KEKHAWATIRAN para pegiat lingkungan hidup terhadap penyatuan izin lingkungan di bawah koordinasi Badan Koordinasi Penanaman Modal akhirnya terbukti sudah.
Oleh: FIRDAUS CAHYADI
Direktur Eksekutif One World-Indonesia
Pada awal Juli ini, seÂÂbuah portal berita memberitakan bahwa Badan Koordinasi PenÂÂanaman Modal (BKPM) mengusulkan penyederhanaan perizinan izin mendirikan banguÂÂnan (IMB) yang diatur dalam PerÂÂaturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007, dengan penghapusan persyaratan analiÂÂsis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya peÂÂmantauan lingkungan (UPL).
Amdal adalah salah satu praÂÂsyarat pembangunan yang berpoÂÂtensi berdampak buruk terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Kini, ketika perizinan disatukan di bawah koordinasi BKPM, amÂÂdal pun diusulkan dihapuskan. Alasannya jelas: amdal adalah inÂÂstrumen lingkungan yang mengÂÂhambat investasi.
Kepala BKPM sepertinya lupa atau tak peduli bahwa diabaiÂÂkannya amdal menjadi pemicu kerusakan lingkungan hidup. Kehancuran ekologis di Jakarta adalah salah satu contohnya. Di Jakarta, daerah resapan berupa ruang terbuka hijau (RTH), situ, ataupun hutan kota telah banyak berubah fungsi menjadi kawasan komersial, apartemen, perumaÂÂhan mewah, dan juga pusat perÂÂbelanjaan.
Sudah tampak jelas bagaimaÂÂna hilangnya hutan kota di JaÂÂkarta untuk pembangunan yang mengabaikan lingkungan hidup. Lihatlah hutan kota di kawasan Senayan. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kaÂÂwasan seluas 279 hektar ini sebÂÂagai RTH. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sekitar 16 persen dari luas total. Namun, di kaÂÂwasan itu kini telah muncul Plaza Senayan (pusat belanja dan perÂÂkantoran, dibuka 1996), Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (aparteÂÂmen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), dan banguÂÂnan megah lainnya.
Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 mempeÂÂruntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini, hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibanÂÂgun pada 2002, selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), dan Mal Taman Anggrek (aparteÂÂmen dan pusat belanja, dibuka 2006). Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para peÂÂmilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.
Krisis Ekologis
Apa dampak dari pembanguÂÂnan yang mengabaikan lingkunÂÂgan hidup itu? Krisis ekologis! Air hujan yang seharusnya bisa mengisi air tanah ternyata justru menjadi air larian (run off ) peÂÂnyebab banjir. Data Badan PenÂÂgelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta menyebutkan, dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan.
Perencanaan air larian dan juga limbah dalam suatu banguÂÂnan itu muncul dalam dokumen amdal. Jika kemudian amdal dalam mendirikan bangunan diÂÂhapuskan, hampir dapat dipastiÂÂkan krisis ekologis akan semakin mudah terjadi dan meluas.
Contoh nyata sebuah kegÂÂiatan pembangunan yang menÂÂgabaikan amdal adalah kasus Lapindo. Pada 2009, Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar menilai kasus lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas merupakan akibat amdal yang diremehkan. Bahkan menteri lingkungan hidup saat itu juga menengarai banyak perusahaan, rumah sakit, dan sebagainya yang meremehÂÂkan amdal. Menurut dia, Menneg LH telah menghentikan puluhan proyek yang tidak layak lingkunÂÂgan hidup dengan instrumen amdal. Penghentian itu bukan dimaksudkan untuk menghalangi investasi, melainkan didasarkan kajian ilmiah untuk menghindari bencana ekologis seperti lumpur Lapindo.
Padahal, amdal dan perizÂÂinan lingkungan hidup lainnya bukan hanya persoalan teknis di lapangan dan laboratorium. Ada dimensi sosial di dalamnya, yaitu partisipasi publik. Dalam perizinan lingkungan hidup, maÂÂsyarakat yang berpotensi terkena dampak dari pembangunan atau investasi itu harus dilibatkan seÂÂjak awal. Dengan dihapuskannya amdal oleh BKPM, hampir dapat dipastikan persoalan partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan diabaikan.
Penyingkiran partisipasi warga dan pengabaian dampak lingkungan hidup ini tentu akan menjadi berita gembira bagi para investor. Namun, hal itu akan menjadi kabar buruk bagi warga. Investasi memang akan lebih muÂÂdah, tetapi kerusakan lingkungan hidup juga akan semakin cepat dan meluas.
Jika memang pemerintah, dalam hal ini BKPM, ingin memoÂÂtong birokrasi perizinan, seharusÂÂnya yang lebih banyak dipotong adalah birokrasi yang memang diciptakan untuk melakukan koÂÂrupsi. Berbeda dengan amdal, yang dibuat bukan sebagai pintu masuk korupsi, tetapi untuk saraÂÂna pengendalian pembangunan agar tidak membahayakan keseÂÂlamatan manusia dan lingkungan hidup. Masih banyak perizinan lain di luar lingkungan hidup yang bisa dipangkas.
Saat ini kita memang butuh investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keÂÂberlanjutan ekologi akan menjadi pertumbuhan ekonomi semu. Di atas kertas memang terlihat ada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya justru banyak warga yang menderita karena keselamatannya terancam akibat kerusakan lingkungan hidup.
Presiden Joko Widodo harus melihat usul BKPM yang ingin menghapuskan amdal ini sebagai sinyal yang membahayakan kesÂÂelamatan warga dan lingkungan hidup. Usul ini harus dengan teÂÂgas ditolak, sebab bagaimanapun kewajiban pemerintah adalah melindungi keselamatan wargÂÂanya. Banyaknya investor tidak akan bermakna jika itu justru mengancam keselamatan warga. Oleh karena itu, keselamatan rakyat yang seharusnya menjadi panglima, bukan investor. (*)