Mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan, hemat saya, Kemendagri hendaknya memiliki perancanaan yang benar-benar terukur agar uang rakyat tidak sia-sia. Karena jika tidak, akan muncul tudingan bahwa program ini hanya berorientasi proyek dan mengejar target program terlaksana. Dan inipun terbukti.

Pada tataran praktek, e-KTP juga masih menyimpan potensi problem. Meskipun secara tegas Kemendagri menyatakan bahwa program ini tidak dipungut biaya, pungutan liar oleh oknum pejabat terkait masih mungkin terjadi apabila tidak ada pengawasan yang ketat. Untuk mengantisipasi hal itu, diperlukan sanksi yang tegas di semua level birokrasi terkait. Sanksi ini harus pula menjangkau bentuk pelanggaran lain seperti tindakan diskriminasi terhadap warga negara tertentu.

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

Pada tataran teknis, program ini masih memungkinkan terjadinya disparitas pelayanan antara wilayah perkotaan dan daerah-daerah pelosok. Program e-KTP ini misalnya, sangat tergantung pada jaringan listrik yang memadai, sehingga tidak menguntungkan bagi daerah-daerah yang belum ada jaringan listrik. Belum lagi hambatan geografis di daerah-daerah seperti Papua akan menjadi hambatan tersendiri bagi penduduk di sana. Karena itu, diperlukan model pelayanan yang berbeda di setiap daerah, dengan mempertimbangkan kondisi setempat.

Berbagai potensi problem inilah yang sejauh ini tak diperhatikan serius oleh para elite politik di tingkat pusat. Buntutnya, KPK mengendus ketidakberesan proyek ini dari nyanyian bekas Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

BACA JUGA :  TIPS JITU BERHENTI MEROKOK

Digebernya penyidikan korupsi E-KTP oleh KPK sedianya menjadi pijar bagi masyarakat Indonesia ditengah gelapnya kabar status kependudukan mereka, setidaknya selama dua tahunan kebelakang. Publik (saya meyakini) sangat mendukung upaya pembersihan terhadap elite penista kependudukan ini. Presiden dan DPR pun sudah sepantasnya mendukung upaya KPK. Siapa yang terlibat harus ditindak tegas sesuai perundangan, tanpa pilih kasih, tanpa melihat merk warna dan tanpa melihat kedudukan. Ingat, hukum mengajarkan prinsip “Equality Before The Law: semua orang sama di hadapan hukum”. Jangan sampai, dogma dan slogan ini hanya sebatas citra yang bersemayam di lingkungan kampus semata.(*)

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================