20150622_162806BOGOR, Today – Saat BOGOR TODAY berkunjung ke workshop wayang golek milik Dase Adang Sutisna, nam­pak tidak ada aktivitas pengrajin. Beberapa bahan baku pun tergeletak di lantai. Dase mengaku bahwa pengra­jin sedang libur. Bukan hanya karena Bulan Puasa, li­burnya pengrajin karena industri yang ia geluti sedang sepi pembeli.

“Semua karyawan tadinya hanya 7 orang, tapi kare­na sedang sepi jadi yang bertahan hanya dua karyawan. Sisanya ada yang balik jadi sopir angkot, kuli bangunan dan lain-lain,” ungkap Dase.

Salah satu faktor sepinya daya beli turis, diakui karena kurangnya dukungan Pemerintah Kota Bogor terhadap industri rumahan ini. “Saya pernah bertukar informasi dengan pengrajin di Bali dan Yogyakarta. Pen­grajin di sana banyak dibantu pemerin­tah. Karena kerajinan yang dihasilkan merupakan bentuk pelestarian budaya. Jadi, hotel-hotel di sana diwajibkan un­tuk merangkul pengrajin dan membeli produk dari pengrajin sebagai bagian dari konsep kearifan lokal,” jelas Dase.

Di Bogor, lanjut dia, hotel tumbuh subur namun hotel-hotel tersebut tidak banyak yang menerapkan unsur kearifan lokal. “Pemerin­tah tidak mau menggedor para pengusaha itu. Mestinya yang mendirikan hotel di sini harus mengusung keraifan lokal dengan menghidupkan pengarajin dan pelestari budaya. Wayang golek su­dah mau pudar, siapa lagi yang mau melestari­kan,” bebernya.

Bahkan, ketika Dase tidak cukup modal untuk memenuhi pesanan, ia hanya men­gandalkan pinjaman dari keluarga atau orang-orang terdekatnya yang nominalnya tak seber­apa. “Kalau kekuranngan bahan baku kayu, cat atau kain batik, saya pinjam ke keluarga saja,” imbuhnya.

(Apriyadi Hi­dayat)

============================================================
============================================================
============================================================