Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Sebanyak 994 Laporan Aduan Selama Januari – Juli

Ilustrasi Kekerasan terhadap perempuan.

BOGOR-TODAY.COM – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan ada peningkatan laporan kasus kekerasan dari kanal Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA).

Sekretaris Kementerian, Pribudiarta Nur Sitepu, menjelaskan, hotline SAPA 129 pada tahun 2021 mencatat 1.010 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kemudian tahun 2022 terjadi kenaikan aduan yang signifikan, yakni menjadi 2.346 kasus. Pada tahun 2023, bulan Januari-Juli sudah diterima aduan sebanyak 949 kasus.

“Dengan tingginya angka dan pelaporan kasus kekerasan, kita perlu juga memperkuat sinergitas dan kolaborasi penanganan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan baik melalui tim terpadu yang selama ini sudah berjalan dengan melibatkan Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Ahli Pidana termasuk koordinasi dengan para APH,” kata dia dalam Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, melansir idntimes, Jumat (4/8/2023).

Pihaknya berupaya menguatkan mandat penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dengan melakukan koordinasi kepada aparat penegak hukum seperti kepolisian dan jaksa.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kabupaten Bogor, Minggu 26 Mei 2024

Kemen PPPA mendorong implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban dapat dimaksimalkan oleh aparat penegak hukum.

“Berbagai data ini patut menjadi perhatian yang serius bagi kita semua. Apalagi, angka-angka ini hanyalah angka laporan, artinya di lapangan jumlah kasus yang terjadi jauh lebih banyak,” ujarnya.

Pribudiarta mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es. Kelihatan kecil di permukaan karena alasan malu, tabu, bahkan dipengaruhi faktor kepastian hukum yang belum jelas. Hal ini menyebabkan banyak perempuan yang tidak melaporkan kasus yang menimpa mereka.

“Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini tentunya menjadi perhatian kita bersama sehingga para penegak hukum harus benar-benar dapat mengakomodir keadilan dan pemulihan bagi korban, serta memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku menggunakan instrumen hukum yang tepat bersifat lex specialis yakni UU TPKS,” kata dia.

BACA JUGA :  Kecelakaan Mobil Rombongan Pengantar Jemaah Haji di Gowa Tabrak Pembatas Jalan

Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati menjelaskan, UU TPKS telah mengatur mandat pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual perempuan dan anak.

Untuk mendukung hal tersebut, peraturan turunan berupa Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah tengah diupayakan dan terus didorong.

Pengesahannya pun diharapkan bisa dipercepat agar bisa menjadi acuan bagi para penegak hukum. Dia mengatakan, perlu upaya penguatan sistem dari hulu sampai ke hilir.

“Pada proses hukum mulai dari lidik sidik, penuntutan, sampai proses peradilan pidana yang komprehensif kepada korban bisa dilaksanakan dengan baik. Selain itu, akomodasi yang layak dalam penanganan perkara yang aksesibel dan inklusif bagi penyandang disabilitas dan penegakan hukum kepada para pelaku juga perlu kita upayakan,” kata Ratna.***

Follow dan Baca Artikel lainnya di Google News

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================