Untitled-22JAKARTA TODAY – Indonesia bisa ‘swasemba­da’ Bahan Bakar Minyak (BBM) alias memenuhi 100% kebutuhan BBM dari produksi dalam neg­eri mulai 2024. Itu akan terjadi bila seluruh ren­cana modifikasi kilang lama dan pembangunan kilang minyak baru terealisasi dengan baik.

PT Pertamina (Persero) berencana melaku­kan upgrade (Refinery Development Master Plan/RDMP) untuk meningkatkan kapasitas Kilang Balikpapan dan Kilang Cilacap. Juga membangun 2 kilang baru (Grass Root Refin­ery/GRR), yaitu di Tuban dan Bontang. Kalau semuanya berja­lan lancar, kapasitas kilang di dalam negeri dapat mengim­bangi konsumsi BBM di dalam negeri pada 2024. Kapasitas kilang yang saat ini baru 1 juta barel per hari bisa meningkat 120% menjadi 2,2 juta barel per hari.

Bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia bahkan bisa mengekspor solar untuk memenuhi permintaan di luar negeri. “Kalau RDMP selesai, 2 GRR selesai, tahun 2024 kita su­dah nggak impor, sudah man­diri. Kapasitas kilang kita sudah 2,2 juta barel per hari. 2020 justru kita sudah ekspor so­lar,” kata Direktur Pengolahan Pertamina, Rachmad Hardadi, saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (19/4/2016).

RDMP Balikpapan diren­canakan bisa menambah kapa­sitas kilang hingga 100.000 barel per hari. Modifikasi akan dilakukan dalam 2 tahap, tahap pertama selesai 2019 dan tahap kedua selesai 2022. Modal (cap­ital expenditure/capex) yang dibutuhkan untuk RDMP Balik­papan mencapai US$ 2 miliar.

BACA JUGA :  Jadwal SIM Keliling Kabupaten Bogor, Rabu 24 April 2024

RDMP Cilacap dijadwalkan selesai 2022. Untuk Kilang Ci­lacap ini, Pertamina memilih Saudi Aramco sebagai strategic partner. Ditargetkan kapasi­tas produksi kilang bisa bert­ambah 20 ribu barel per hari. Capex yang dibutuhkan US$ 5 miliar.

Sedangkan GRR Tuban direncanakan selesai 2021, ca­pex yang dibutuhkan US$ 12-14 miliar. Pertamina diberi penu­gasan khusus oleh pemerintah untuk membangunnya. Kilang ini bakal berkapasitas 300.000 barel per hari.

Kemudian GRR Bontang di­harapkan selesai 2023. Capex US$ 14 miliar, kapasitas produk­sinya akan mencapai 300.000 barel per hari. Selain itu, RDMP juga akan dilakukan di Kilang Dumai, Plaju, dan Balongan.

Sementara itu, volume im­por minyak dan gas pada Ma­ret 2016 yang meningkat tajam 36,25% dibanding bulan sebel­umnya perlu diwaspadai seir­ing harga minyak dunia yang mulai merangkak naik.

Ekonom Institute for De­velopment Economics and Finance (Indef), Dzulfian Sy­afrian mengatakan konsumsi masyarakat terhadap migas masih tinggi dan terus tumbuh. Hal ini akan mengancam nera­ca perdagangan ke arah defisit jika harga minyak mengalami kenaikan. Selama Maret 2016, dia mencermati harga minyak dunia naik cukup tajam. “Jika tren kenaikan ini terus berlan­jut, Indonesia lambat laun akan mengalami defisit kembali,” ucapnya, kemarin.

Badan Pusat Statistik akhir pekan lalu merilis data nilai impor Januari 2016-Maret 2016 mencapai US$31,94 miliar atau turun 13,05% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

BACA JUGA :  Jaro Ade Kantongi 10 Nama Pendamping di Pilkada 2024

Nilai ekspor Januari 2016-Maret 2016 mencapai US$33,59 miliar atau menurun 14% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Zdulfian menjelaskan pe­nyebab utama penurunan neraca perdagangan secara nilai, karena rendahnya harga minyak dunia yang anjlok di kisaran US$40-US$45 per barel.

Bahkan, harga minyak dinia sempat menyentuh level kurang dari US$30 per barel pada bulan-bulan sebelumnya atau terendah dalam dekade terakhir. “Pemerintah jangan terlampau gembira dulu den­gan kabar suplus neraca perda­gangan ini karena surplus ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal yaitu jatuhnya harga minyak,” katanya.

Peningkatan volume impor migas pada Maret 2016 terjadi pada minyak mentah yang naik 71,6% atau sekitar 915,1 ribu ton, hasil minyak naik 1,58% atau setara 30,8 ribu ton, dan gas meningkat 38,9% atau 119,5 ribu ton.

Dzulfian menambahkan har­ga minyak yang rendah menjadi peluang bagi negara pengimpor minyak karena membantu sta­bilisasi rupiah dan menurun­nya ongkos produksi industri. Namun, penurunan harga min­yak juga membuat penerimaan negara menjadi sulit.

Menurutnya, pemerin­tah harus mencari alternatif penerimaan, seperti terus menggenjot dan mengoptimal­isasi penerimaan dari pajak. Selain itu, penurunan harga minyak juga akan menghambat berkembangnya energi alter­natif dan terbarukan seperti biofuel, biodiesel karena energi alternatif akan kalah bersaing selama harga minyak masih ter­jangkau. (Yuska Apitya/dtk)

============================================================
============================================================
============================================================