Oleh: RAHMATUL UMMAH ASSAURY
Pegiat Diskusi CangKir Kamisan Metro

Hingga kini demokrasi baru bergerak dalam batasan formal ele­ktoral-prosedural, tetapi tak menyurut­kan kepercayaan banyak orang untuk terus berharap hak-hak mer­eka dijaga dan dihargai dalam de­mokrasi. Kepercayaan yang begitu besar terhadap demokrasi, bahwa didalamnya ada jalan menuju ke­sejahteraan berupa penghargaan terhadap kehidupan yang berbeda dan saling menghargai.

Demokrasi dinarasikan sebagai hal yang ideal untuk memberikan landasan dan mekanisme kekua­saan, berdasarkan prinsip persa­maan dan kesederajatan manusia.

Demokrasi menempatkan ma­nusia sebagai pemilik kedaulatan, yang kemudian dikenal den­gan prinsip kedaulatan rakyat, tentu saja bukanlah ancaman terhadap identitas nasional dan kemandirian politik bangsa. De­mokrasi sama sekali tidak dimak­sudkan untuk menggerus nilai dan identitas lokal.

Demokrasi yang dipraktikkan hari ini adalah demokrasi yang di­dasarkan pada idealisasi kontrak sosial, sebagaimana yang dikenal­kan John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu. Pemenuhan hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai masing-masing orang se­cara individual, tetapi harus ber­sama-sama.

Maka, perjanjian sosial dibuat, yang berisi tentang apa yang men­jadi tujuan bersama; batas-batas hak individual; dan siapa yang bertanggung jawab untuk penca­paian tujuan tersebut, dan men­jalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya.

Perjanjian tersebut diwujud­kan dalam bentuk konstitusi seb­agai hukum tertinggi di suatu neg­ara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebi­jakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum, baik legislatif maupun eksekutif.

Nyatanya demokrasi yang telah lama muncul dalam risalah Yunani Kuno dan dipuja pada era modern di Eropa belum bisa membuktikan dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu dan penghargaan terhadap mer­eka yang berbeda. Silang sengka­rut pendapat antar individu bah­kan kelompok seringkali berujung pada pengeliminasian kelompok yang dianggap minoritas.

Keputusan bersama dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan mereka yang punya massa dan kuasa lebih besar, menekan mer­eka yang tak dominan dalam ke­melut hegemoni.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Hampir duapuluh tahun per­jalanan reformasi atau setidaknya empat kali perjalanan demokrasi liberal seolah tidak berimplikasi signifikan terhadap kehidupan dan kesejahteraan rakyat.

Apakah ini menjadi penanda kebenaran pernyataan Soekarno ketika berusaha menyatukan Nasi­onalis, Agama dan Komunis (Nasa­kom) untuk melawan imprealisme Barat, bahwa demokrasi Barat hanya menjamin kebebasan warg­anya dalam bidang politik, dan tidak berlaku di bidang ekonomi?

Disensus Demokrasi

Tidak adanya perubahan mendasar terhadap kesejahter­aan rakyat oleh pemimpin yang dihasilkan oleh sistem demokrasi liberal, menjadikan banyak ke­lompok ideologi bersitegang.

Bahkan ada yang secara ekstrim menolak demokrasi lib­eral sebagai sistem yang tepat untuk diterapkan di Indonesia, karena dianggap mengancam identitas nasional, kedaulatan, dan kemandirian politik bangsa. Kelompok-kelompok tersebut akhirnya menawarkan alternatif-alternatif ideologi, baik yang ber­basis agama seperti khilafah, mau­pun berbasis ideologi lain seperti sosialisme dan komunisme.

Pertarungan ideologi-ideologi tersebut, sebenarnya memang bu­kan hal yang baru, bahkan telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.

Tarik-menarik agama-negara, telah mengabadi dalam perde­batan yang tak kunjung usai hing­ga kini, meski para pendiri bangsa telah bersepakat bahwa identitas kebangsaan kita adalah identitas Bhinneka Tunggal Ika yang dikon­struksi dari identitas dan etnisitas keragaman suku, agama, budaya, dan bahasa.

Keragaman yang disatukan dalam ikatan Negara Kesatuan Re­publik Indonesia (NKRI) tersebut merupakan realitas empiris yang ti­dak bisa dipungkiri. Keragaman itu­lah yang sejak dulu dikenal sebagai potensi berbangsa dan bernegara.

Sehingga, founding fathers menetapkan Indonesia sebagai negara, yang bukan negara agama atau negara sekuler. Pilihannya berada tepat di tengah-tengah an­tara keduanya.

Persoalannya kemudian adalah, siapa yang memperkenalkan, dan selanjutnya memaknai, sehing­ga kenyataan keragaman menjelma dalam bentuk yang ruwet, memen­dam dendam kesumat yang tidak ada hentinya? Setiap kelompok merasa paling berhak dan absah menafsirkan identitas kebangsaan.

Perdebatan-perdebatan pan­jang yang tidak produktif hanya mengesankan pengulangan dari perdebatan panjang menjelang awal kemerdekaan, memperten­tangkan agama dan negara.

Setiap rezim menjalankan konsepsi bernegara berdasarkan watak rezimnya, dari praktik de­mokrasi terpimpin-nya Soekarno pada rezim Orde Lama yang me­maksa hengkangnya Hatta dari Wakil Presiden, demokrasi Pan­casila yang abstrak di era Orde Baru, hingga demokrasi liberal di era Reformasi hari ini.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Demokrasi kita yang gagal menunjukkan kesejatiannya, seb­agai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rkyat, akan men­jadi ancaman serius dalam kehidu­pan berbangsa dan bernegara.

Menguatnya pertarungan identitas dan simbol yang ber­muatan ideologi, akibat keti­dakpuasan terhadap praktik demokrasi inilah yang justeru akhirnya ditakutkan melahirkan apa yang disebut oleh J.F Lyotard sebagai disensus.

Disensus adalah istilah yang digunakan oleh J.F Lyotard (1979) untuk menjelaskan ketidakmung­kinan dicapainya konsensus dian­tara berbagai pihak yang berbeda, perbedaan lebih penting daripada kesatuan, dan disensus –ketida­ksepakatan- lebih mendapatkan prioritas dari konsensus yang seringkali hanya menutupi fakta ketidakadilan di belakangnya.

Hal ini disebabkan oleh ad­anya perbedaan aturan main, paradigma dan cara pandang. Jika semua daerah dan semua golongan menonjolkan identitas masing-masing, seperti maraknya kampanye tentang perda syari’ah di beberapa daerah, kemudian berbalas dengan lahirnya Kota Injil, dan bisa jadi disusul lahir Provinsi Hindu di Bali, maka mem­bawa Indonesia pada tahap disen­sus yang akan bermuara pada an­caman disintegrasi nasional.

Disensus ini ditentang oleh Jurgen Habermas (1994). Bag­inya politik disensus tidak akan menyelesaikan masalah-masalah masyarakat, ia lebih menawarkan konsensus yang adil.

Dalam konteks ini, Habermas memberi catatan-catatan sangat penting untuk mendapat per­hatian, sebagai syarat mencapai konsensus yang adil, yakni jujur, benar, dan komprehensif, tujuan akhirnya adalah konsensus ra­sional yang bebas dominasi.

Pada dasarnya, tidak ada yang harus dipertentangkan dari disen­sus Lyotard dan konsensus Haber­mas, selama tujuan utamanya adalah keadilan. Keberagaman identitas di Indonesia bisa meny­impul pada common sense dan common platform Pancasila seb­agai rumah bersama semua iden­titas, sebagaimana prinsip utama yang dibangun Soekarno sebagai filsafat dan dasar negara, Pan­casila adalah perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikema­nusiaan, dan demokrasi. (*)

============================================================
============================================================
============================================================