Oleh: ROBERT ENDI JAWENG
Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
Dalam jenis belanja modal, misalnya, hingga akhir semesÂter pertama 2015, baru 9,4 persen dari pagu Rp 290 triliun dalam APBN-P yang terpakai. Kinerja realisasi anggaran tak kalah buruknya terjadi di daerah, bahkan dengan persentase amat rendah, seperti Kabupaten Kediri (0,9 persen), Kabupaten Berau (5 persen), dan Kabupaten Siak (6 persen). Tidak heran, pada semester pertama kemarin, Rp 255 triliun dana pembangunan mengendap di daerah (Kompas, 6/7).
Fakta keras itu selalu beruÂlang sepanjang era desentralÂisasi. APBD sebagai instrumen fiskal bagi pembiayaan layanan publik dan stimulan ekonomi tidak bergerak dalam kekuatan penuh, bahkan mandul. KalauÂpun grafik serapan pada akhir tahun dapat meningkat, sejatinya itu jauh dari standar ideal suatu belanja berkualitas; malah lebih banyak diungkit belanja operaÂsional birokrasi, inefisiensi, dan korupsi. Ini artinya, hak dasar rakyat untuk menikmati jalan bagus atau irigasi bagi pengairan sawah mereka terpaksa tertunda. Bahkan, hilang lantaran pemerÂintahan yang tak bekerja (idle), memilih memarkir dana publik ke berbagai lembaga/instrumen keuangan yang tak produktif.
Reformasi Menyeluruh
Dalam kasus spesifik APBD, sosok masalahnya tampak berlaÂpis-lapis. Entah bernuansa politik atau berdimensi teknokratik, berÂsumber dari internal tata kelola fiskal ataupun berkelindan denÂgan lingkungan eksternal, merenÂtang dari Jakarta hingga daerah beserta konteks lokal-spesifik nan rumit. Semua itu membenÂtuk struktur persoalan yang tak boleh dianggap enteng.
Pertama, jika melihat siklus realisasi pada triwulan hingga seÂmester pertama yang kerap amat minim, masalah manajemen wakÂtu anggaran terlihat kasatmata sehingga ikhtiar bagi pembenahÂannya bisa mendatangkan quick win awal. Kalender tahun fiskal APBN ataupun APBD adalah JanÂuari-Desember, sementara sistem anggaran tahun jamak (multi-years) hanya berlaku pada megaÂproyek. Maka, entah uang habis atau tersisa berlimpah, buku kas ditutup 15 Desember.
Ke depan, hitungan argo nol APBD mesti diubah: dimulai setelah triwulan pertama, misÂalnya April, dan berakhir Maret tahun berikutnya. Selama ini, triÂwulan awal itu sebenarnya menÂjadi â€masa tunggu†daerah bagi datangnya dana transfer pusat, tapi jarum tahun fiskal sudah diÂhitung sejak 1 Januari sehingga pada akhir tahun banyak proyek digenjot, uang dihamburkan atau tak terserap. Kedua, prosÂes normal di fase perencanaan (RKPD) biasanya mulai terganggu saat memasuki fase pengangÂgaran (RAPBD). Banyak daerah menuntaskan pembahasan APBD melampaui tenggat, antara lain, lantaran substansi perencanaan tak gampang diterjemahkan dalam kerangka anggaran. Titik ini sungguh menyerupai battleÂfield: prioritas Satuan Kerja PerÂangkat Daerah (SKPD) vs Badan Perencanaan Pembangunan DaeÂrah (Bappeda) serta lebih buruk lagi sebagai pintu masuk kepentÂingan kepala daerah ataupun deÂterminasi DPRD yang memaksa kehendaknya atas nama aspirasi daerah pemilihan (dapil).
Kalau ranah perencanaan memunculkan dominasi proses teknokratik (pemda) atas proses partisipatif (publik/musrenbang), kontestasi dalam penganggaran acap dimenangi aksi berburu rente oleh kepala daerah/DPRD. Usaha mendasar guna memutus rantai permainan ini adalah meÂwajibkan DPRD terlibat penuh dalam perencanaan, sementara di tahap penganggaran tak lagi terlibat pada pembahasan satuan tiga (proyek, alokasi, dan lokasi) serta memberi persetujuan akhir di paripurna.
Ketiga, kelanjutan dari butir di atas adalah berupa politik pemÂbiaran birokrasi. Pencermatan di lapangan menunjukkan ada banÂyak bukti birokrasi memboikot implementasi anggaran. Mereka menyadari bahwa ranah perenÂcanaan dan penganggaran adalah arena kontestasi politik, sementaÂra realisasi adalah ranah mereka sebagai administrator program. Ketakutan menjadi pemimpin proyek (pimpro) adalah wujud nyata penolakan menjadi tumbal sekaligus ketidakrelaan para biÂrokrat senior untuk mengimpleÂmentasikan anggaran yang merÂeka tahu betul bahwa semua itu hanya untuk melayani aksi perbuÂruan rente para politisi.
Dalam konteks itu, langÂkah perbaikan jelas tak cukup memindahkan kriminalisasi (pidana) ke ranah administrasi. Sebagian kasus memang berkatÂegori administrasi dan kebijakan, tetapi tak boleh korupsi ikut diselamatkan. Dalam modus operandi yang canggih, korupsi sangat gampang direkayasa agar memperoleh proteksi hukum. Para pimpinan birokrasi menÂgetahui modus tersebut dan mereka yang berintegritas kuat akan tetap memboikot di tahap implementasi anggaran. Di sini, instrumen pengawasan, pengenÂdalian, dan pemeriksaan keuanÂgan justru harus bekerja efektif, bukan malah mengalihkan secara serampangan korupsi ke dalam perkara kebijakan/administrasi. Keempat, tak jarang suatu proyek yang telah dianggarkan, bahkan memasuki kontrak kerja dengan pihak ketiga, gagal dieksekusi karena hambatan yang datang dari dimensi persoalan lain. Studi Komite Pengawasan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD, 2015) menemukan masalah akses dan proses pembebasan lahan jadi biang utama gagalnya pekerjaan suatu proyek dan serapan angÂgaran.
Ini jelas bukan lagi domain rezim fiskal, bahkan bukan seÂmata urusan satu level pemerÂintahan. Pada kasus lain, perizÂinan usaha bagi rekanan swasta berlarut-larut diproses oleh inÂstansi lain di pemda yang sama. Operasionalisasi kerja yang terÂtunda atau digarap tergesa dan asal-asalan menjadi konsekuensi praktis berikutnya. Kebutuhan bergerak sinergis multipihak dan antar-pemerintahan jelas urgen. Proses tender proyek besar mesti mensyaratkan koordinasi, bahÂkan kepanitiaan bersama lintas bidang. Hingga revisi keempat (2015) Perpres Pengadaan Barang dan Jasa, business process tender hanya dilihat secara sektoral.
Reformasi tuntas yang menempatkan pengadaan (e-procurement) dalam kesatuan integral dengan perencanaan (e-planning), penganggaran (e-budÂgeting), perizinan (e-licensing), dan pembayaran (e-purchasing), bahkan redesain keterhubungan sistemik multilayer governance mesti jadi model baru. Ini meÂmang bukan perkara gampang dalam postur birokrasi kita yang kadung fragmentatif. Namun, hanya dengan upaya menyeluruh semacam itu, kita memastikan seÂtiap elemen bergerak sinergis.
Catatan Akhir
Daya serap APBD jelas tak seÂsederhana membangun pranata unit layanan pengadaan (ULP) dan layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) mengoperasiÂkan sistem e-proc yang memang terbilang baru dalam sektor publik kita. Tidak pula semata soal jaminan perlindungan huÂkum bagi panitia/pimpro, yang malah memberi proteksi bagi korupsi politik dan aksi berburu rente elite lokal. Kita memerÂlukan manajemen politik dan kepemimpinan presiden hingga gubernur/bupati/wali kota untuk menghela reformasi menyeluruh tata kelola anggaran dan segenap dimensi relasionalnya.
Politik anggaran Presiden Jokowi yang berintikan desentralÂisasi fiskal kuat ke daerah/desa menemui kesia-siaan jika takdiduÂkung kapasitas manajemen fiskal mumpuni di level implementasi. Bahkan, uang yang mengalir kian deras dan berjumlah banyak itu jadi sumber bahaya berlipat beruÂpa inefisiensi dan korupsi masif. Rakyat tak mendapatkan manÂfaat bersih lewat layanan publik berkualitas sebagai bentuk nyata kehadiran negara. Investasi pun sulit bergerak lantaran instrumen fiskal pemda tak banyak â€menÂstimulasi†mesin pertumbuhan swasta. Membiarkan ini terus berlarut pada usia 15 tahun kita berotonomi jelas menjadi sebenÂtuk kejahatan anggaran dalam varian lain. (*)