Bank Indonesia (BI) menyatakan jumlah cadangan devisa hingga akhir Februari 2016 mencapai USD 104,5 miliar atau naik 2,34 persen dibanding posisi Januari 2016 yang USD 102,1 miliar.
Oleh : Winda Herviana
[email protected]
Peningkatan tersebut diÂpengaruhi penerimaan cadangan devisa, antara lain berasal dari peneriÂmaan devisa migas dan penarikan pinjaman pemerintah serta hasil lelang Surat Berharga Bank IndoneÂsia (SBBI) valas. ‘’Juamlah ini jauh melampaui kebutuhan devisa unÂtuk pembayaran utang luar negeri pemerintah,’’ ujar Direktur EkseÂkutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara dalam keterangan resÂminya di Jakarta, Senin (7/3/2016). “Peningkatan dan posisi ini jauh melampaui kebutuhan devisa unÂtuk pembayaran utang luar negeri pemerintah,†tambah Tirta.
Tirta mengatakan, posisi cadanÂgan devisa per akhir Februari 2016 itu cukup untuk membiayai 7,6 buÂlan impor, atau 7,3 bulan impor, dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jumlah tersebut beÂrada di atas standar kecukupan inÂternasional yakni cadangan devisa setara dengan kebutuhan tiga bulan impor.
Otoritas moneter menilai posisi cadangan devisa dengan adanya kenaikan tersebut mampu menÂdukung ketahanan dari gejolak sektor eksternal dan menjaga kesÂinambungan pertumbuhan ekoÂnomi Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.
Menanggapi hal tersebut, GuÂbernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menuturkan, kenaiÂkan cadangan devisa d i k Âarenakan peran haÂs i l minyak dan gas serÂta dari penarikan pinjaman pemerintah.
“Cadangan devisa sudah diuÂmumkan naik, tentu nanti akan ada penjelasan dalam banyak hal. Karena peran penerimaan devisa dari hasil migas dan dari penarikan pinjaman pemerintah,â€ujarnya.
Sementara itu, menurut EkoÂnom Institute for Development Economy and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, jumlah devisa tersebut tidak mencukupi untuk membayar utang luar negeri yang bertambah. Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu BI menyatakan puÂnya cadangan devisa sekitar USD 104-105 miliar yang cukup untuk 6 bulan impor. Padahal kewajiban utang dan kebutuhan impor itu, diÂrasa Eny jauh sekali dibandingkan 3 tahun yang lalu.
“Sekarang dengan jumlah deviÂsa yang sama, bagaimana mungkin. Bagaimana meyakinkan bahwa itu mencukupi, sementara kewajiban luar negeri utang dan sebagainya, termasuk kebutuhan impor itu suÂdah pasti meningkat,â€ujarnya.
Menurutnya, pemerintah meÂnambah utang luar negeri hingÂga mencapai Rp 500 triliun. Sementara untuk kebutuhan impor, kata Enny, semaÂkin meningkat, terutama impor untuk kebutuhan-kebutuhan dasar seperti impor pangan dan impor bahan.
Cadangan devisa, menurut Enny, akan terus tergerus akibat proyek percepatan infrastruktur oleh pemerintah yang akan meningÂkatkan laju impor, dan berdamÂpak pada meningkatnya utang pemerintah. “Kalau kita tidak mampu meningkatkan ekspor ya tentu ini akan bahaya. BaÂhaya untuk likuiditas perÂekonomian,†ujarnya.
Ia menyatakan jika saat ini pasokan dari ekspor masih turun karena harga komoditas jatuh. Dalam jangka pendek, kata dia, perlu instrumen dari moneter yang bisa menarik potensi deÂvisa hasil ekspor di luar negeri. “Perlu instrumen agar para eksportir ini mau, karena kalau ngÂgak dipaksa, nggak ada yang mau suÂkarela,†ujarnya.
(republika|ant)