Oleh: SAHLUL FUAD
Dosen Institut PTIQ Jakarta

Berawal dari sebuah ar­tikel, Semangat Ghoffar, Warga Jakarta yang Bekerja di Victoria Mar­ket Melbourne, dan yang ditulis Hany Koesumaward­ani, wartawan Detik, sosoknya dikenal oleh publik Indonesia.

Tipikal Intelektual Pekerja

Saya mengenal Ghoffar per­tama kali ketika kami bersama-sa­ma dalam satu tim menulis buku Naskah Komprehensif Risalah Pembahasan Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di Mahka­mah Konstitusi RI (MK).

Saya mendapat bagian menyu­sun buku bidang Pendidikan dan KebudayaandanSendi-Sendi/Fun­damen Negara, sementara Ghof­far menyusun buku Lembaga Per­musyawaratan dan Perwakilan.

Pada waktu yang bersamaan, dia juga sedang menyusun tesis­nya, yang kemudian terbit men­jadi buku berjudul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju.

Dan perkenalan saya den­gan Abdul Ghoffar makin akrab manakala bukunya saya resensi dan dimuat dalam Harian Kom­pas berjudul Menakar Kekuasaan Presiden Indonesia.

Boleh dibilang, saya menge­nalnya pertama kali bukan seka­dar perkenalan sebagai sesama arek (anak) Gresik yang merantau di Jakarta. Tetapi lebih dari itu, saya mengenalnya sebagai sosok yang penuh semangat, intelektu­al yang gigih, tekun, dan cerdas.

Pandangan saya ini, terutama soal semangat dan kegigihannya, bukan asal ngecap-karena dikemudian hari saya tahu betapa tertinggalnya kampungtempat kelahirannya. Dari ceritanya, lis­trik saja baru masuk setelah dia menginjak usia SMA.

Meski begitu dia bisa meny­elesaikan dua kesarjanaan dari kampus ternama di Surabaya dalam waktu hampir bersamaan, yakni di Universitas Airlangga dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Bagi alumni pesantren seperti dia, tidaklah mudah menembus ujian masuk Unair.

Sebab di pesantren pelajaran umum bukanlah pelajaran yang ditekankan. Meski demikian, toh dia berhasil lulus, berkat keteku­nannya.

Seiring kedekatan hubungan pertemanan kami, saya juga tahu bahwa semasa kuliah dia harus bekerja keras untuk memenuhi biaya kuliah sekaligus biaya hidupnya. Mulai dari menjadi pen­jaga warung kopi, penjual jamu tradisional, pengaja warung tel­kom (wartel), tukang ketik rental komputer, sampai akhirnya men­jadi jurnalis di media ternama di Kota Pahlawan tersebut.

Profesi sebagai jurnalis ia teruskan sampai di Jakarta sem­bari melanjutkan studinya di pascasarjana Universitas In­donesia. Sebelum akhirnya diterima sebagai pegawai Mah­kamah Konstitusi, dia juga per­nah diangkat sebagai tenaga ahli salah satu fraksi di DPR RI. Mengawali karier di MK, Ghof­far diminta meng-asisteni Hakim Konstitusi Harjono.

Sampai akhirnya, ketika Mah­fud MD terpilih menjadi Ketua MK, Ghoffar diangkat sebagai asistennya. Begitu juga ketika Arif Hidayat dipilih sebagai Ketua MK, Ghoffar juga ikut mendampingi sebagai asistennya.

Tentu saja, selaku asisten seorang hakim konstitusi sekaligus Ketua MK dia bukanlah seorang kuli atau pekerja kasar. Akan teta­pi, sebagaimana diceritakan dalam artikel itu, kerjanya “Cuma duduk menulis, mengetik, dan lain-lain.” Selain itu, dia juga masih rajin menulis opini di koran-koran ter­kait hukum dan politik.

Oleh karenanya, ketika istri saya menunjukkan kepada saya sebuah berita di media ini—meski kemudian saya tahu tidak kurang 5 media nasional dan internasion­al juga memuat beritanya—saya tertegun. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya masih tidak per­caya dengan apa yang saya baca dan saya lihat.

Saya hampir tidak percaya kalau dalam foto itu adalah dia. Rasanya baru beberapa bulan yang lalu, saya temui dia di kan­tornya, di lantai 15 Gedung Pen­jaga Konstitusi dan Demokrasi di Republik ini. Tidak berasa air mata saya menetes.

Memilih Keluarga

Untuk kedua kalinya saya li­hat foto itu. Begitu juga narasi beritanya, saya baca ulang. Baru kemudian saya yakin, kalau itu memang benar dia. Ada rasa iba, kasihan, “kok bisa yaa?, kok dia mau melakukan itu?” Namun ke­mudian saya menyakini akan satu hal: anak ini punya semangat hid­up yang tidak biasa.

Dengan membaca berita itu, saya juga sadar bahwa Ghoffar benar-benar telah membuat puisi kehidupannya sendiri. Walau­pun dia seorang asisten Hakim Konstitusi, Ketua MK, dan juga mahasiswa doktoral hukum, dia rela meninggalkan semua itu un­tuk sementara waktu, dan kemu­dian menjalani hidup sebagai kuli panggul, kuli angkut, kuli pasar, atau apapun sebutannya, di neg­eri orang. Sungguh, bagi saya ini kenyataan hidup yang sangat kontras yang pernah saya tahu.

Saya tiba-tiba jadi teringat ung­kapan F. Scott Fitzgerald, seorang penyair Amerika yang mengatakan, “Show me a hero, and I’ll write you a tragedy”, tatkala membaca kondi­si yang dijalani sahabat saya di neg­eri sana. Apa yang membuatnya rela membanting kelasnya? Mung­kinkah ini sebuah tragedi? Tragedi apa dan bagi siapa?

Kalau banyak orang bilang bahwa hidup adalah pilihan, Ghoffar benar-benar mengikuti kaidah tersebut. Saya memang sempat mendengar kegalauan dia, tatkala istrinya hendak be­rangkat ke Australia untuk melan­jutkan studi. Mengambil cuti dari pekerjaan bukanlah sebuah pili­han yang mudah baginya.

Sementara, dua putranya yang masih belia sedang butuh-butuhnya pengasuhan dari kedua orangtuanya. Kalau dia tidak ikut berangkat ke Australia, tentu kedua putranya yang cerdas-cerdas itu akan terpisah dari kedua orangtuanya. Ghoffar tidak mungkin bisa mengasuh sendiri di Jakarta, sementara pekerjaan­nya menghabiskan waktu sehar­ian, bahkan kadang lebih.

Banyak orang berpendapat, bukankah anak bisa dititipasuh­kan kepada nenek dan kakeknya atau saudara dan kerabatnya? Memang, banyak orang memilih solusi itu. Namun, bukankah sua­mi-istri juga mempunyai cita-cita dan harapan bagi putra-putrinya?

Tampaknya, Ghoffar dan Weni bukan tidak percaya kepada pengasuhan kedua orangtuanya, namun mereka mempertimbang­kan hak dan perkembangan jiwa kedua putranya.

Banyak kasus menunjuk­kan bahwa perkembangan jiwa anak menjadi terganggu akibat kurangnya kasih sayang langsung dari kedua orangtuanya. Trauma masa kanak-kanak seringkali dia­baikan kedua orangtua yang ter­lalu obsesif dalam mengejar karir dan profesinya.

Kesadaran Gender

Selaku seorang suami, dia bisa saja melarang istrinya untuk menerima beasiswa di negeri Kan­guru itu. Bukankah banyak orang menganut budaya bahwa tugas dan kedudukan suami lebih pent­ing daripada sekolah istrinya?

Namun, tampaknya Ghof­far tidak demikian. Dia tampak sekali menghormati peluang istrinya untuk berkembang. An­dai seorang suami juga memiliki peluang yang sama, kemung­kinan besar dia akan memaksa istrinya untuk mengikutinya.

Dalam konteks ini, saya meli­hat Ghoffar bukan saja memiliki kesadaran mengenai kesetaraan dan keadilan gender, tetapi juga mempraktikkannya. Dia rela me­lepaskan atribut-atribut kebesa­rannya di Jakarta sebagai seorang pegawai di sebuah institusi yang berkelas.

Dia bukan saja mendukung istrinya menimbah ilmu di sana, tetapi saya juga melihat kadang dia memosting fotonya di medsos sedang mengantarkan Einar dan Kiral, anaknya ke sekolah atau daycare. Meski demikian, seman­gat belajar Ghoffar juga tidak dia­baikan begitu saja.

Di sela-sela waktunya bekerja, dia masih menyempatkan diri un­tuk meningkatkan kapasitasnya, dalam hal ini dia manfaatkan kur­sus Bahasa Inggris di kampung para natif.

Mungkin, saat ini Ghoffar tampak sedang menjalankan tu­gas kepahlawanannya sebatas ke­luarganya. Akan tetapi, saya ya­kin, keluarga mereka kelak akan menjadi pahlawan bagi bangsa dan negara ini. Semangat, Ghof­far!!

sumber: detik.com

============================================================
============================================================
============================================================