MENGAWALI kepemimpinannya sebagai raja Pajajaran, persoalan pertama yang dihadapi Prabu Surawisesa adalah berkembangnya rumors, bawa Prabu Siliwangi mangkat karena penghianatan. Dalam Carita Parahiyangan, diperÂgunakan istilah sang mWakta ring Rancamaya. Artinya, kematian yang disÂebabkan oleh penghianatan. Namun tak disebutkan siapa penghianatnya.
Oleh :Â Bang Sem Haesy
PERBATJARAKA (1921) meÂmaknai kata rancamaya dalam konteks kalimat itu seÂbagai penghianatan. Baik dalam makna harafiah maupun dalam makna konotatif. Hal ini sekaÂligus menjadi panÂdangan lain tentang kematian prabu SiliÂwangi, yang dalam kisah lain banyak diseÂbut terjadi di Bubat saat terjadi perang besar denÂgan Majapahit, selepas gagalnya pernikahan Hayam Wuruk dengan Puteri Diah Pitaloka.
Dalam Carita Parahiyangan yang ditemukan kembali di Bali ini, terkeÂsan, Prabu Siliwangi mangkat di Pakuan, tersebab oleh tekanan berat secara psikis dan psikologis dari perilaku Gajah Mada yang menghianati hubungan baik antara Prabu Siliwangi dengan Hayam Wuruk. Satu-satunya yang menghibur Prabu SiliÂwangi adalah pilihan Dyah Pitaloka untuk memilih jalan kematian dengan memÂpertahankan jati diri dan kehormatannya (dignity).
Di awal abad ke 20, merujuk pada catatan Ten Dam, Perang Bubat tak perÂnah terjadi. Demikian juga dengan perÂjanjian tertulis antara Pajajaran dengan Portugis. Ten Dam menyebut, salah satu kecerdasan Prabu Surawisesa dalam melakukan diplomasi adalah mencapai kesepahaman secara lisan, tetapi dilakuÂkan secara formal dengan menggelar upacara.
Tetapi Hageman (1867) meyakini perÂjanjian Pajajaran – Portugis dilakukan seÂcara tertulis, melalui penanda-tanganan memorandum of understanding (MoU – dalam istilah sekarang). Eksplisit HageÂman menulis, “Van dese overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij één behield.†WangÂsakerta juga menulis hal yang senada, dan mencatat: “mwang magawe serat sireka sang bule dlaha yan sang kumara makaratu Sunda lawan sinungan pasenÂggahan Sang Prabhu Surawiçesa ngaran ira.†Perjanjian dikukuhkan secara tertulis dalam naskah rangkap dua, dan masing-masing pihak memegang satu. Perjanjian itu, ditanda-tangani sendiri oleh Prabu Surawisesa selaku raja Pajajaran.
Disebutkan pula, perjanjian itu diÂsaksikan oleh Adipati Bengar, Mandari Tadam, Sabandar (dari Pajajaran), serta Fernando d’Almedida, Francisco Anes, Manuel Mendez, Joao Continho, Gil BarÂboza, Tome Pinto, Sebastian de Rego, dan Francisco Diaz (dari pihak Portugis).
Prabu Surawisesa memandang pentÂing diplomasi internasional untuk memÂperlancar kepentingan ekspor untuk meningkatkan pendapatan kerajaan bagi kepentingan rakyatnya. Ekspor produksi hasil sumberdaya alam bagi Pajajaran, dalam sikap dan tindakan Prabu SurawisÂesa merupakan keniscayaan untuk memÂberi nilai lebih dari proses ngejo – menyeÂjahterakan rakyat.
Perjanjian antara Pajajaran dan PorÂtugis, berbasis ekonomi, seperti tertuang dalam barter lada dengan barang keperÂluan hajat hidup rakyat Sunda, termaÂsuk tekstil dan hasil industri, termasuk senjata. Perjanjian yang berlangsung 21 Agustus 1522 itu dicatat di dalam beberaÂpa dokumen, sebagai perjanjian bilateral – internasional pertama yang pernah diÂlakukan oleh kerajaan Nusantara kala itu.
Ketika Portugis membangun padrao (tugu) bertatah ukiran lencana Raja ImanÂuel di muara Ciliwung dan dan muara CisÂadane, belum ada persoalan yang munÂcul. Tapi, ketika Portugis membangun pemukiman untuk warganya di kawasan itu, berbentuk benteng, Raja Trenggono terusik. Raja Demak ini berpikir, Prabu Surawisesa membiarkan Portugis menanÂcapkan kekuasaannya untuk menguasai jalur perdagangan laut.