USULAN revisi UU KPK kembali mencuat ke permukaan. Setelah beberapa waktu lalu usulan ini ditolak Presiden Jokowi karena dirasa belum dibutuhkan. Kini usulan itu gencar disuarakan oleh anggota DPR.
Oleh: ARADILA CAESAR IFMAINI IDRIS
Peneliti Hukum ICW
DPR beralasan hal ini penting dilakukan untuk menyempurÂnakan kelembagaan KPK. Ide penguaÂtan KPK tentu sejalan dengan aspirasi setiap rakyat Indonesia yang menginginkan KPK kuat. Sayangnya, ide penguatan KPK tak dibarengi logika yang sejalan dengan hasil rumusan RUU KPK. Masih banyak substansi atau materi muatan RUU KPK yang tak mencerminkan semangat penguatan.
RUU KPK seolah memberikan gambaran bahwa ada persolan serius yang tak dipahami DPR soal ide penguatan. Ataukah, DPR menggunakan perspektif yang berbeda? Sulit rasanya menÂgamini logika penguatan KPK jika melihat substansi dalam RUU tersebut. Alih-alih memperkuat KPK pada kenyataannya rumuÂsan pasal dalam RUU KPK seperti mencoba membunuh KPK secara perlahan.
Dalam temuan ICW setidaÂknya persoalan dalam RUU KPK dapat dikelompokkan dalam tiga persoalan besar. Di antaÂranya persoalan eksistensi KPK, kewenangan penegakan hukum KPK, dan soal kelembagaan. Eksistensi KPK menjadi persoaÂlan yang paling fundamental. KeÂberadaan lembaga ini sepertinya coba dimatikan secara perlahan. RUU hanya membatasi usia KPK selama 12 tahun sejak RUU disahÂkan.
Artinya, setelah 12 tahun KPK hanya akan menjadi catatan sejaÂrah karena bubar dengan sendÂirinya. Pertanyaan yang perlu diperhatikan, mengapa dibatasi selama 12 tahun? Apakah dalam 12 tahun ada jaminan IndoneÂsia bebas dari korupsi? Sebagai perbandingan untuk jawaban itu perlu kiranya merujuk pada prakÂtik negara lain. Hong Kong meÂmiliki ICAC yang dibentuk pada 1974.
Pembentukan ICAC meruÂpakan upaya Hong Kong untuk menyelesaikan persoalan korupsi yang sangat kronis kala itu. BerÂkat ICAC kini Hong Kong menjadi salah satu negara paling bersih di Asia. Keberhasilan itu tak serta-merta Hong Kong membubarkan ICAC. ICAC masih berdiri kokoh dan terus menjalankan mandat pemberantasan korupsi.
Keberadaan lembaga anÂtikorupsi tetap diperlukan meski negara telah bebas dari korupsi. Hal ini juga merupakan amanah United Nation Contion Against Corruption ( UNCAC) PBB yang sudah diratifikasi Indonesia. Dalam Pasal 6 disebutkan setiap negara dengan memperhatikan sistem hukumnya harus memastiÂkan keberadaan sebuah lembaga yang secara khusus berkaitan dengan urusan pemberantasan korupsi, dalam hal ini KPK. PengÂhapusan KPK merupakan pilihan paling tak logis dan tak berdasar jika pemberantasan korupsi merupakan agenda prioritas naÂsional.
Penegakan Hukum
RUU KPK seolah ingin meÂmisahkan penegakan hukum buÂkan bagian dari pemberantasan korupsi. Baik dalam konsideran maupun substansi RUU jelas memperlihatkan hal tersebut. Dalam ketentuan umum definisi antara pemberantasan korupsi dan penegakan hukum bahkan dipisah.
Penegakan hukum yang KPK lakukan selama ini bukanlah merupakan upaya pemberanÂtasan korupsi dalam RUU KPK. Tentu hal ini berimplikasi besar pada tugas dan kewenangan KPK. Dengan memisahkan dua hal tersebut, pembentuk UU mengÂinginkan KPK lebih banyak fokus pada pencegahan.
Logika ini berbanding terbalÂik dari logika pembentukan KPK. Salah satu alasan lahirnya KPK adalah ketidakefektifan institusi penegak hukum lain dalam memÂberantas korupsi. Kewenangan penegakan hukum KPK melalui penindakan masih sangat dibuÂtuhkan. ICW mencatat sejak 2010 baik kepolisian dan kejaksaan masih memiliki ribuan tunggakan kasus korupsi yang tak tuntas (liÂhat Tren Korupsi ICW).
Mereduksi fungsi penegakan hukum KPK juga dilakukan dalam ketentuan penuntutan KPK. RUU secara tegas menyatakan penunÂtut umum adalah jaksa pada lemÂbaga Kejaksaan Agung, bukan pada institusi KPK. Implikasinya proses penuntutan hanya dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang bertugas di institusi kejaksaan. Berbeda dengan UU 30 Tahun 2002 tentang KPK di mana penuntut umum adalah jaksa yang bertugas di KPK seÂhingga kewenangan penuntutan dipegang oleh penuntut umum KPK.
Proses penuntutan yang dilakukan kejaksaan akhirnya akan menimbulkan persoalan birokrasi yang berbelit-belit. KeÂwenangan penegakan hukum KPK yang berada dalam satu atap justru lebih efektif. Sistem ini meÂminimalisasi bolak- balik perkara antara penyidik dan penuntut umum.
Selain itu, sistem penuntutan yang tak satu atap juga memunÂculkan peluang penghentian perkara oleh kejaksaan. Selain hal tersebut, yang perlu diperhaÂtikan adalah rapor penuntutan di kejaksaan. Tren Vonis ICW 2014- 2015 sedikitnya mencatat ada 86 terdakwa kasus korupsi yang diÂvonis bebas pengadilan tipikor. Artinya, penuntut umum gagal membuktikan bahwa terdakwa bersalah dalam dugaan kasus koÂrupsi. Hal ini berbanding terbalik dengan KPK yang memiliki 100% conviction rate .
Kelembagaan KPK
Kelembagaan KPK pun tak luÂput dari upaya pelemahan. Upaya ini seakan melengkapi berbagai upaya pelemahan dalam RUU. Dalam susunan kelembagaan KPK versi RUU, penasihat KPK dihilangkan dan diganti dengan dewan eksekutif. Jika dilihat lebih jauh, ada dua persoalan besar dari kehadiran dewan eksekutif.
Pertama, persoalan seleksi dewan eksekutif. RUU mengamÂanatkan pemilihan dewan ekseÂkutif dilakukan laiknya pemilihan calon komisioner KPK. Ada tahaÂpan seleksi yang harus diikuti hingga terpilih anggota dewan eksekutif. Proses yang demikian tentu akan menghabiskan angÂgaran yang dapat dialokasikan untuk keperluan KPK lainnya. Di samping akan memakan waktu yang cukup panjang dan melelahÂkan.
Proses pemilihan diakhiri dengan dipilihnya anggota dewan eksekutif oleh Presiden. Dewan eksekutif dalam hal ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Karena dipilih oleh Presiden, artinya dewan eksekutif juga berÂtanggung jawab pada Presiden. Ketentuan ini tentu akan mengÂganggu independensi KPK sebÂagai lembaga yang juga mengaÂwasi kekuasaan eksekutif.
Kedua, tugas dan wewenang dewan eksekutif sedikit-banyak tumpang tindih dengan kewenanÂgan komisioner KPK. Persoalan ini akan menimbulkan masalah serius di keorganisasian KPK. KPK sebagai organisasi yang terÂus tumbuh juga dibonsai dengan membatasi rekrutmen pegawai secara mandiri. RUU KPK menÂgamanatkan pegawai KPK meruÂpakan PNS pada kepolisian, keÂjaksaan, BPK, dan Kementerian Informasi.
Ketentuan ini menutup celah bagi KPK untuk merekrut orang-orang yang memiliki kualifikasi baik untuk bergabung dengan KPK. Dengan berbagai persoaÂlan dalam RUU KPK, tidak salah rasanya jika menilai semangat RUU KPK ini adalah melemahkan KPK. RUU KPK ini dapat dinilai seÂbagai upaya pembunuhan berenÂcana pada kerja-kerja KPK dan pemberantasan korupsi. Sudah sewajarnya pemerintah menolak dan menarik dukungan atas renÂcana pembahasan UU KPK.
Sumber: Situs Indonesian Corruption Watch (ICW)