JAKARTA TODAY – Arswendo Atmowiloto (lahir Solo, 26 November 1948) mempunyai nama asli Sarwendo. Ndo, panggilannya, dari kecil senang mendalang. “Dari situ saya berkenalan dengan seni,” katanya. Ayahnya, pegawai balai kota Surakarta, sudah meninggal ketika Arswendo duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya, meninggal pada 1965. Arswendo pun yatim piatu di usia 17 tahun, ketika masih duduk di bangku SMA.

Tetapi, cita-citanya yang semula ingin jadi dokter, “gagal karena masalah ekonomi”. Lalu, ia lulus tes Akademi Postel di Bandung, tetapi urung berangkat, “karena tidak ada ongkos”. Tokh, keinginannya jadi mahasiswa terpenuhi di IKIP Surakarta (sekarang Universitas Negeri Sebelas Maret), walau cuma tiga bulan. “Saya hanya ingin memiliki jaket universitas,” begitu alasannya masuk perguruan tinggi.

BACA JUGA :  Kalap Makan Daging saat Lebaran, Coba 5 Makanan Ini yang Bisa Menurunkan Darah Tinggi

Arswendo memang suka berkelakar. Terkesan seenaknya hampir dalam segala hal. Kadang ia pun mengikuti arus. Misalnya, rambutnya pernah dipanjangkan dan diikat ke belakang bergaya ekor kuda, ini pun cuma ikut-kutan dengan arus, katanya. Ia pun mengaku hidupnya santai, tak pernah basa-basi, dan juga tak pernah memikirkan hari esok. Untuk soal terakhir itu, inilah contohnya. Suatu hari, di awal tahun 70- an, ia menerima honorarium menulis dari Harian Dharma Kandha sebesar Rp 1.500. Di dekat kantor tampak sejumlah orang, antara lain sopir becak, sedang berjudi. Ia bergabung dan kontan uang itu ludes.

Ia mulai menulis, dalam bahasa Jawa, cerita pendek, cerita bersambung, artikel di media berbahasa Jawa di tahun 1968. Mula-mula tulisan-tulisannya selalu ditolak. Tapi begitu menggunakan nama Arswendo (bukan Sarwendo) Atmowiloto (nama ayahnya), tulisan diterbitkan. “Nama Sarwendo tak membawa berkah rupanya,” komentarnya.

BACA JUGA :  Jadwal Pertandingan Lengkap Timnas Indonesia di Piala Asia U-23 2024

Ia menjadi wartawan ketika di Solo muncul harian berbahasa Jawa, Dharma Kandha dan Dharma Nyata. Sambil bekerja di media tersebut, ia pun menjadi koresponden lepas Majalah TEMPO. Tahun 1972 Arswendo pindah ke Jakarta, bekerja sebagai redaktur pelaksana di majalah humor Astaga. Majalah ini tak hidup lama dan ia pun masuk menjadi wartawan di kelompok Kompas-Gramedia. Di kelompok ini, ia sempat menjadi pemimpin redaksi majalah remaja Hai dan tabloid hiburan Monitor.

============================================================
============================================================
============================================================