Oleh: R. MUHAMMAD MIHRADI, S.H.,M.H.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Otonomi Daerah dan Dosen FHÂ Universitas Pakuan
Diduga karena ketidaÂkharmonisan Pemkot Bogor dengan DPRD. Di sisi lain, berdasarÂkan UU Nomor 17 TaÂhun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) memang hak angket dimaksudkan untuk menyÂelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan berdampak luas bagi masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan denÂgan peraturan perundang-undanÂgan. Yang menarik adalah bahwa penyelidikan dimaksud dilakukan oleh lembaga politik (DPRD) denÂgan asumsi perspektif politik akan lebih dominan sementara yang diselidiki adalah domain hukum. Ada wilayah abu-abu antara poliÂtik dan hukum.
Polemik
Hak Angket yang dilakuÂkan DPRD Kota Bogor berangÂkat dari terbitnya surat dispoÂsisi penundaan pemenang lelang proyek APBD yang ditandatanÂgani oleh Wakil Walikota Usmar Hariman. Dari kalangan yang mempersoalkan surat disposisi tersebut berpendapat, Wakil WaÂlikota Usmar Hariman telah inÂtervensi dan menyalahgunakan wewenang karena seharusnya yang memiliki wewenang terkait lelang tersebut adalah Unit PelayÂanan Pengadaan (ULP) berdasarÂkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 juncto Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa ULP merupakan unit organisasi yang berfungsi melakukan pengadaan barang/jasa yang bersifat perÂmanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang telah ada.
Secara umum, ULP memiliki wewenang (1) menetapkan dokuÂmen pengadaan; (2) menetapkan pemenang lelang; (3) mengusulÂkan penetapan pemenang lelang pada pengguna anggaran untuk kategori tertentu; (4) mengusulÂkan pada pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran agar penyedia barang/jasa yang melakukan perbuatan seperti peÂnipuan, pemalsuan dan pelangÂgaran lainnya dicantumkan dafÂtar hitam dan memberikan sanksi administratif (Pasal 9 Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan PenÂgadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 Juncto PerÂaturan Lembaga Kebijakan PenÂgadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 5 Tahun 2012 tentang Unit Layanan Pengadaan).
Di sisi lain, penulis dan mungÂkin publik, tidak tahu persis buÂnyi surat disposisi penundaan pemenang proyek lelang APBD tersebut, motivasi dan latar beÂlakangnya bagaimana dan tuÂjuannya apa. Dengan demikian, maka belum tentu surat disposisi dimaksud keliru secara hukum karena harus dibuktikan dulu pada lembaga hukum.
Sebab, bisa saja Wakil WalikoÂta Usmar Hariman menerbitkan surat disposisi dimaksud berÂdasarkan penafsiran pada Pasal 65 ayat (2) huruf d juncto Pasal 66 ayat (1) huruf c UU Nomor 23 TaÂhun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang pada intinya memÂberikan wewenang pada Wakil KeÂpala Daerah untuk melaksanakan tugas dan wewenang Kepala DaeÂrah bila Kepala Daerah berhalanÂgan sementara. Salah satu tugas dan wewenang Kepala Daerah yang bisa dikompatibelkan pada kasus disposisi di atas adalah “wewenang mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendeÂsak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakatâ€. Dalam konteks ini maka perlu diuji apakah penerbitan dispoÂsisi penundaan pemenang lelang dalam konteks Pasal 65 ayat (2) huruf d juncto Pasal 66 ayat (1) huruf c UU Nomor 23 Tahun 2014 di atas?
Sisi Politik
Mohtar Mas’oed, pakar politik Indonesia, di tahun 1994 menerÂbitkan buku Negara, Kapital dan Demokrasi dicetak ulang oleh Pustaka Pelajar (2003) pada halaÂman 154-155 mengingatkan fenomÂena relasi rawan antara penguasa dan pengusaha. Menurutnya, “banyak pengusaha yang berhaÂsil di tingkat lokal adalah mereka yang bisa menjalin hubungan paÂtronase politik dengan penguasa lokal. Berbagai jaringan keorganÂisasian di tingkat lokal, termasuk ormas, dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk mencari akÂses ke dalam birokrasiâ€. Mohtar Mas’oed mencontohkan misalnya di bisnis konstruksi. “misalnya kontraktor besar (misalnya, tipe B) di daerah kabupaten cendÂerung memiliki otonomi politik lebih kecil dibanding dengan kontraktor kecil (misalnya tipe C) karena semakin besar volume pekerjaan yang ditangani semaÂkin banyak memerlukan peran pemerintah. Karena itulah, kasus-kasus patronase dan klientelisme lebih banyak melibatkan kontrakÂtor besarâ€.
Kutipan panjang lebar di atas dari Mohtar Mas’oed dimaksudÂkan sebagai sinyal dari penulis bagi pihak pendukung hak angÂket DPRD Kota Bogor agar tidak terjebak dugaan pergeseran raÂnah tujuan penyelidikan dugaan pelanggaran hukum oleh Wakil Walikota Usmar Hariman ke arah yang justru kontraproduktif misalnya persaingan di kalanÂgan usaha kontruksi di dalam memenangkan lelang. DPRD Kota Bogor harus istiqomah berjalan di sisi hukum melalui jalur politik untuk menentukan adakah penyÂalahgunaan wewenang dari Wakil Walikota Usmar Hariman dalam kasus surat disposisi tersebut. SeÂbab, hal ini sangat berkaitan denÂgan marwah lembaga DPRD Kota Bogor yang tengah dipertaruhÂkan. Dengan demikian, ada baiÂknya mengoptimalkan pelibatan ahli hukum untuk memberikan dukungan kajian terhadap hak angket tersebut.
Implikasi
Ada hal lain yang harus dicerÂmati dari kasus hak angket UsÂmar. Pertama, hak angket yang digunakan oleh DPRD meruÂpakan instrumen politik yang tengah mendeteksi pelanggaran hukum. Hasilnya bisa jadi adalah keputusan politik berdasarkan dugaan pelanggaran hukum. Lalu, andai DPRD bersepakat, dapat diusulkan pemberhentian Wakil Walikota kepada Menteri berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) atas pendapat DPRD bahwa Wakil Walikota dimaksud melanggar larangan yang diatur di UU Nomor 23 Tahun 2014 tenÂtang Pemerintahan Daerah (Pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2014). Problemnya, bagaimana bila MA tidak sependapat dengan DPRD bahwa Wakil Walikota sudah meÂlanggar hukum yang diatur UU Nomor 23 Tahun 2014? Kedua, bila ditengah proses hak angket maupun pengusulan pemberÂhentian Wakil Walikota melalui pengujian pendapat DPRD oleh MA, ternyata pihak kejaksaan pun melakukan proses hukum dugaan korupsi dan diproses di pengadilan tindak pidana korupsi serta tidak terbukti dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang Wakil Walikota. Maka, apakah tidak berbenturan antara pendapat DPRD yang menduga ada pelanggaran hukum dengan putusan pengadilan yang meÂnyatakan sebaliknya.
Kedua asumsi di atas haÂrus dipikirkan oleh DPRD sedari awal, khususnya para pengusung hak angket agar proses penyelidiÂkan dugaan penyalahgunaan weÂwenang Wakil Walikota didasari fakta hukum, kajian hukum dan perspektif hukum sehingga tidak menimbulkan anarki politik di atas landasan negara hukum.
Pada akhirnya, bagi publik pilihannya adalah turut berkonÂtribusi merawat implementasi negara hukum demokratis dan mendorong tata kelola pemerinÂtahan yang baik. Dalam kasus hak angket Usmar, publik mendapat benefit berupa pembelajaran politik dan hukum. Selain itu, bagi penyelenggara pemerintahÂan kasus ini dapat menjadi sinyal agar senantiasa menegakan huÂkum, keadilan dan demokrasi seÂcara otentik. (*)