Apakah Ciliwung Dikelola? Cara pandang manusia terhadap alam menentukan cara manusia mengelolanya. Klausul tersebut berlaku untuk seluruh sumberdaya alam yang ada di dunia, salah satunya sungai. Jika manusia memandang sungai sebagai aliran air, maka cara mengelolanya cenderung dengan pendekatan fisik.
Oleh: MUHAMAD MUSLICH
Hasilnya seperti yang lumrah kita liÂhat; sungai dilurusÂkan, dibeton, dan dikeruk agar dapat mengalirkan air dalam volume lebih banyak dan lebih cepat masuk ke sungai.Lebih memriÂhatinkan lagi sungai dipandang sebagai selokan sehingga orang dengan bebas mengalirkan limÂbah dan membuang sampah.
Berbeda jika manusia meÂmandang sungai sebagai sistem ekologi, maka cara mengelolanÂya dengan pendekatan kompreÂhensif dengan memerhatikan aspek fisik, biologi, dan sosial. Interaksi antara komponen fisik, biotik, dan sosial membentuk ekosistem yang saling kait. MaÂnusia yang memandang sungai sebagai sistem ekologi maka penghargaan terhadap sungai akan diwujudkan dalam laku sehari-hari. Mereka akan beruÂsaha ramah dan bersahabat denÂgan sungai. Bahwa peradaban manusia masa lampau dimulai dari sungai memang benar adanya. Pertanyaanya adalah apakÂah pendekatan yang digunakan untuk mengelola sungai di InÂdonesia? Celakannya lagi, kita dapat bertanya apakah sungai di Indonesia telah benar-benar dikelola? Ciliwung memperliÂhatkan dampak pertarungan cara pandang terhadap sungai. Demikian kita dapat membuat pertanyaan kunci, apakah CiliÂwung dikelola layanya sebuah sungai?
Jika anda bertanya siapa yang mengelola sungai,maka akan mudah dijawab bahwa sungai menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum, katakanlah untuk Ciliwung maka pengelolaanya di bawah balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung- Cisadane. Jika berbicara pengelolaan Daerah Aliran Sungai maka pengelolaanya ada di KeÂmenterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Pengelolaan DAS Ciliwung-CitaÂrum. Keduanya merepresenÂtasikan objek,tujuan, dan cara kelola yang berbeda. Sekali lagi kita akan menemukan sebuah paradok melalui pertanyaan, Siapa yang bertanggung jawab terhadap sampah di dalam sungai? Apakah Dinas yang berÂtanggung jawab dalam pengeÂlolaan smapah di setiapdaerah, Dinas yangbertanggung jawab terhadap kualitas air sungai, atau Dinas atau lembaga yang bertugas mengelola sungai?
Pertanyaan ini tidak bertenÂdensi menuduh, tetapi lebih pada untuk mengingatkan bahÂwa ada banyak sekali lembaga negara yang berkaitan dengan sungai, tetapi justru kualitas lingkungan Ciliwung semakin buruk. Rujuk saja laporan analiÂsis laporan Kementerian LingÂkungan Hidup tahun 2011 yang menyatakan bahwa kullaiitas air Ciliwung dibawah baku mutu. Padahal, air dari Ciiiwung adalah airyangsehari0hai mengalir meÂlaui pipa-pipa ke rumah rumah di Bogor dan Depok berasal dari Ciliwung, kecuali di Jakarta yang akualitas airnya sudah sangat buruk. Maka perusahaan airpun enggan menggunakan air CiliÂwung sebagaibahan aku karena ongkos produskinyan memÂbengkak. Lambatlaun ketika air yang kita konsumsi berasal dari air kemasan, swahirgasi hilang berganti rumah, masih kah kita memerlukan Ciliwung? Nilai apalagi yang harus kita percaya agar masyarakat mampu mengÂhargai sungainya.
Berbicara tentang sungai Ciliwung adalah berbicara roÂmantisme. Ketika berbicara romantisme maka yang muncul adalah gambaran masa kecil tenÂtang Ciliwung yang bersih dan indah. Ciliwung menjadi tempat bermain yang sehat, aman, dan mendidik. Sayangnya, saat ini kita sangat sulit menemukan baÂgian Ciliwung dimana kita bisa bebas bermain di dalamnya. Anak-anak kita sudah dipisahÂkan dari Ciliwung karena ulah kita sendiri. Ciliwung dijadikan tempat sampah dan selokan rakÂsasa yang mengalirkan limbah. Hal ihwal rusanya ekosistem Ciliwung berawal dari hilangnya pagar sungai yaitu ekosistem riÂparian. Hilangnya pembatas alÂami telah menyebabkan asupan materi tidak berguna masuk ke dalam sungai. Jika kita sepakat, maka yang terjadi di Ciliwung bisa jadi juga terjadi di ribuan sungai di Indonesia.
Komponen ekosistem sungai yang memiliki peran penting dalam menjaga struktur dan fungsi sungai adalah vegetasi yang tumbuh pada zona riparian. Banyak sekali definisi riÂparian yangtelah dikemukakan para ahli. Bahkan akhirnya mereka tidak sepakat terhadap definisi tertentu. Riparian dapat merupakan formasi vegetasi, ekosistem,atau ruang peralihan antara ekosistem daratan dan perairan. Prinsipnya adalah bahÂwa riparian menempati daratan di sisi kanan dan kiri badan sungai. Vegetasi tersebut memengaruhi dan dipengaruhi kondiÂsi sungai. Batas lebar vegetasi riparian tersebut sulit ditentuÂkan (Mc Eachern 2003), kadang sangat nyata tetapi ada juga yang merupakan gradasi (Hauer & Lamberti 2007). Mitsch dan Gosselink (2007) menyatakan bahwa riparian menjadi bagian dari ekosistem lahan basah yang berada di dekat sungai atau badan air lainnya yang dipengaÂruhi oleh banjir secara periodik. Dengan demikian, riparian sesÂungguhnya adalah pagar sungai. Riparian kemudian dipopulerÂkan dengan bahsssa teknis menÂjadi sempadan atau bantaran dengan berbagai bentuk.
Tumpulnya Pisau Kebijakan
Di Indonesia, istilah zona riÂparian digantikan oleh bantaran, sempadan, dan dataran banÂjir. Definisi di dalam kebijakan tersebut belum jelas batasannya di lapangan. Deretan pisau kebiÂjakan berjajar untuk melindungi sungai. Sebut saja Keputusan Preseiden No. 32 tahun 1990 tenÂtang kawasan lindung, Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tentang sungai. Kebijakan perlindungan terhadap sempadan sungai pada tingkat daerah dicantumkan dalam peraturan daerah kabuÂpaten/kota dan provinsi terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Meskipun demikian, implementasi kebijakan tersebut belum berjalan optimal. PelangÂgaran terhadap zona riparian diÂlakukan dalam berbagai bentuk konversi lahan. Pisau kebijakan terkahir ditingkat pemerintah kkota dan kabupaten juga telah menggariskan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung setempat. Lagi-lagi, kebiÂjakan tersebut hanyalah menjadi pemanis pelengkap dokumen.
Menurut Keputusan PresÂiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sempadan sungai adalah kaÂwasan sepanjang kanan kiri sungai yang memunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi sungai. Sungai dalam kebijakan tersebut termasuk sungai buatan, kanal, dan saluran irigasi primer. Definisi terseÂbut tidak merujuk kepada unit ekosistem, tetapi lebih kepada batasan fisik sebuah area. PeneÂtapan ukuran lebar sempadan berbeda-beda sesuai dengan lebar dan lokasi sungai. Lebar sempadan sungai besar di luar permukiman ditetapkan lebih dari 100 m. Lebar sempadan pada anak sungai besar yang berada di luar permukiman ditetapkan lebih dari 50 m. SeÂdangkan pada daerah permukiÂman, lebar sempadan sungai dapat berupa jalan inspeksi dengan lebar 10-15 m.
Kebijakan tentang sempadan juga telah ditetapkan dalam PerÂaturan Pemerintah No. 26 taÂhun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 56 ayat (2). Kebijakan tersebut menetapkan batas sempadan sungai paling sedikit 5 meter dari kaki tanggul sebelah luar. Sementara itu lebar sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman paling sedikit 100 m dari tepi sungai. Lebar sempadan anak sungai yang tidak bertanggul di luar kawasan permukiman paling sedikit 50 m dari tepi sungai (Kemenkumham 2008).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tenÂtang Sungai terdapat istilah danau paparan banjir. Danau paparan banjir didefinisikan seÂbagai tampungan air alami yang merupakan bagian dari sungai yang muka airnya terpengaruh langsung oleh muka air sungai. Ada pula dataran banjir yang didefinisikan sebagai dataran di sepanjang kiri dan atau kanan sungai yang tergenang air pada saat banjir. Peraturan tersebut juga memberikan definisi banÂtaran sungai yaitu ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan atau kanan palung sungai. Sementara garis sempadan adalah garis maya di kanan dan kiri palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai Penetapan garis sempadan sungai diamanatkan harus selesai pada taÂhun 2016 sesuai yang tercantum dalam kebijakan tersebut. Garis sempadan sungai ditetapkan berdasarkan lebar, kedalaman, dan palung sungai (KemenkumÂham 2011).
Namun ketika ada cercah harapan pelestarian sungai meÂlalui penetapan Garis Sempadan Sungai, tetiba UU. No. 7 tahun 2004 tentang Sumber daya air dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi batal demi hukum karena tidak memiliki alas akonÂstitusi yangkuat. Dampaknya, seluruh peraturan dibawahnya termasuk Pp No. 38 tahun 2011 juga tidak berlaku lagi. Akhirnya pengelolaan sumberdaya air, termasuk di dalamnya sungai, kembali kepada UU No. 11 tahun 1974 tentang pengairan untuk mengisi kekosongan hukum.
Cara Pandang Masyarakat
Riset mendalam yang dilakuÂkan penulis diketahui bahwa masyarakat di segmen Bogor dan Depok mengenal bentang alam di sekitar sungai di antaÂranya kedung dan bantaran. Kedung merupakan bagian sungai yang memiliki palung sungai yang dalam. Kedung biasanya merujuk dan berada pada wilayah kelokan (meanÂder). Kedung dalam perspektif umum masyarakat lokal meruÂpakan daerah berbahaya karena kedalaman lokasinya. Selain itu, keberadaan kedung biasanya berada di bawah tebing terjal badan sungai memungkinkan tingginya resiko longsor. Konstruksi sosial masyarakat terhaÂdap kedung menunjukan interÂaksi erat dengan lingkungannya. Hal tersebut dibuktikan dengan nama-nama kedung yang meÂmiliki keterkaitan sejarah masa lalu atau kondisi lokasi. Di daeÂrah Cibinong dan Bojong sampai dengan Depok, kedung dinaÂmakan dari asal usul kondisi lingkungan. kedung buni memiÂliki nama tersebut karena dahuÂlu terdapat pohon buni, kedung ringin karena memiliki pohon beringin yang besar, kedung piÂsang dan kedung jati karena di lokasi tersebut merupakan keÂbun pisang dan jati yang luas. Sementara itu kedung pucung karena keduanya terdapat poÂhon pucung (Pangium edule).
Kedung juga memiliki nama yang terkait erat dengan kondisi fisik lingkungannya, misalnya kedung curug yang berati terÂdapat air terjun di sekitarnya. Air terjun yang dimaksud adalah aliran anak sungai yang melunÂcur ke dalam badan sungai. Air terjun tersebut saat ini masih ada, tetapi airnya berasal dari limbah rumah tangga. Kedung gelonggong dipercaya memiÂliki lubang seperti gua yang memanjang sampai ke kedung pagersi. Lubang di dalam air tersebut sering menimbulkan suara bergemuruh. Sementara kedung jeruk menunjukan benÂtuk kedung seperti mangkok kuÂlit jeruk.
Kedung juga memiliki nama sesuai dengan kepercayaan maÂsyarakat terhadap mitos dan keÂjadian mistis. Sebagai contoh di sekitar kedung pagersi dipercaya terdapat pagar besi. Pagar besi tersebut tidak dapat terlihat oleh orang biasa. Ada pula kedung jiwa yang merupakan tempat bersemayam arwah-arwah orang yang meninggal di Ciliwung. KeÂdung bokor, di karenakan pernah tersimpan sebuah bokor emas. Di daerah Cilebut, terdapat keÂdung yang memiliki nama orang-orang yang meninggal di lokasi tersebut. Kedung puser diyakini sebagai kedung paling dalam di Depok. Air di kedung tersebut berputar (puser) karena di dalam sungainya membentuk gua. KeÂdung lainnya yang memiliki miÂtos kuat adalah kebo gereng yang berarti kerbau kurus. Di kanan-kiri kedung, biasanya dijadikan areal perkebunan campuran dengan intervensi pengelolaan yang tidak intensif dan jarang dibuat hunian.
Sempada sungai (zona riÂparian) dengan kondisi vegetasi alami dapat mendukung terpeliÂharanya mata air di tepi sungai. Sejumlah mata air ditemukan mata air di tebing sungai dan zona riparia Ciliwung. Nama mata air tersebut merujuk pada nama seseorang yang sejak daÂhulu atau pertama kali memanÂfaatkannya dan mengolah lahan di sekitarnya. Di Bogor misalnya terdapat Mata air Nya Sara, Pak Kanta, Pak Ripan, Haji Husin, Seksel, dan Pak Mamung. Di DeÂpok dapat ditemukan mata air Wa’ Sian, Haji Dul, Ma’ Ajum, Ma’ Jamat, Wa’ Piah, Wa’ Nelan, dan Wa’ Niun.
Sebagian besar mata air di bantaran Ciliwung sampai saat ini masih digunakan oleh warga untuk kebutuhan mandi, cuci, dan sumber air minum. Mata air tersebut dikelola dengan dibangun bak-bak penampungan air, dialirkan melalui pipa, dan ada pula yang memanfaatkan langÂsung dari sumber mata airnya.
Berbeda dengan di permuÂkiman kampung, zona riparian di komplek perumahan umumÂnya merupakan fasilitas umum. Fasilitas umum tersebut wajib disediakan oleh pengembang (developer). Bentuk fasilitas umum tersebut biasanya taman. Pengamatan di lapangan memÂperlihatkan bahwa sempadan di komplek perumahan ada yang dikelola dan dimanfaatkan seÂcara optimal untuk kegiatan warga ada pula yang dibiarkan tidak terawat. Bahkan ditemuÂkan zona riparian yang dipagar untuk memisahkan sungai dengan penghuninya.
Waluyo et al. (2011) menyatakan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi, kondisi sosial dan ekonomi, serta kondisi ekologi, maka pengetaÂhuan dan cara pandang manuÂsia terhadap sumber daya tumÂbuhan mengalami perubahan. Naiman et al. (2005) lebih lanjut menyatakan bahwa pengelolaan riparian dipengaruhi oleh kondiÂsi politik, kelembagaan, keputuÂsan ekonomi, strategi pengeloÂlaan dan perspektif nilai pemilik lahan. Cara pandang memang menentukan. Sayangnya deru buldoser masih lebih kuat mengÂhancurkan sempadan sungai unÂtuk dibangun perumahan.
Masih Ada Harapan
Sudah terlalubanyak kajian dan diskusimenyelematkan CiliÂwung. Daftar panjang itu akan terus panjang ketika isu lingkunÂgan terus mencuat. Pebelitia dalam dan luar negeri terus berÂdatangan ke Ciliwung mengatasnamakan pengetahuan. Namun sayang, berbagai rekomenÂdasi penting belum terlihat di lapangan. Namun demikian, masih ada asa di Cilwung. MenuÂrut Muslich et al. (2014), yang melakukan penelitian tumbuÂhan di sepanjang Cilwung mulai dari Katulampa di Kota Bogor sampai dengan Pasir Gunung Selatan di Kota Depok menemuÂkan 105 spesies tumbuhan dari 36 famili. Berbagai spesies bamÂbu mendominasi tutupan riparian yang masih alami misalnya di sepanjang Bojog Gede sampai dengan Depok.
Rata-rata lebar wilayah bervegetasi di sepanjang areal penelitian tersebut 30,71 meter di kanan dan kiri sungai. Hal tersebut memberikan asa di CiliÂwung untuk mempertahankan wilayah alami di pinggri sungai.
Pertama, sungai harus menÂjadi ruang publik yangdapat diakses dengan aman dan nyaÂman sehingga masyarakat dapat menikmati, memelajri, mengapresiasi, dan menghargai sungai dengan semestinya. Kedua, sunÂgai harus dipandang sebagai sistem ekologi yang menjadi bagian dari bentang alam kota. Dengan demikian, pembangunan wilayah harus memperhatikan dampak terhapad ekosistem sungai. KeÂtiga, perlunya pengarusutamaan gerakan masyarakat cinta sungai di tengah masyarakat. Gerakan ini haruslahir dibawah dengan semangat meramaikan sungai, bermain di sungai, dan mengharÂgai sungai. Lahirnya ide brilian kadang kala hanya dimulai dengan bertanya. Ketika masih ada asa di Ciliwung, mari masing-maÂsing dari kita bertanya bagaimana kita berbuat baik untuk Ciliwung. Mau apa kita?
Penulis:
Penggiat Konservasi Hidupan
Liar, Tinggal di Bogor
Anggota Komunitas Peduli
Ciliwung