Oleh: MAHIPAL, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Pakuan
Dari perspektif HuÂkum Tata Negara (Constitutional Law), hak-hak fundamenÂtal (dasar) dijamin dalam konstitusi suatu Negara, yang di Indonesia disebut UUD 1945. Oleh karena hak ini dijamin dalam kontitusi, maka hak-hak itupun disebut sebagai hak-hak konstitusional (constitutional rights). Kedua, bahwa hak atas pekerjaan, selain dapat digolongÂkan sebagai hak dasar juga sebÂagai hak-hak sosial ekonomi.
Hak-hak sosial ekonomi ini akan dapat dipenuhi jika dan hanÂya jika hak-hak atas pekerjaan dan hak-hak pekerja telah terpenuhi terlebih dahulu. Artinya bahwa seseorang dapat memenuhi keÂbutuhan hidupnya bilamana orang tersebut telah terlebih dahulu mempunyai pekerjaan yang penghasilannya layak untuk memenuhi segenap kebutuhan sosial ekonomi yang dibutuhÂkannya. Hak-hak sosial ekonomi tersebut dapat berupa hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, hak untuk memperoleh kemudaÂhan dalam melakukan aktivitas olahraga, dan sebagainya.
Di Indonesia terdapat penÂgaturan atas perlindungan dan pemenuhan the right to work, namun hal ini semata-mata hanÂya bersifat umum, belum secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhannya. Meski beÂlum juga memuaskan, yang relaÂtif tersedia adalah pengaturan perlindungan dan pemenuhan the right in work (hak-hak norÂmatif pekerja/buruh), antara lain adalah UU Serikat Pekerja/SeriÂkat Buruh, UU Ketenagakerjaan, dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Bagaimana dan sejauh mana sesungguhnya hak atas pekerÂjaan di Indonesia telah didorong pemenuhannya oleh pemerintah selaku pamong dan pengayom rakyatnya? Artikel ini setidaknya memberikan gambaran singkat tentang apa dan bagaimana hak atas pekerjaan terjadi di Indonesia.
Kedudukan hak dalam UUD 1945
UUD 1945 mengamanatkan bahwa “Tiap-tiap warga negaÂra berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaanâ€, maka tanggung jawab pemerintah dalam rangÂka memenuhi hak-hak tersebut setidaknya adalah: (i) menyeÂdiakan lapangan kerja formal dengan melakukan affirmative action guna memenuhinya, (ii) memberikan keleluasaan kepada warga negaranya untuk bekerja di berbagai bidang, meskipun buÂkan dalam bentuk formal, dan (iii) menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga warga negaranya diberikan kebebasan dan dukunÂgan untuk memilih jenis pekerÂjaannya, termasuk untuk bekerja di sektor informal.
Dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945 ini, PemerinÂtah melalui kewenangan institusi yang membidangi substansi ini telah mengakomodasi hak atas pekerjaan dalam UU KetenagakerÂjaan. Beberapa substansi pokok dalam UU Ketenagakerjaan terseÂbut diantaranya adalah: (i) adÂanya kesempatan yang sama bagi setiap tenaga kerja untuk memÂperoleh pekerjaan; (ii) adanya hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memilih, mendapatkan, dan atau pindah kerja; (iii) adanya tanggung jawab pemerintah dan masyarakat unÂtuk mengupayakan keluasan keÂsempatan kerja; dan (iv) adanya hak pekerja untuk memperoleh perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan (Idris, 2005).
Materi dan ketentuan hukum tersebut secara implisit memberiÂkan gambaran bahwa permasalaÂhan ketenagakerjaan juga dapat dipahami berdasarkan aspek sosÂial, ekonomi, politik dan sebagainÂya. UU Ketenagakerjaan memÂberikan gambaran bahwa masalah sosial-politik seperti yang diwakili oleh permasalahan pendidikan dan structural miss match dapat menyebabkan hak atas pekerjaan seseorang seperti yang telah dituÂangkan dalam pasal ini menjadi dapat tereliminasi. Demikian pula halnya dengan adanya kebijakan ekonomi makro yang cenderung berorientasi neo-liberal dapat meÂnyebabkan tergusurnya lapangan kerja yang didesain oleh ekonomi skala kecil sehingga menyebabÂkan hak atas pekerjaan orang-orang yang bekerja di sektor ini menjadi terampas. Demikian juga dengan kurang kondusifnya sistem budaya, seperti misalnya sistem majikan-buruh yang cendÂerung menyebabkan semakin terÂperosoknya buruh akibat terlalu tergantung terhadap majikan juga bukan merupakan ranah hukum, melainkan ranah sosial-budaya dan hal ini juga mempengaruhi sistem ketenagakerjaan seperti yang seharusnya terjadi sesuai dengan pasal-pasal UU KetenagakÂerjaan tersebut. Disamping itu, UU Ketenagakerjaan yang menÂgatur tentang hak pekerja untuk memperoleh perlindungan, penÂgupahan dan kesejahteraan. Juga sangat terkait erat dengan pemaÂhaman sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya, semakin menjelaskan bahwa permasalaÂhan ketenagakerjaan memang dapat dipahami bukan hanya dari aspek hukum semata, melainÂkan juga berdasarkan aspek-aspek lainnya seperti telah disebutkan di muka.
Permasalahan Pokok Hak Atas Pekerjaan
Permasalahan pemenuhan hak atas pekerjaan setidaknya membenarkan pernyataan Ketua ISEI tentang adanya paradox of growth. Dalam perspektif hukum, permasalahan hak atas pekerjaan terjadi akibat dua permasalaÂhan mendasar, yaitu diantaranya diakibatkan oleh (i) adanya kebiÂjakan dan tindakan Pemerintah serta peraturan perundang-unÂdangan yang tidak memenuhi hak atas pekerjaan, (ii) oleh adanya peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak pada rakyat, dan (iii) adanya kebijakan dan tinÂdakan pembiaran.
Kebijakan dan tindakan Pemerintah yang tidak memenuhi hak atas pekerjaan diantaranya dapat ditunjukkan oleh beberapa hal berikut: (i) kebijakan pemÂbangunan perumahan dan inÂdustrialisasi di pusat, banyak loÂkasi pertanian beralih fungsi dan menghilangkan kesempatan petÂani untuk bekerja sesuai dengan keahliannya; (ii) program transmiÂgrasi hanya pada sektor pertanian saja, sedangkan perikanan tidak mendapatkan perhatian. Selain itu sektor informal, petani, PKL, masyarakat adat, nelayan, pedaÂgang, buruh migran, PRT dll tidak mendapat perhatian; (iii) kebiÂjakan Pemerintah Pusat yang berÂpijak pada kepentingan modal (inÂvestor) mengakibatkan hak atas pekerjaan tidak terpenuhi; (iv) kebijakan penggusuran PKL dan pekerja informal lain mengakibatÂkan pengangguran besar-besaran yang tidak diantisipasi dengan program mitigasinya agar tidak menimbulkan permasalahan baru yang lebih besar dari hanya sekeÂdar persoalan perdagangan; (v) kurangnya pengawasan dalam pengelolaan penyediaan inforÂmasi pasar kerja dan bursa kerja, sehingga menimbulkan percaloan yang merugikan bahkan sistem oursourcing disinyalir menambah pelik persoalan pemenuhan peÂkerjaan ini, kendati ada manfaat lain yang relatif tidak signifikan dan bukan untuk kepentingan pekerja, melainkan lebih kepada untuk kepentingan para pembuÂru kerja lepas; dan (vi) tindakan diskriminatif terhadap kelompok rentan, misalnya penyandang cacat, perempuan, dan etnis terÂtentu serta berbau SARA.
Sedangkan peraturan perunÂdang-undangan yang disinyalir dapat membentuk tembok pengÂhalang bagi upaya pemenuhan hak atas pekerjaan diantaranya dapat ditunjukkan oleh beberapa hal berikut: (i) materi muatan keÂbijakan yang dapat mengakibatÂkan tidak terpenuhinya hak atas pekerjaan (by omission), terutaÂma bilamana hadir kebijakan daeÂrah yang seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil masyarakat dan atau yang menumbuhkemÂbangkan praktek-praktek penÂgurangan hak dan perlindungan pekerja; (ii) UU Ketenagakerjaan yang berorientasi pada kepentÂingan modal yang menyebabkan hilangnya pekerjaan, misalnya outsourcing; (iii) penyelesaian pengangguran yang dituangkan dalam rencana pembangunan yang berorientasi pada masuknya investasi asing sehingga tidak berÂpihak pada kepentingan rakyat.
Adapun kebijakan dan tindaÂkan pembiaran diantaranya dapat ditunjukkan oleh beberapa hal seÂbagai berikut: (i) pemahaman hak atas pekerjaan hanya berdasarÂkan atas perspektif pemerintah dan tidak berperspektif masyaraÂkat, banyak program transmiÂgrasi dilakukan dengan memberiÂkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keterÂampilan transmigran; (ii) realÂisasi dana APBN untuk anggaran pendidikan yang hanya dipatok sebesar 20% dari dana APBN menyebabkan mutu pendidikan semakin menurun; (iii) kebijakan pemerintah yang tidak memberiÂkan akses yang proporsional terÂhadap jenis pekerjaan tertentu kepada publik; (iv) pelanggaran hak atas pekerjaan dan kontrak kerja yang dilakukan berulang kali; (v) pembiaran terhadap terÂjadinya eksklusivitas yang dilakuÂkan pelaku usaha (etnis tertentu); dan (vi) tidak adanya pengaturan mengenai sektor informal, meskiÂpun definisi formal dan informal telah tersedia. Khusus untuk sektor informal, nampak sekali mengalami bias (misalnya PRT, pembantu rumah tangga). PRT disebut sebagai sektor informal, tapi PRT digaji oleh orang lain. Dan jika PRT di-PHK tidak dapat memperoleh kompensasi, seperti pekerja formal lainnya.
Alternatif Solusi Pemenuhan Hak Atas Pekerjaan
Permasalahan-permasalaÂhan yang timbul tersebut setiÂdaknya dapat diantisipasi bilaÂmana pemerintah mempunyai kemauan untuk berubah dan perubahan tersebut dilakukan untuk memberikan perlindunÂgan dan distribusi manfaat yang besar untuk kepentingan rakyat Indonesia. Beberapa substansi solusi yang dapat ditawarkan diÂantaranya adalah: pertama, harus ada keberpihakan pemerintah yang memang ditujukkan untuk sebesar-besarnya manfaat dan perlindungan bagi rakyat IndoneÂsia, disamping juga memberikan manfaat secara proporsional bagi pemilik modal. Hal ini sangat diperlukan agar pemilik modal dan tenaga kerja dapat bersinÂergi dan mendapatkan perlindÂungan secara proporsional untuk memenuhi tujuan kesejahteraan masing-masing. Kedua, menyuÂsun rancangan peraturan perunÂdang-undangan yang mampu mengatur secara proporsional sistem pendidikan nasional yang menyeimbangkan proses komerÂsialisasi sekolah-sekolah negeri untuk berbagai level pendidikan yang pada satu sisi diperlukan namun secara proporsional tetap memberikan akses terbaik bagi keluarga miskin yang mempunÂyai potensi prestasi yang tinggi. Saat ini, komersialisasi pendidÂian telah mengakibatkan semakin menganganya jurang akses pendiÂdikan terbaik bagi semua elemen masyarakat, karena kecenderunÂgan yang terjadi saat ini, rakyat Indonesia menghadapi dilema pendidikan biaya tinggi, karena minat berbagai elemen rakyat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan di sekolah-sekolah negeri menjadi tergusur akibat rentannya pertimbangan biaya pendidikan yang akan dihaÂdapinya, sehingga hanya rakyat dengan tingkat pendapatan yang tinggi saja yang dapat menerusÂkan niat tersebut, sementara yang relatif miskin akan cenderÂung terlibas, sementara sekolah-sekolah swasta yang mempunyai fasilitas seperti sekolah negeri tentu saja memasang biaya yang jauh lebih besar lagi dan tidak akan mungkin dipenuhi oleh keÂluarga miskin. Ketiga, perlunya harmonisasi sejumlah peraturan perundang-undangan yang terÂkait dengan pemenuhan hak atas pekerjaan, terutama pengaturan outsourcing yang cenderung menguntungkan pemilik modal dan lembaga penyedia oursourcÂing, sementara tenaga kerjanya mendapatkan tekanan dari kedua belah pihak. Kehadiran penyedia oursourcing di satu sisi meruÂpakan berkah bagi pemilik modal dan tenaga kerja dalam menghadÂirkan sistem pasar tenaga kerja yang baik, karena tidak jarang penyedia oursourcing mampu menyediakan tenaga kerja handal yang dibutuhkan pemilik modal. Akan tetapi tidak jarang pula menjadi ajang pemburuan rente ketenagakerjaan yang hanya menÂguntungkan para pemilik modal dan penyedia outsourcing akiÂbat besarnya biaya “pemasaran†yang dibebankan kepada tenaga kerja yang disediakan. Dan keÂempat, pemerintah diharapkan mampu menciptakan fleksibelitas pasar kerja dengan memperbaiki peraturan-peraturan ketenagakÂerjaan, memfasilitasi perbaikan peraturan perundang-undangan, meningkatkan kualitas sumberÂdaya manusia melalui pelayanan pendidikan dan pelatihan serta kesehatan dan keselamatan kerja, memperbaiki program-program perluasan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerinÂtah, memperbaiki sistem migrasi tenaga kerja serta menyempurÂnakan kebijakan akan tersedianya informasi pasar kerja dan bursa kerja secara terbuka yang mudah diakses dan transparan. (*)
Bagi Halaman