Adapun pada mereka yang menyuruh melakuakan perbuatan (Doenplegen) adalah bahwa pertanggungjawaban atau sanksi terhadap orang yang menyuruh melakukan perbuatan dibatasi hanya sampai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh, artinya walaupun  orang yang menyuruh melakukan itu bermaksud untuk menyuruh melakukan sesuatu yang lebih jauh sifatnya namun dia bertanggung jawab hanya sampai pada perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh orang yang disuruh. Sebaliknya dia juga bertanggung jawab sampai pada hal-hal yang memang disuruh melakukannya. Jika orang yang disuruh itu telah melakukan lebih dari apa yang disuruh melakukannya, maka orang yang menyuruh tidak bertanggungjawab atas hal yang lebih yang telah dilakukan oleh orang yang disuruh.

Pelaku yang berikutnya adalah mereka yang menganjurkan perbuatan, pertanggung jawaban dan konsekuesi hukum yang dapat dikenakan terhadap mereka yang menyuruh atau membujuk melakukan perbuatan adalah hanya perbuatan yang telah dianjurkan saja. Pertanggung jawaban penganjur dalam sistem penyertaan di Indonesia, sebagaimana diketahui bahwa penganjuran (Uitlokker) merupakan bentuk penyertaan yang berdiri sendiri, hal ini berarti bahwa berdasarkan daya upaya yang dilakukan oleh seseorang itu, oleh penganjur tidak perlu dilakukan suatu delik yang selesai penuh (Voltooid), bahkan apabila oleh si penganjur dilakukan perbuatan percobaan terhadap suatu delik, maka si penganjur tersebut telah dapat dipertanggungjawabkan untuk dipidana sama dengan pembuat atau pelaku.

Seperti yang telah diketahui bahwa dalam rumusan delik pasal 55 ayat 2 KUHP bahwa penganjur dapat dipidana dan dapat dipertanggungjawankan kepadanya apa yang dibujukkan atau dianjurkan untuk dilakukan kepada pelaku pelaksana dan akibat perbuatannya. Jadi pertanggungjawaban penganjur dibatasi atas apa yang dianjurkan dan akibatnya.

Setelah bentuk penyertaan penganjuran masih ada bentuk penyertaan yang lain dan ini merupakan bentuk penyertaan yang terakhir. Bentuk tersebuat adalah bentuk pelaku penyertaan pembantuan. Dalam KUHP diatur mengenai penyertaan pembantuan dalam pasal 56 dan pasal 57, dalam pasal 56 dirumuskan mengenai pembantuan sedangkan dalam pasal 57 dirumuskan mengenai batasan pertanggungjawaban dari peserta pembantu.

Konskuensi hukum dari bentuk pembantuan seperti yang dirumuskan dalam pasal 57 KUHP tidak sama dengan pelaku pelaksana. Perbuatan pidana yang berbentuk penyertaan terdiri atas peserta sebagai pelaku utama dan pembantu dengan masing-masing dipidana tidak sama. Pada prinsipnya KUHP menganut sistem dapat dipidana pembantu tindak pidana tidak sama dengan pelaku. Pidana pokok untuk pembantu diancam lebih ringan dari pembuat. Seperti dalam pasal 57 ayat 1 maksimum hukuman pokok dalam membantu melakukan tindak pidana dikurangi sepertiga. Apalagi dalam maksimum hukuman ini hukumam mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka hukuman maksimum pembantuan dijadikan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. Menurut ayat 3 hukuman tambahan dalam pembantuan sama seperti pelaku tunggal.

BACA JUGA :  Hasil Uber Cup 2024, Tim Bulu Tangkis Indonesia Takluk dari Jepang

Setelah mengetahui konsekuensi hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan pada peserta pelaku delik penyertaan ternyata masing-masing pelaku dapat dipidana sesuai dengan apa yang telah dilakukannya serta dipengaruhi peranan dan andil masing-masing peserta dalam melakukan tindak pidana. Begitu pula dalam kasus tindak pidana penyertaan pembunuhan yang dibahas dalam tulisan ini masing-masing peserta pelaku penyertaan dapat dipidana yang tidak sama antara satu peserta dengan peserta yang lain sesuai dengan peranan dan andil dalam melakukan tindak pidana.

 

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Pidana

Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh Hakim dalam membuat keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa setelah menjalani pemeriksaan pada persidangan di pengadilan. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan persidangan selesai, maka Hakim harus mengambil keputusan yang sesuai. Hal ini sangat perlu untuk menciptakan putusan yang proporsional dan mendekati rasa keadilan, baik itu dari segi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana, maupun masyarakat.

Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi pidana, Hakim melakukan tindakan untuk menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya dengan melihat bukti-bukti yang ada (fakta persidangan) dan disertai keyakinannya setelah itu mempertimbangkan dan memberikan penilaian atas peristiwa yang terjadi serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya Hakim mengambil kesimpulan dengan menetapkan suatu sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa, untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, hakim harus berpedoman pada sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam perkara pidana, alat bukti yang sah untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi hakim, diantaranya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Selain itu Hakim menghubungkan semua alat bukti dengan barang bukti yang diajukan dalam persidangan. Kesesuaian antara masing-masing alat bukti serta barang bukti, maka akan diperoleh fakta hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keseluruhan alat bukti yang diajukan dipersidangan menunjukkan kesesuaian satu sama lain atau tidak.

Faktor eksternal yang menjadi pertimbangan hakim dan alasan lahirnya putusan tentang tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, yaitu pertimbangan Hakim mengenai fakta-fakta yuridis Hakikat pembuktian dalam hukum pidana teramat penting, dimana dapat dikatakan pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang.

Pembuktian dilakukan melalui proses peradilan sehingga akan menentukan apakah seseorang dapat dijatuhkan pidana, karena hasil persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, kemudian dapat berupa dibebaskan dari dakwaan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana ataukah dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Secara sederhana dapat dikatakan ada anasir erat antara asas-asas hukum pidana dengan dimensi pembuktian yang merupakan rumpun hukum acara pidana. Pertimbangan hakim mengenai fakta-fakta yuridis diperoleh hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, dengan demikian Hakim berpendapat yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan sepanjang pemeriksaan di persidangan ternyata Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan para terdakwa tetap dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dan para terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya tersebut.

BACA JUGA :  Kecelakaan Maut di Labuan Bajo NTT Tewaskan Remaja asal Rote Ndao usai Jatuh dari Motor

Pertimbangan hakim mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, dalam memutus suatu perkara Hakim tidak boleh hanya mempertimbangkan aspek yuridisnya saja, tetapi Hakim juga harus mempertimbangkan aspek sosiologisnya. Dalam hal ini, Hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dari sisi pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan masyarakat. Dengan demikian, diharapakan tercipta putusan yang mendekati rasa keadilan bagi semua pihak, sehingga masyarakat mempunyai respek dan kepercayaan yang tinggi terhadap eksistensi pengadilan sebagai lembaga peradilan yang mampu mengakomodir para pencari keadilan.

Dengan demikian dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat menerima putusan, melakukan upaya hukum seperti banding atau kasasi, peninjauan kembali (PK), melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak hakim yang mengadili perkara diharapkan dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal sesuai dengan kesalahannya.

Putusan Hakim sangat dipengaruhi oleh pembuktian dalam penyelidikan, penyidikan dan pembuktian didalam sidang. Proses Peradilan akan berakhir dengan suatu putusan akhir. Dalam putusan tersebut Hakim menyatakan pendapatnya mengenai hal-hal yang dipertimbangkan oleh Hakim dalam putusan tersebut.

Semua putusan pengadilan akan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila putusan tersebut diucapkan dalam sidang. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa.(***)

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================