DALAM hukum pidana dikenal azas “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir reaâ€, bahwa seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan. Mungkin saja orang bisa dibuktikan sebagai pelaku tindak pidana, tetapi belum tentu bersalah. Karena itu tidak dapat dipidana.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memuat ketentuan tenÂtang peniadaan hukuman bagi pelaku kejahatan/tinÂdak pidana, atau yang dalam istilah hukum disebut straÂfuitsluitingsgronden. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam tindak pidana tersebut terÂdapat sebab-sebab yang dapat membebaskan pelaku dari segala tuntutan hukum karena alasan khusus yang diatur sendiri dalam KUHP.
Ketentuan KUHP yang mengaturnya, yaitu : a. Pasal 44 yang prinsipnya memuat aturan bahwa orang tidak dapat dihukum apabila tidak dapat dipertanggungjawabÂkan perbuatannya karena kurang sempurna akal pikiÂrannya. Misalnya: idiot, deÂbil, imbesil, dan penderita gangguan jiwa. b.Pasal 48, yakni orang yang melakuÂkan tindak pidana karena pengaruh daya paksa (overÂmacht). c. Pasal 49, yakni orang yang melakukan tinÂdak pidana karena terpaksa untuk mempertahankan diri (noodweer). d.Pasal 50, orang yang melakukan tinÂdak pidana untuk menjalankÂan undang – undang. Serta Pasal 51, orang yang melakuÂkan tindak pidana karena perintah jabatan. (*)