Oleh : Amir Efendi Siregar (Pengamat Media)
Dalam digitalisasi televisi nanti, satu kanal, yang dalam sistem analog hanya dapat menyalurkan satu program siaran, dapat menyalurkan banyak program siaran. Bisa sekitar 12 program jika yang dipakai adalah Digital Video Broadcasting Terestrial 2 (DVBT2).
Ketika terjadi migrasi dari penyiaran analog ke digital, terjadi peningkatan kuantitas ataupun kasarkan studi Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dalam menegakkan kedaulatan telekomunikasi dan penyiaran di Indonesia (Rahayu dkk, 2015), bonus digital ini khususnya terletak di pita frekuensi 174 hingga 230 MHz (VHF) dan 470 hingga 862 (UHF).
Namun, pita frekuensi yang paling baik dan ideal adalah 700 MHz (698 MHz sampai 806 MHz). Pita ini disebut sebagai frekuensi emas karena dapat bersiaran dan berkomunikasi lebih jernih, tajam, dan lebih jauh sehingga tak memerlukan banyak transmisi, infrastruktur jadi lebih sedikit.
Selama ini, industri telekomunikasi menggunakan frekuensi tinggi, sekitar 2 GHz, yang membutuhkan stasiun transmisi 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan pita 700 MHz.
Itu sebabnya pita 700 MHz ini menjadi incaran industri telekomunikasi. Efisiensi penggunaan frekuensi artinya terdapat bonus/ sisa frekuensi yang dapat digunakan untuk kegiatan telekomunikasi dan penyiaran lainnya.
Kepada siapa bonus ini diberikan, apakah kepada industri telekomunikasi atau penyiaran? Jika diberikan kepada industri telekomunikasi, industri ini sudah dikuasai dan didominasi asing.
Sebagai contoh, berdasarkan D&A Valuation Firm (2013), penguasa pasar (88 persen) industri seluler sudah dikuasai asing. Indosat 65 persen dimiliki asing (Qtel), sisanya 14,29 persen pemerintah dan 20,71 persen publik.
XL Axiata 66,485 persen dimiliki asing (Axiata Investments) dan 33,515 persen publik. Kemudian Telkom 53,14 persen dimiliki pemerintah, 46,86 persen publik (publik asingnya sekitar 38 persen). Telkomsel dimiliki PT Telkom 65 persen, Singtel 35 persen. Tampak secara berputar asing telah mendominasi industri telekomunikasi Indonesia dan itu dibolehkan undang-undang.
Jika UU Telekomunikasi belum diubah, pemberian bonus digital kepada industri telekomunikasi justru akan memperkuat dominasi asing. Untuk itu, seharusnya UU Penyiaran baru nanti harus mempertegas dan menyatakan bahwa bonus digital ini diberikan untuk industri penyiaran nasional, industri telekomunikasi nasional, dan institusi pelayanan publik.
Selanjutnya UU Telekomunikasi (UU No 36/1999) harus diubah karena terlalu liberal, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, serta paradigmatis bertentangan dengan UU Penyiaran.