MENGAPA banyak kiai zaman dulu tak berkenan duduk di depan, ketika menghadiri suatu pertemuan. Mereka memilih duduk bersama rakyat biasa. Perilaku seperti ini sebagian masih bisa kita lihat sekarang. Mereka takut hatinya terjebak dalam gelombang riya.

Imam Al-Ghazali ketika pergi ke Damaskus, Syam (kini Suriah), dia tak mengenalkan jati dirinya. Bahkan Al-Ghazali menyamar sebagai tukang bersih-bersih toilet masjid. Beliau tak berebut menjadi imam shalat. Baru diketahui identitasnya saat hanya Al-Ghazalilah yang bisa menjawab pertanyaan sulit di masjid itu, lalu orang bertanya namanya. Saat sudah banyak yang tahu jati dirinya, Al-Ghazali pergi ke tempat lain yang tak ada yang mengenal dia.

Ketenaran membukakan 70 pintu riya’ pada seseorang. Dia akan sulit sekali menutup pintu itu. Bersembunyi dari sebutan orang tak memiliki banyak pintu menuju riya’ melainkan hanya satu. Karena itulah, sebagian ulama salaf menganggap ketenaran adalah sebuah nikmat. Petuah ini patut direnungkan.

Begitu hati-hatinya ulama salaf menjaga hati. Mereka tak sibuk mengiklankan diri. Mereka tak sedih saat tak disebut-sebut dan tak dielu-elukan banyak orang. Ketenaran itu tak salah dan bukan dosa besar. Namun godaannya sungguh sangat dahsyat. Semoga hati kita senantiasa dijaga Allah SWT. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================