Pasar modal Indonesia cukup bergantung pada kondisi perekonomian global. Saat pasar dunia mengalami tekanan, pasar saham dalam negeri ikut terguncang. Tak heran, karena mayoritas kepemilikan saham di pasar modal Indonesia adalah asing, bahkan mencapai 63 persen
Oleh : Adilla Prasetyo
[email protected]
Indeks Harga Saham GaÂbungan (IHSG) sempat menyentuh level 4.100 atau jauh lebih rendah dari posisi tertingginya di kisaran angka 5.500 di tahun ini. “Kok kita cepat kena imÂbas di luar negeri sih? Ya kaÂrena pengaruh investor asing lumayan cukup,†ujar Gilman Pradana Nugraha, Kepala Unit Pengelolaan Galeri BEI saat acara Sosialisasi Pasar Modal di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (16/9/2015).
Dia menjelaskan, saat ini kepemilikan asing di pasar modal Indonesia mencapai 63 persen. Minat investor lokal di bursa saham masih minim. Saat ada penawaran saham perdana oleh berbagai peruÂsahaan, peminatnya hampir didominasi asing.
Ini yang menyebabkan dominasi asing tak bisa diÂhindari. IHSG pun ikut meroÂsot saat terjadi tekanan di luar negeri. “Guncangan-gunÂcangan selalu terjadi karena 63 persen saham-saham kita dimiliki investor asing, saÂhamnya ada di Indonesia, peÂrusahaan di Indonesia, listed di Indonesia tapi yang banyak beli investor asing,†sebut dia.
Hal tersebut berbeda denÂgan dengan Malaysia dan Singapura. Investor domestik lebih banyak dibandingkan asing. Saat ini, Indonesia baru ada sekitar 408.000 invesÂtor di pasar saham, itu hanya 0,2 persen dari 240 juta penÂduduk.
Sementara Malaysia terÂcatat ada 4,4 juta investor pasar modal. Filipina 885.000 investor atau 0,6 persen dari total penduduk, sedangkan Singapura mencapai 1,63 juta investor atau 30 persen dari total penduduknya sebesar 5,4 juta orang.
“Jadi mereka pengaruh asÂingnya nggak terlalu besar. Misalnya nih ada investor asÂing mau jual saham, ada yang nampung investor domesÂtiknya jadi ya tetap di dalam, selain itu juga harus IPO-nya banyak,†katanya.
Meski demikian, Gilman menyebutkan, dalam jangka panjang pasar saham akan terus meningkat. Pengaruh The Fed hanya bersifat seÂmentara. “Investor asing memang lagi pada keluar karena memang lagi ada The Fed tapi company di InÂdonesia tidak berpengaruh tetap jalan. Pasar saham tuÂrun terjadi di seluruh dunia tidak hanya Indonesia, AgusÂtus kita jatuh paling cepat, pulihnya juga cepat, listed company kita masih profit,†ujarnya.
Gilman menyebutkan, saat ini nilai kapitalisasi pasar saham mencapai Rp 5.200 triliun, hampir mendekati perbankan yang mencapai Rp 5.615 triliun. “Saham ada Rp 5.200 triliun, hanya 400.000 investor, artinya wajar kalau ketimpangan super kaya dan miskin terlihat. Sedangkan bank Rp 5.615 triliun, itu diÂmiliki 53 juta nasabah RI,†jelas dia.
Gilman menyebutkan, berinvestasi di pasar saham memang diperuntukkan bagi investor jangka panjang. Secara jangka panjang, keÂuntungan investasi di bursa saham bisa berlipat-lipat dibanding instrumen invesÂtasi jenis lain.
Sebagai contoh, seorang investor menempatkan danÂanya sebesar Rp 11.800.000 di saham pada tanggal 1 JanuÂari 1993. Sementara dengan jumlah yang sama disimpan di dolar AS. Dengan uang tersebut, dia bisa mendapatÂkan US$ 5.700 dengan asumsi dolar AS saat itu US$ 2.000.
“Saham itu lebih outperÂform dalam jangka panjang, kita ambil 20 tahun ternyata di 2012, yang tadi Rp 11.800.000 di saham Unilever sudah jadi Rp 1,5 miliar. Sementara yang ditaruh di dolar AS hanya daÂpat US$ 24.000. Jadi membeli saham itu membeli kondisi masa yang akan datang bukan saat ini,†jelas dia.
Berikut kapitalisasi saham terbesar di BEI:
Sampoerna Rp 335 triliun
Unilever Rp 295 triliun
BBCA Rp 291 triliun
Telkom Rp 278 triliun
ASII Rp 247 triliun
BBRI Rp 234 triliun
BMRI Rp 199 triliun
BBNI Rp 81 triliun
GGRM Rp 80,3 triliun
Kalbe Farma Rp 72 triliun
Indocement Tunggal
Prakarsa Rp 71 triliun