Oleh: MOHAMMAD SHOLIHUL WAFI
mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam konteks ini, pemerintah berjanji menata kembali sistem pendidikan naÂsional termasuk soal distribusi guru dan pemerataan fasilitas pendidikan. Janji ini tenÂtunya memberi angin segar bagi seluruh masyarakat yang tinggal di daerah 3T (terpencil, terdeÂpan, dan terluar).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan begitu maju di daerah perkotaan dengan keÂlengkapan fasilitas dan sumber daya guru melimpah. Bahkan, hasil studi World Bank Indonesia (2011) memperlihatkan data bahÂwa Indonesia ternyata berkelebiÂhan guru.
Akan tetapi, kondisi faktual menunjukkan bahwa di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) seperti Papua, Nias Selatan, serta sebagian Kalimantan, janÂgankan fasilitas, sumber daya guru nyatanya masih sangat minim.
Ini membuat pendidikan maÂsyarakat pinggiran jauh tertinggal. Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA 2012), The Learning Curve Pearson 2014, maupun berdasarÂkan penilaian-penilaian internasiÂonal lainnya, Indonesia tetap saja menduduki posisi-posisi yang beÂlum dapat dibanggakan. Penyebab buruknya mutu pendidikan tak lepas dari kelemahan sistem dan keÂbijakan pemerintah yang tidak tepat.
Kebijakan pemerintah di biÂdang pendidikan seolah jalan di tempat. Kondisi ini bahkan semakin diperparah dengan tiÂdak meratanya distribusi guru secara kualitas dan kuantitas. Data Pemetaan BPSDMP-PMP KeÂmenterian dan Pendidikan dan Kebudyaan (Kemendikbud) taÂhun 2011 menunjukkan distribusi guru sangat timpang.
Di perkotaan, guru berkelebiÂhan hingga 52 persen. Di perdesaan guru juga berkelebihan hingga 68 persen. Sebaliknya, banyak sekolah di daerah 3T mengalami kekuranÂgan guru hingga 66 persen.
Masalah ini jelas mengakiÂbatkan para pelajar di daerah 3T tidak mendapatkan kesempatan sama dalam mengenyam pendiÂdikan layak. Akibatnya, generasi muda daerah 3T cenderung menÂgalami kesulitan dalam membanÂgun daerahnya.
Minim Guru
Salah satu hak dasar rakyat di mana pun, termasuk yang tinggal di wilayah terpencil, terÂdepan, dan terluar (3T) adalah mendapatkan pendidikan yang layak. Akan tetapi, untuk menduÂkung pendidikan layak tersebut, dibutuhkan guru-guru berkualiÂtas dalam jumlah cukup.
Ironisnya, jumlah guru di daeÂrah 3T hingga kini masih belum mencukupi. Sehingga, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin pelajar di daerah 3T dapat mengÂenyam pendidikan layak, semenÂtara jumlah tenaga gurunya saja masih sangat minim?
Guru merupakan garda terdepan yang bertugas memÂbimbing siswa dalam mencapai delapan Standar Nasional PenÂdidikan yang meliputi standar kompetensi lulusan, proses-isi, pendidik-tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian.
Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan beberapa fungsi dan peranan guru dalam proses pembelajaran, yaitu (1) sebagai perencana pendidikan (planner), (2) pelaksana (organizer), (3) peÂnilai (evaluator), serta (4) pemÂbimbing (teacher counsel).
Celakanya, hingga kini, kualiÂtas pendidikan dan distribusi guru masih sangat timpang sebÂagai bukti bahwa kebijakan beÂlum mampu menjadi katalisator yang baik dalam pembangunan pendidikan.
Keadaan ini sebenarnya meÂnyakiti hati rakyat yang berada di daerah 3T. Sebab, hingga usia keÂmerdekaan Indonesia yang lebih dari 70 tahun ini, generasi muda di daerah 3T tetap saja belum mendapat pendidikan yang layak.
Karena itu, rakyat sangat berharap kepada pemerintahan Jokowi agar mampu menggebrak kebuntuan sehingga memberi manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya di daerah 3T.
Hal ini penting mengingat banyak kebijakan saat ini kurang relevan sehingga perlu dikaji ulang. Beberapa di antaranya terÂkait dengan kebijakan distribusi guru. Permendikbud No 62/2013, SKB 5 Menteri, dan Kebijakan Sarjana Mendidik di Daerah TerÂpencil, Terdepan, dan Terluar (SM3T) belum mampu secara hoÂlistik mengubah keadaan.
Hal ini dikarenakan guru SM3T hanya mengajar sementara waktu (temporary). Sedangkan daerah 3T, faktanya membutuhkan guru-guru permanen berkualitas denÂgan jumlah yang cukup.
Inilah pekerjaan rumah (PR) pemerintahan Jokowi yang harus segera diselesaikan. Sebab, jika kualitas pendidikan tidak segera diperbaiki, maka masalah akan menjadi kian kompleks.
Bonus demografi yang seÂbenarnya dapat disiasati unÂtuk mendapatkan keuntungan, malah berujung malapetaka. Hal ini akibat menjamurnya generasi muda nonproduktif yang tak mampu bersaing di era perdaÂgangan bebas ASEAN yang akan mulai aktif pada akhir tahun ini.
Maka, agar kita dapat mengÂhasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, pemerinÂtahan Joko Widodo – Jusuf Kalla ( Jokowi-JK) perlu benar-benar menjadikan pendidikan sebagai engine of growth.
Ir Soekarno pernah berpeÂsan, guru merupakan sosok pentÂing sebagai pahlawan terdepan dalam proses ‘Revolusi Karakter Bangsa’.
Dalam konteks ini, menyeÂdiakan pendidikan layak bagi rakyat sudah merupakan tugas pemerintah sebagaimana tuntuÂtan undang-undang (UU).
Tentunya, semua berharap pemerataan pendidikan dapat tercapai sehingga kualitas sumÂber daya manusia meningkat demi jayanya Indonesia. Wallahu a’lam. (*)
sumber : suarakarya.id