BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Pasal 1 angka (1) UU di atas mendefinisikan bencana adalah perisÂtiwa atau rangkaian peristiwa yang menÂgancam dan mengganggu kehiduÂpan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkunÂgan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Sedangkan yang dimaksud dengan bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian perisÂtiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan taÂnah longsor.
Adapun bencana non alam menurut ketentuan UU di atas adalah bencana yang diakibatÂkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Lebih lanjut UU tersebut mendefinisikan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarÂkomunitas masyarakat, dan teror.
Terdapat tiga elemen utama dalam penanggulangan bencana, yang meliputi pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga usaha. Peran ketigÂanya telah diatur lebih rinci dalam berbagai pasal UU di atas. Peran Pemerintah dan Pemerintah DaeÂrah diatur dalam Pasal 5, 6, dan 7; Peran masyarakat diatur pada Pasal 26 dan 27; Sedangkan peran Lembaga Usaha dirumuskan pada Pasal 28 dan 29.
Sudah dengan sendirinya Pemerintah memiliki peran dan tanggungjawab yang dominan dalam upaya penanggulangan benÂcana. Secara spesifik peran dan tangÂgung jawab itu dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pemerÂintah pusat dan Badan PenangguÂlangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Pemerintah Daerah.
Adapun tanggungjawab Pemerintah baik pusat maupun Daerah dalam penyelenggaraan penangÂgulangan bencana, meliputi: a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pemÂbangunan; b. perlindungan maÂsyarakat dari dampak bencana; c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; d. pemulihan kondisi dari dampak bencana; e. penÂgalokasian anggaran penangguÂlangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai; f. pengalokasian anggaran penanggulangan benÂcana dalam bentuk dana siap pakÂai; dan g. pemeliharaan arsip/doÂkumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Sementara itu kewajiban maÂsyarakat dalam penanggunglangan bencana, meliputi : a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup; b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penangguÂlangan bencana.
Demikian pula peran dan tanggungjawab Lembaga usaÂha. Prinsipnya Lembaga Usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulanÂgan bencana, baik secara tersendÂiri maupun secara bersama denÂgan pihak lain. Ketentuan tentang peran Lembaga Usaha dalam penanggulangan bencana telah ditaur dalam Pasal 29, yang meruÂmuskan, bahwa: (1) Lembaga usaha menyesuaikan kegiatanÂnya dengan kebijakan penyelengÂgaraan penanggulangan bencana. (2) Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan penangÂgulangan bencana serta menginÂformasikannya kepada publik secara transparan. (3) Lembaga usaha berkewajiban mengindahÂkan prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya dalam penanggulangan bencana.
Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan bencana agar terlaksana tepat waktu, sasaran dan penganggaran diperlukan penyelenggaraan penanggulanÂgan bencana yang terstruktur dan sistematis. Merujuk pada Pasal 31 penanggulangan bencana didasarÂkan pada empat aspek : a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat; b. kelestarian lingkungan hidup; c. kemanfaatan dan efektivitas; dan d. lingkup luas wilayah. (*)