MEMAHAMI batas-batas kewenangan, otoritas, dan kepemilikan merupakan bagian indah dalam keseluruhan konteks etika sosial kesundaan. Sanghyang Singksakandang Kareasian, memadukan baÂÂhasa simbolis dan bahasa terang dalam menguraikan hal tersebut.
Bang Sem Haesy
HAK dan kewajiban, tugas – tanggungjawab dan kewenangan, jeÂÂlas relasi korelasinya. Paribasa yang dipaÂÂkai, mengisyaratkan kebun dengan batas, serta segala yang hidup di dalamnya. Kemudian, bagaimana cara kita menÂÂjaganya. Tetapi, secara esenÂÂsial, etika yang diajarkan adalah bagaimana menghormati batas-batas hak kita dan hak orang lain.
Sanghyang Siksakandang KaÂÂresian mengisyaratkan: Salang keÂÂbon ning alas, kayu batri nangtu, bwah beunang nga-rara(ng)gean, tanggeuhkeun suluh, turuban supa, cangreudan tewwan, odeng, nyeruan, engang, ulam, paraÂÂkan, sing sawatek babayan, ulah urang barang ala. Sanguni nurunkÂÂeun sadapan sakalih, ulah eta diÂÂpiguna kenana puhun ning dosa, tamikal ning papa kalesa. (Batas kebun di hutan adalah kayu yang ditandai tali, pohon buah yang ditandai ranting, kayu bakar yang disandarkan, cendawan yang dituÂÂtupi, sarang tiwuan, odeng, lebah engang, ulat kayu, parakan atau apapun yang telah diberi simpul babayan jangan diambil. Demikian pula menurunkan sadapan orang lain jangan sekali-kali dilakukan kaÂÂrena merupakan sumber dosa dan pangkal kenistaan dan noda.)
Bila kita memperhatikan dengan seksama esensi dari apa yang tertuang dalam Sanghyang SiksaÂÂkandang Karesian, ini segera dapat tergambar, bagaimana sebenarnya kita harus berbuat. Secara harafiah, misalnya bagaimana kita mengatur tentang hak atas tanah. Terutama karena kita mewarisi suatu sistem yang mengenal tentang hak milik dalam konteks pertanahan.
Dalam suatu percakapan ringan saya dengan Menteri AgrarÂÂia dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ferry MurÂÂsidan Baldan, mengemuka berbaÂÂgai rencana aksi dan aksi penataan sistem yang memungkinkan orang memperoleh haknya secara wajar dan proporsional. Tugas negara, menurut Ferry adalah memberikan kejelasan kepada rakyat, hak dan kewajibannya, sekecil apapun hak itu. Karena itulah, pelayanan yang diberikan Kementerian / Badan yang dipimpinnya dengan seksama memperhatikan aspek-aspek keariÂÂfan lokal.
Menurutnya, bila rakyat sudah mengetahui hak dan kewajibanÂÂnya, serta memahami esensinya, maka rakyat dapat menggunakan apa yang telah menjadi haknya secara optimumum. Ujungnya adaÂÂlah kesejahteraan. Terutama dalam konteks tanah yang mengandung begitu banyak hal di dalamnya.
Tanah tidak hanya merupakan sarana prasarana hidup, melainkan juga sebagai sarana untuk memuliaÂÂkan dirinya dengan kemauan dan kemampuan mengolah tanah itu. Dalam konteks isyarat Sanghyang Siksakandang Karesian, tanah terkait langsung dengan hubungan manuÂÂsia dengan sesama, manusia dengan makhluk lain (termasuk flora dan fauna), dan manusia dengan Tuhan.
Hubungan-hubungan itu bila disertai dengan etika atau akhlak terhadap alam, pasti akan memÂÂberikan manfaat yang sangat beÂÂsar bagi kehidupan manusia itu sendiri. Karena itu, dalam konteks hak dan kewajiban, di sebaliknya terdapat kemanfaatan yang terus menerus harus dieksplorasi.
Secara sederhana, boleh diÂÂkatakan, terkait dengan hak atas sarana dan prasarana kehidupan yang diberikan Tuhan, kata kuncinÂÂya bukan kecil atau besar, luas atau sempit sarana itu. Melainkan, seÂÂberapa intens kita mengolahnya sehingga manfaatnya menjadi sangat besar.