Baik Sugito dan Freddy sepakat dengan perjanjian itu.
Pada 27 April 2011, Freddy ke rumah Sugito dan menitipkan paket sabu di lantai dua rumah Sugito. Saat itu, Sugito tidak ada di rumah dan hanya ada istri Sugito.
Usai menaruh paket sabu di lanÂtai dua, Freddy kemudian meningÂgalkan rumah Sugito dan pergi ke arah Kemayoran. Di tengah jalan, Freddy ditangkap aparat kepolisian. Freddy didapati membawa tas yang berisi 300 gram putau, 30 gram sabu dan bahan sabu 0,5 kg. Mata Freddy ditutup dan tahu-tahu sudah ada di rumah Sugito. Aparat menyita paket sabu di rumah Sugito dan memprosÂes hukum komplotan tersebut.
Atas perbuatannya, mereka diÂadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) dan dihukum:
- Aipda Sugito dihukum 9,5 taÂhun penjara.
- Bripka Bahri dihukum 9 tahun dan 3 bulan penjara.
- Freddy dihukum 9,5 tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana selama 9 taÂhun 6 bulan dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara sealam 6 bulan,†puÂtus Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) pada 10 Januari 2012.
Setelah itu, Freddy menghuni LP Cipinang. Siapa nyana, ia dengan beÂbas mengurus bisnis narkoba di luar penjara, termasuk rencana impor 1,4 juta pil ekstasi. Kasus itu terungkap dan Freddy kemudian dihukum beÂserta komplotannya, yaitu:
- Freddy Budiman divonis mati.
- Ahmadi divonis mati.
- Chandra Halim divonis mati.
- Teja Haryono divonis mati.
- Hani Sapto Pribowo dipenjara seumur hidup.
- Abdul Syukur dipenjara seuÂmur hidup.
- Muhtar dipenjara seumur hidÂup.
- Anggota TNI Serma Supriadi divonis 7 tahun penjara dan telah diÂpecat.
Terungkap pula Freddy juga membangun pabrik sabu di kaÂmarnya di LP Cipinang. Mereka yang terlibat dihukum dengan rincian:1. Wakil Kepala Pengamanan GuÂnawan Wibisono dijatuhi hukuman 8 tahun penjara
- Aris Susilo dijatuhi hukuman 5 tahun dan 10 bulan penjara
- Cecep Setiawan Wijaya dihuÂkum mati di kasus impor 6 kg sabu.
- Haryanto Chandra belum diÂpublikasikan
Kasus ini pun meledak dan FredÂdy dipindahkan ke Nusakambangan. Tetapi apa nyana, ia masih mengonÂtrol jaringan narkoba miliknya dan anak buahnya. Mereka yang dihuÂkum di kasus ini adalah:
- Suyatno dihukum 20 tahun penjara.
- Suyatno alias Gimo dihukum 20 tahun penjara.
- Aries Perdana dihukum 20 taÂhun penjara.
- Latief (adik Freddy Budiman) dihukum penjara seumur hidup
Sementara itu, soal saweran ke Polri, Badan Narkotika Nasional dan TNI ini, diredam Istana KepresideÂnan.
Menteri Koordinator Bidang PoliÂtik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, cerita yang ditulis oleh Koordinator KontraS Haris Azhar tak perlu menjadi perdebatan. Pasalnya, Freddy sebagai pihak yang seharusÂnya dimintai keterangan telah tiada.
“Kita tidak mungkin mengusut sesuatu dari orang yang sudah meÂninggal apalagi pernyataan tersebut tidak jelas ditujukan ke mana. Jadi kita tidak perlu berpolemik soal itu,†kata Wiranto usai mendampingi Presiden Joko Widodo membuka pameran di Galeri Nasional, Jakarta, Senin (1/8/2016).
Wiranto menjelaskan, dalam wilayah hukum dibutuhkan dua alat bukti, yaitu kesaksian dan barang bukti, untuk melakukan pengusuÂtan atau penyelidikan suatu perkaÂra. Dalam kasus ini, Freddy adalah saksi yang seharusnya dimintai ketÂerangan atas kebenaran tulisan HaÂris. “Tapi sekarang yang memberi kesaksian itu pernyataan orang yang sudah meninggal, masak sekarang kita harus memanggil arwah?†ucap Wiranto.
Dia menambahkan, dalam persÂpektif hukum, perlu adanya satu perÂsyaratan agar setiap laporan dapat ditindaklanjuti. Kesaksian, bagi WiÂranto, menjadi syarat yang harus diÂpenuhi.
Wiranto mengatakan, kesaksian Freddy yang dimuat dalam tulisan Haris saat ini hanya bisa dijadikan peringatan bagi para penegak huÂkum dalam melakukan pemberanÂtasan narkoba. “Kita manfaatkan saja untuk introspeksi aparat penegak hukum untuk masalah narkoba agar menjalankan tugas dengan baik,†ujarnya.
Meski demikian, narkoba tetap menjadi persoalan utama yang harus diberantas aparat penegak hukum. Oleh karena itu, Wiranto pun menÂegaskan, aparat yang berkecimpung dalam pemberantasan narkoba dimÂinta untuk tidak terpengaruh dengan bisnis narkoba. “Jangan sampai merÂeka main-main dengan masalah ini. Kalau aparat penegak hukum terkait narkoba kalau main-main dengan masalah itu kami akan tindak tegas,†kata Wiranto.
Artikel berjudul “Cerita Busuk dari Seorang Bandit†ditulis Haris Azhar dan beredar melalui media soÂsial setelah eksekusi mati Freddy BuÂdiman dilakukan pada Jumat (29/7).
Tulisan itu berisi informasi yang disampaikan Fredi kepada Haris pada dua tahun lalu. Dalam artikel itu disebutkan adanya sejumlah okÂnum penegak hukum yang diduga ikut berperan dalam bisnis narkoba yang melibatkan Fredi, di antaranya dari institusi Badan Narkotika NasiÂonal, Polri, dan Bea Cukai.
Pun demikian, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur JenÂderal Boy Rafli Amar menyatakan piÂhaknya tak suka apabila ada anggota Polri yang disebut terlibat dalam jarÂingan bisnis narkoba.
Pihaknya sedang mendalami inforÂmasi yang disebutkan korban eksekusi mati, Freddy Budiman, sebagaimana dimuat dalam artikel yang ditulis KoorÂdinator KontraS Haris Azhar.
“Komitmen kami sangat tinggi, karena kami tidak suka ada anggota-anggota (Polri) seperti yang diceriÂtakan itu. Itu pun kalau ada, ya. Itu (informasi) kan sifatnya belum bisa dikatakan benar,†kata Boy, kemarin.
Dia menilai informasi yang terÂtuang dalam tulisan itu dapat meruÂgikan institusi yang dituding terliÂbat dalam jaringan narkoba. Sebab menurutnya, penegak hukum meruÂpakan garda terdepan dalam memÂberantas narkoba. “Itu jelas sangat merugikan institusi. Kami kan garda terdepan dalam konteks ini (memÂberantas narkoba). Jangan sampai semua ini memperlemah upaya-upaÂya kami dalam penegakan hukum pidana narkoba,†katanya.
Boy mengaku telah bertemu Haris untuk membahas kebenaran tulisannya yang beredar menjelang pelaksanaan eksekusi mati Freddy. Artikel berjudul “Cerita Busuk dari Seorang Bandit†itu merupakan hasil dialog Fredi dengan Haris dua tahun lalu. “Kami sudah ada pertemuan, kalau konten (tulisan) tidak ada yang berbeda,†kata Boy.
Persoalannya, menurut Boy, polisi tidak bisa mengonfirmasi keÂbenaran informasi yang disampaiÂkan Freddy lantaran yang bersangÂkutan telah dieksekusi Jumat (29/7) lalu. Selain itu, informasi tersebut baru dipublikasi setelah dua tahun. “Kalau kami mau konformasi ke Pak Freddy, sudah tidak ada. Jadi kami masih hadapi kondisi-kondisi seperti itu,†katanya.
Meski demikian, kata Boy, piÂhaknya tetap akan mendalami inÂformasi tersebut sesuai komitmen Kapolri dalam konteks reformasi inÂternal Polri. “Yang jelas prinsipnya akan terus didalami, ditindaklanjuÂti,†katanya.
Dia mengatakan, berdasarkan inÂformasi yang tertuang dalam tulisan Haris, seolah ada keterlibatan oknum penegak hukum dari kepolisian, TNI, pejabat Badan Narkotika Nasional. Boy meminta kepada banyak pihak apabila ada informasi yang menguatÂkan dapat segera dilaporkan untuk segera ditindaklanjuti. “Yang disamÂpaikan Haris adalah ungkapan yang sifatnya informasi. Sangat perlu diÂdalami karena sumir. Sementara kaÂlau kami mau konfirmasi, Pak Fredi sudah tidak ada,†tambah Boy.
Sementara itu, Haris Azhar, KoorÂdinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonÂtraS) mengungkapkan alasannya baru menerbitkan tulisan tentang pertemuannya dengan Freddy saat ini. Padahal pertemuan itu telah terÂjadi sejak tahun 2014 di Lapas NuÂsakambangan.
Dia menjelaskan, pertemuannya dengan Freddy saat itu terjadi di tenÂgah kampanye pemilihan presiden yang cukup panas. Semua orang saat itu, menurut Haris, tengah sibuk meÂnyambut kepemimpinan baru dari presiden yang terpilih. Tak lama setelah itu, lanjutnya, publik juga diÂramaikan dengan isu dugaan krimiÂnalisasi sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. “Dan jujur saja saat itu ada jarak antara KontraS dengan polisi dan pemerintahan Jokowi. SeÂhingga kami tidak mau gegabah denÂgan sekadar melempar data, setelah itu sudah,†ucapnya.
Haris juga beralasan, tak akan ada pihak yang memperhatikan jika tulisan itu dipublikasikan saat Freddy masih hidup. Hingga akhÂirnya, dia pun memutuskan untuk mempublikasikan tulisan tersebut kemarin.
Haris berpikir jika eksekusi mati itu tetap dilaksanakan, maka aparat penegak hukum akan kehilangan inÂformasi soal pejabat yang mengambil keuntungan hingga miliaran rupiah dari bisnis narkoba. “Dalam kurun waktu tujuh kali 24 jam saya diskusi dengan teman-teman dan akhirnya saya keluarkan tulisan ini. Itu resmi dan saya bertanggung jawab penuh atas tulisan tersebut,†tuturnya.
Sebelumnya, Haris mengaku telah mengubungi mengaku sempat menelepon juru bicara presiden, JoÂhan Budi Sapto Prabowo beberapa hari sebelum mengedarkan tulisan tersebut. Ia mengatakan, Johan terÂkejut dan berjanji akan meneruskan informasi tersebut ke Presiden joko Widodo.
Namun sampai dengan tanggal eksekusi, Haris tak menerima kabar apapun dari Johan Budi soal respons Jokowi mengenai laporan Freddy BuÂdiman tersebut. (*)
Bagi Halaman