IBARAT gelas, kemerdekaan kita, harus jujur diakui, baru terisi setengah, belum terisi penuh. Setengah isi, setengah kosong. Kita belum merdeÂka sepenuh-penuhnya.
Kita memang sudah merdeka dari penjajahan fisik bangsa asing. Tetapi kita belum merdeka dari penjajahan bangsa sendiri. Celakanya, lebih sulit memerdekakan diri dari penjajahan bangsa sendiri daripada bangsa asing.
Bung Karno pernah mengingatkan, “PerjuanÂganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melÂawan bangsamu sendiri.â€
Kita, misalnya, masih berperang memerdekaÂkan diri dari belenggu korupsi yang dilakukan bangsa sendiri. Tiada jalan lain, untuk memenanÂgi peperangan melawan korupsi, semangat Persatuan Indonesia mesti dikedepankan sebÂagaimana dulu para pendiri bangsa bersatu melaÂwan penjajah asing.
KPK, Polri dan Kejaksaan, tiada kata lain, haÂrus berkolaborasi mencegah dan memerangi koÂrupsi. Dengan sokongan penuh negara dan rakyÂat, kita semestinya bisa memerdekakan bangsa ini dari belenggu korupsi.
Penjajah lain yang berasal dari bangsa sendÂiri, yang sekarang ini sedang beroperasi menyÂengsarakan rakyat, ialah mafia pangan. Mereka menjajah dengan menguasai rantai perdagangan pangan sehingga rakyat harus membeli berbagai kebutuhan pokok dengan harga lebih tinggi dariÂpada harga seharusnya.
Celakanya, namanya juga mafia, boleh jadi mereka menyusup ke kekuasaan. Bukan tidak mungkin mereka ikut-ikutan mengatur-atur kekuasaan. Mereka ikut campur tangan memaÂsukkan pejabat yang ramah dan menyingkirkan pejabat yang garang terhadap mereka. Mafia ialÂah musuh dalam selimut.
Tiada pilihan lain kecuali penegakkan hukum sekeras-kerasnga bila bangsa ini hendak terbebas dari belenggu penjajahan para mafia pangan. Negara tak boleh takluk kepada mafia pangan.
Bila negara takluk, itu sesungguhnya negara membiarkan dirinya terjajah oleh mafia. Dalam terminologi hukum, membiarkan sama saja denÂgan melakukan. Itu artinya negara yang takluk dengan mafia sama saja
dengan mafia itu sendiri. Negara mafia namanya.
Musuh besar lainnya yang harus kita perangi ialah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. BerÂdasarkan data statistik sekitar 28 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Jumlah penÂduduk miskin pasti bertambah akibat perlamÂbatan ekonomi saat ini. Kesenjangan ekonomi yang menurut angka Gini rasio sebesar 0,43 tak boleh diabaikan begitu saja dan harus diperangi bila kita tak ingin gejolak sosial melanda negeri ini.
Presiden Joko Widodo dalam pidato kenÂegaraan pada Sidang MPR, Kamis, 14 Agustus menyatakan bahwa setelah merdeka, perang yang dihadapi bukan perang fisik seperti pahlaÂwan pejuang, melainkan perang memenangi perdamaian, memenangi kesejahteraan, dan memenangi kehidupan rakyat yang bahagia.
Pidato itu menggambarkan kuatnya kemauan politik negara dalam memenangi pertempuran melawan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Dalam RAPBN 2016, tergambar kehendak kuat negara membangun Indonesia dari pinggiran, dari daerah dari desa.
Dalam RAPBN 2016, alokasi anggaran transÂfer ke daerah dan desa jauh lebih besar daripada anggaran belanja kementerian dan lembaga. Jika itu betul-betul diterapkan, ini merupakan kejadiÂan pertama dalam sejarah anggaran di negara ini.
Kita menginginkan pemerintah sungguh-sungguh merealisasikan rencana itu. Kita perlu mengingatkan hal ini karena kita punya tabiat buruk rapi jali dalam perencanaan tetapi ambuÂradul tak keruan dalam pelaksanaan.
Tentu saja masih banyak bentuk penjajahan lain oleh bangsa sendiri yang harus kita perangi. Intinya di Peringatan 70 tahun Indonesia MerdeÂka hari ini, kita hendak mengingatkan bahwa setelah merdeka dari penjajahan bangsa asing, kita masih harus berjuang memerdekakan diri dari penjajahan bangsa sendiri, agar kita merdeÂka seutuhnya, merdeka sepenuh-penuhnya.(*)
Bagi Halaman