Para budayawan di masa lalu, menggambarkannya dengan sederÂhana, namun mempunyai dimensi kedalaman makna. Terutama keÂtika mereka memilih tajuk Sunda Mekar. Simaklah: cacandran para laluhur, ciri dayeuh panca tengah, lemah duhurna, lemah lengkobÂna, lemah padatarannana, nagara mukti wibawa, perlambangnya congkrang kujang papasangan.. (Warisan para leluhur, ciri bumi panca tengah, bergemunung, berlembah curam, datar tanahnya.
Oleh : Bang Sem Haesy
DI masa modern, ketika orang-orang Barat (IngÂgris, Perancis, Belanda) menjelajah (dan kemudian menjajah), mereka juga melihat hal yang sama. Lalu memberinya nama Buitenzorg. Tempat ideal berkehidupan, dibandÂing Batavia ( Jakarta). Itu sebabnya mereka mesti membangun tempat khas (yang kita kenal Istana Bogor) sebagai simbol futurisma kesejahteraan hidup. Berhadap-hadapan denÂgan bangunan yang sudah mereka bangun sebelumnya (Istana Negara dan Istana Merdeka) di Jakarta.
Bogor (yang kemudian terbagi menjadi Kota dan KaÂbupaten) dari sudut pandang imagineering (rekacita) yang menghubungkan masa lalu – masa kini – masa depan, adalah sentra saujana (pusat intelektuÂalitas untuk memandang masa depan – vision). Satu-satunya wilayah Indonesia tempat berÂtemunya era agraris, era indusÂtri, era informasi, dan era konÂseptual kini.
Di masa lalu, wilayah ini dilengkapi dengan hutan, telÂaga, sungai, anak sungai, peÂsawahan, penambangan emas, perkebunan, dan wilayah perÂdikan – wilayah tempat proses kajian ilmu dan pengetahuan berlangsung, khasnya terkait dengan spiritualisme.
Di Pakuan (Bogor) inilah berlaku isyarat agar manusia menjaga hubungan korelasÂinya dengan Tuhan dan Alam untuk mencapai kesejahterÂaan hidupnya (triangle of life), sebagai manifestasi dari nilai hidup tritangtu.
Dalam konteks Sunda MeÂkar berbasis tritangtu, tersimÂpan isyarat agar manusia menÂgelola secara baik dan benar sumberdaya alam yang sudah disiapkan Tuhan bagi manusia. Terutama, karena di dalamnya, mengandung potensi keekonoÂmian berdimensi kesejahteraan.
Sepanjang dikelola secara benar dengan arah yang jelas (melalui pembangunan manuÂsia), atas dasar kompetensi dan inovasi guna menghasilkan karya peradaban. Karya yang menitikberatkan pemanfaatan sains dan teknologi, bagi keseÂjahteraan rakyat dan bermuara pada kemuliaan bangsa (naÂgara mukti wibawa). Fokusnya adalah tata kelola SDA dan modal manusia (human capiÂtal) sebagai generator utama aksi reinventing government.
Kesemua itu, sejalan denÂgan artikulasi pesan masa lalu dalam aksi governansi di masa kini, bagi kepentingan masa depan. Yakni, memelihara alam secara beradab. Manusia yang mampu mencegah siaÂpapun melanggar kebiadaban: gunung-gunung dibarubuh (bad mining) dan tatangkalan dituaran (deforestasi). Dua kelakuan buruk manusia yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan, itu akan menÂimbulkan bencana : cai caah babanjiran (banjir bandang) dan buwana marudah montah (gempa bumi, gunung meleÂtus, longsor, dan lain-lain).
Karena itu, manusia harus berikhtiar, melakukan aksi ‘menghijaukan alam’ agar rakyat sejahtera (hejo – ngejo). Hutan yang terpelihara (reÂforestasi dan reboisasi), akan berdampak pada terciptanya lingkungan sehat, lingkungan cerdas, dan lingkungan sosial berkemampuan ekonomi.
Ketiga hal ini kita kenal sebagai indikator human deÂvelopment index (indeks pemÂbangunan manusia), yang oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sekaligus indikator pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDG’s ) – pelanjut dekade Millenium DevelopÂment Goals (MDG’s).
Secara sederhana, bertolak dari Sunda Mekar, aksi kolektif yang kudu dilakukan adalah Bogor Hejo, Rakyat Ngejo.
Bang Sem (N. Syamsuddin Ch. Haesy) – seorang imagineer, jurnalis dan brodkaster senior – anggota Dewan KebuÂdayaan Jawa Barat.