Daniel Zuchron melanjutkan analisis ontologisnya atas eksistensi-artifisial itu pada judicial review oleh kekuasaan Mahkamah Konstitusi dan hierarkhi norma dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hemat saya, nilai kegunaan analisis ontologis akan bermakna untuk menguji dunia-ideal metafisik tentang manusia pada perdebatan para Hakim Mahkamah Konstitusi, serta interpretasi hukum yang bersifat teleologis bahwa hukum itu untuk manusia (wujud khariji) dan rakyat (tasykik wujud).  Kenyataan perdebatan itu berlangsung pada dimensi Etika Terapan yakni pengambilan keputusan berbasis otoritas/kekuasaan, hirarkhi norma, dan konsensus antar aktor pengambil keputusan yuridis-konstitusional.

Jebakan Positivisme-Yuridis

Penziarahan ontologis Daniel Zuchron terbuka untuk dikritisi pada gradasi eksistensial itu sendiri. Arena penelitian ontologisnya diwarnai dengan analisis formal-semantik antara bahasa hukum (UUD NRI 1945) dan dunia-realpolitic(perdebatan perumus UUD NRI 1945 dari kekuatan lintas-fraksi), kalimat/frasa hukum (hirarki norma dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Per-UU-an) dan fakta (penerbitan UU, PP, Perpres, Perda, dll), atau pemikiran hukum (Teori Hukum, Konstitusi dan Konstitusionalisme berbasis UUD NRI 1945) dan putusan Mahkamah Konstitusi (in concreto).

Keseluruhan makna dalam analisis formal-semantik itu diwarnai kapasitas subjektif untuk memahami validitas ‘Manusia dalam konstitusi,’ yang harus dipahami dalam term epistemik sebagai ‘validitas norma yuridis’. Sebutlah istilah mudahnya yakni ‘filsafat subjek’. Disini, gagasan tentang kebenaran ‘Manusia dalam konstitusi’ akhirnya dijelaskan secara pragmatik dan sekaligus hanya dibentuk dan dipahami oleh otoritas kekuasaan yuridis. Mengapa hal ini perlu dikritisi? Ujung analisis ontologis Daniel Zuchron memang cermat  ‘mengupas bawah merah’ perihal hakekat ”Manusia dalam Konstitusi’, namun ‘biji bawang merah’ itu diserahkan begitu saja kepada epistemologi Positivisme-Yuridis yang berkuasa sebagai ‘nalar dan naluri’ Mahkamah Konstitusi.

Sebagai contoh mudahnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan norma/pasal dalam UU No. 6/2014 tentang Desa bahwa calon kepala Desa dan perangkat Desa tidak lagi berasal dari domisili desa setempat, karena analogi dengan yurisprudensi Pilkada yang menjamin hak konstitusional ‘orang’ (termasuk perantau) untuk turut serta mengisi kedudukan kepala Desa dan perangkat Desa. Ditambah pula hierakhi norma dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, warisan Hans Kelsen (ajaran hukum murni) yang Positivisme-Yuridis, memposisikan ‘kepala Desa dan perangkat Desa’ sebagai ‘wujud dzihni’ yang tunduk dalam Sistem supra-Desa (kekuasaan dan uang).

Konsep ‘kesatuan hukum masyarakat adat’ sebagai ‘legal entity‘, dalam analisis-ontologis, menjadi konsepsi filsafat sekunder (ma’qulat tsanawi falsafi) bahwa Desa tidak identik dengan ‘kesatuan hukum masyarakat adat’ (Pasal 18B ayat 2 UUD NRI 1945). Otoritas kekuasaan-yuridis konstitusional itu melakukan analisis epistemik eksistensi-artifisial (i’tibari) bahwa ‘institusi Desa melebur dalam otoritas Pemerintahan Daerah’, atau dikonstruksi secara konsensus-politis bahwa kepala Desa dan perangkat Desa adalah kepanjangan tangan Pemda tanpa menimbang hakekat rekognisi dan subsidiaritas.

Idealiasi ‘Manusia dalam konstitusi’ maupun ‘Rakyat’ sebagai sebagai gradasi eksistensial (tasykik wujud) yang komprehensif dalam filsafat Sadrian, konteks interpretasinya mengalami ‘overlap‘ dengan Positivisme-Yuridis.

Pintu Kritik atas Negara Hukum
 
Tentu saja, buku analisis ontologis Daniel Zuchron ini masih terbuka untuk berlanjut dalam kondisi-kondisi sosiologis yang kompleks dan sekaligus membuka pintu ‘kritik terhadap Negara Hukum yang Demokratis’ sebagaimana dirumuskan secara etik oleh Prof. Jimly Ashshiddiqie. Realitas aksi politik yang menggunakan diskursus agama, justifikasi metafisis, penetrasi ke dalam nalar dan naluri populasi yang termobilisasi, sudah mengalami perbenturan dengan rasio/nalar “Negara Hukum (Rechtsstaat) warisan liberalisme Revolusi Perancis”. Konsensus politis tentang Negara Hukum tengah berhadapan dengan Politisasi Demokrasi yang menghasilkan prosedur demokrasi elektoral yang gegap gempita, tapi belum tentu menjadi inspirasi perubahan bagi ‘warga’, termasuk ‘warga Desa’.

Filsafat Mulla Sadra pernah menginspirasi ‘Revolusi Iran 1979’, tapi saya mengapresiasi Daniel Zuchron yang membuka jendela revolusi baru yakni persoalan ‘pasca-metafisis’ untuk mengkritisi Negara Hukum yang (diklaim) Demokratis dalam UUD NRI 1945, ditengah kondisi Politisasi Demokrasi Elektoral.***

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================