Oleh: MEI SUSANTO
Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia,
Dosen Fakultas Hukum Unpad Bandung
Misalnya, yang dikatakan DesÂmond J Mahesa, wakil ketua KomiÂsi III DPR, yang mencurigai, apakah bom ThamÂrin ada kaitannya dengan UU Terorisme agar direvisi, menginÂgat belum jelasnya apakah kasus Sarinah atau Tahmrin itu bagian dari trigger untuk merevisi UU Terorisme? Apakah memang betul teroris atau by design yang belum terjawab secara maksimal oleh pemerintah?
Kecurigaan ini tentu harus dijawab pemerintah agar dapat benar-benar menjelaskan secara gamblang kasus yang terjadi, seÂhingga solusi revisi UU Terorisme salah satu jalan terbaik yang haÂrus diambil.
Ancaman terorisme bagi maÂsyarakat dan negara memang nyata, bukan imajinasi kosong belaka. Bahkan, negara-negara maju, seperti Amerika, Prancis, dan Turki pun turut menjadi koÂrban terorisme itu. Karenanya, sebagai bentuk respons bom Thamrin, keinginan melakukan evaluasi penanganan persoalan terorisme di Indonesia adalah suatu yang wajar. Baik itu evaluÂasi dari aspek pemberantasan terorisme maupun regulasi yang ada.
Yang menarik adalah komenÂtar Presiden Jokowi dalam seÂbuah media yang menyebutkan UU Terorisme ini bisa saja direviÂsi, dibikin peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) atau UU baru. Tentu, komentar ini kurang layak keluar dari seorang PresÂiden karena seolah-olah tidak memahami perbedaan antara revisi undang-undang, pembuaÂtan perppu, ataupun dibuat UU baru. Khusus berkaitan dengan ide pembuatan perppu harus memenuhi dalam hal ihwal keÂgentingan yang memaksa sebÂagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.
Hal ihwal kegentingan yang memaksa inilah yang harus mamÂpu ditunjukkan dan dibuktikan Presiden ketika mengeluarkan perppu. Merujuk putusan MK No 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat sebagai parameter “kegentingan yang memaksaâ€, yakni (1) adÂanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berÂdasarkan UU; (2) UU yang dibuÂtuhkan belum ada, sehingga terÂjadi kekosongan hukum atau ada UU, tetapi tidak memadai; dan (3) kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Bagir Manan (2004) menyeÂbutkan, unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu adanya krisis dan kemendesakan. Suatu keadaan krisis ditafsirkan dengan adanya gangguan yang menimÂbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse).
Sedangkan, kemendesakan diartikan sebagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumÂnya dan memuat suatu tindakan segera tanpa menunggu perÂmusyawaratan terlebih dahulu. Atau, telah ada tanda-tanda perÂmulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableÂness), bila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan bagi masyarakat maupun jalanÂnya pemerintahan.
Dari perspektif ini maka kondisi pascabom Thamrin seÂbenarnya tidak menunjukkan adanya krisis dan kemendesakan. Dengan demikian, ide mengubah UU Terorisme melalui perppu kuranglah tepat. Bahkan, buÂkankah ketika peristiwa bom Thamrin kesigapan aparat IndoÂnesia menanggulanginya patut diacungi jempol.
Karenanya, dengan perangkat hukum yang ada saat ini disertai perangkat penegak hukum yang memadai, ancaman terorisme di Indonesia masih dapat ditangkal dan dilakukan penegakan hukÂumnya. Jika kemudian adanya keinginan melakukan perubahan dalam regulasi pemberantasan terorisme lebih baik menggunakÂan pranata revisi ataupun pemÂbuatan UU Terorisme yang baru.
Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM BNPT maupun Polri cukup serius mengusulÂkan agar UU Terorisme diubah karena perkembangan terorisme internasional, khususnya adanya ISIS. Tidak hanya revisi UU TerorÂisme, juga mengusulkan Perppu Penanggulangan Kelompok atau Organisasi Terlarang atau KelomÂpok Radikal Terorisme. Ada beÂberapa hal yang patut dicermati dan dikritisi.
Misal, dalam usulan revisi UU Terorisme, Pasal 28 pengaturan mengenai batas waktu penangkaÂpan disertai penahanan direvisi dari tujuh hari menjadi 30 hari. Padahal, sesuai KUHAP penangÂkapan disertai penahanan maksiÂmal 1×24 jam.
Sementara itu, dalam draf Perppu tentang penanggulangan Kelompok atau Organisasi TerlaÂrang atau Kelompok Radikal TerÂorisme, Pasal 4 mengenai ancaÂman pidana penjara paling lama 10 tahun bagi orang yang (a) denÂgan sengaja mengadakan hubunÂgan, baik langsung maupun tidak langsung dengan kelompok atau organisasi terlarang; (b) dengan sengaja menganut atau mengemÂbangkan ajaran atau paham atau ideologi kelompok atau organÂisasi terlarang kepada orang lain atau kelompok lain; atau (c) dengan sengaja bergabung atau mengajak bergabung dengan keÂlompok atau organisasi terlarang.
Selain itu, keinginan melakuÂkan perubahan hukum juga meÂnyasar UU 9/1998 tentang MeÂnyampaikan Pendapat di Muka Umum karena dianggap belum mampu menjerat orang yang seÂcara tegas dan terang-terangan mendukung ISIS. Juga, menyasar UU 17/2013 tentang Ormas yang tiÂdak mengakomodasi ormas yang tidak terdaftar dan bahkan radiÂkal untuk ditindak.
Lalu, juga menyasar UU 12/2006 tentang KewarganegaÂraan yang belum mengatur dapat hilangnya kewarganegaraan InÂdonesia akibat ikut organisasi terlarang. Belum lagi, keinginann BIN agar diberikan kewenangan penangkapan yang keluar dari rel tugas intelijen.
Dari berbagai UU yang hendak disasar mempunyai singgungan yang besar terhadap jaminan dan perlindungan HAM. Karenanya, kalau pemerintah tidak hati-hati dan secara jernih mendudukan persoalan terorisme ini, revisi UU Terorisme beserta aturan lain yang terkait hanya akan mengemÂbalikan model pemerintahan otoriter. Tentu, ini yang harus dihindari.
Revisi UU Terorisme adalah keniscayaan, walau demikian harus dengan tetap berpegang pada prinsip pemenuhan tangÂgung jawab negara terhadap HAM, yakni menghormati (to reÂspect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Revisi ini hanyalah obat jangka pendek.
Dalam jangka panjang, sebÂagaimana disebut Todung Mulya Lubis, sebaiknya pemerintah segera melakukan perbaikan keÂsejahteraan masyarakat, mewuÂjudkan keadilan sosial, dan membenahi sistem pendidikan akan membuat masyarakat lebih sadar mana yang baik dan yang buruk. Dengan begitu, masyaraÂkat tidak mudah terbujuk untuk bergabung dengan kelompok teroris. (*)