Titi menjelaskan, identitas kependudukan seperti KTP-el memang menjadi salah satu instrumen verifikasi apakah seseorang individu masyarakat terverifikasi sebagai pemilih yang genap berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah.
Meski demikian, persoalan proyek pengadaan KTP-el yang tidak tuntas secara menyeluruh justru menghambat dan menciderai hak politik seseorang untuk memilih kepala daerah. Skema dengan menggunakan surat keterangan (suket) untuk menggantikan KTP-el dirasa tidak memberikan dampak signifikan bagi jumlah pemilih yang tidak terdaftar di TPS.
Masyarakat banyak yang belum mengetahui tata cara mendapatkan Suket. Bahkan masih banyak kesulitan yang dirasakan calon pemilih ketika akan mengurus suket tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada masih tingginya jumlah masyarakat yang tidak memiliki hak memilih.
“Pengadaan KTP-el adalah program pemerintah. Seharusnya pemerintah bisa memastikan program ini berjalan lancar dan tidak menggangu hak warga, termasuk dalam pilkada serentak,” katanya.(Yuska Apitya)