Opini-2-Rizal-Mallarangeng

Oleh: RIZAL MALLARANGENG
Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta

Kata-kata kuncinya adalah so in play: berubah, bergerak, membingungkan sekaligus menggairahkan, sering menjengkelkan, tetapi juga mem­buka sebuah celah baru. Betapa tidak? Sepanjang sejarah prakon­vensi partai di AS, belum pernah terjadi dinamika seriuh dan sepa­nas ini. Rating Foxnews dan CNN menembus rekor setiap kali me­liput debat yang dihadiri Trump. Tokoh-tokoh superkaya Amerika memang kerap tampil di arena politik (Nelson Rockefeller, Ross Perot), tetapi mereka tidak pernah sampai ke Gedung Putih.

Namun, Trump, dengan kekayaan pribadi lebih dari 10 miliar dollar AS atau hampir Rp 150 triliun dalam kurs sekarang, yang diperoleh dari usaha prop­erti, termasuk kasino, mungkin akan menghasilkan cerita ber­beda. Dengan harta sebanyak itu, ia bisa melakukan apa saja tanpa tergantung kepada siapa pun. Ia memiliki armada pribadi, terma­suk pesawat jet segala ukuran, semua dengan logo ”Trump” yang dibuat mencolok. Ia sanggup me­nyewa konsultan kampanye, dari yang paling eksklusif di Washing­ton DC sampai yang ecek-ecek di kota kecil.

Pada awalnya Trump tidak di­anggap serius. Ia memang super­kaya, tetapi sangat kontroversial. Gaya pribadi serta kata-katanya cenderung kampungan—agresif, blak-blakan, sering merendahkan, walau terkadang cukup jenaka. Dia pebisnis ulung, tetapi di mim­bar politik lidahnya sering tak terkontrol, unpolished. Presiden Obama, misalnya, dia kecilkan sebagai pemimpin yang tak kom­peten. Sementara kaum politisi di Capitol Hill disebutnya sebagai orang-orang tolol dan boneka yang gampang dibeli oleh kaum pemilik duit. Bahkan, para ko­mentator televisi tidak luput dari sentilan Trump. ”They think they are smart, but actually they are a bunch of fools.”

Sebaliknya, terhadap dirinya sendiri, ia memuji setinggi langit. ”I am so rich, tak terbayangkan oleh orang biasa. Saya lulusan Wharton School of Business di universitas terbaik Amerika. Saya mendirikan perusahaan kelas dunia. Karena itu, saya pasti berhasil sebagai presiden. Istri saya cantik jelita. Anak saya juga. Saya tidak ada beban. Rakyat butuh saya untuk memulihkan kebesaran Amerika.”

Dengan semua itu, wajar jika Trump dianggap unpresidential, tidak menampakkan sosok dan wibawa seorang presiden. Karena itu, hampir semua talking heads, komentator, dan ahli politik sejak awal sudah meramalkan bahwa raja properti itu tinggal menung­gu waktu saja. Trump menggali kuburnya sendiri. Kejatuhannya adalah niscaya, seperti hukum gravitasi.Namun, tunggu pu­nya tunggu, setelah kontroversi datang-pergi, ternyata hasil sur­vei berkata lain. Bukannya turun, tingkat dukungan bagi Trump ma­kin melangit. Sekarang angkanya sudah mencapai batas psikologis 40 persen di beberapa wilayah, jauh di atas pesaing lain, termasuk Jeb Bush, yang semula dianggap kandidat terkuat.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Pada September ini, gelom­bang dukungan bagi Trump bah­kan sudah dianggap sebagai se­buah movement, mirip dengan fenomena Obama pada pemilu 2008. Sebagian pengamat dan kaum intelektual mulai khawatir bahwa tokoh kontroversial itu bet­ul-betul akan menjadi presiden.

Perubahan

Apa yang sesungguhnya ter­jadi? Trump bukan tokoh baru. Dua kali mencoba menjadi kandi­dat presiden, ia selalu gagal total. Dalam pemilu 2012, dia malah di­anggap lelucon. Faktor apa yang kini berubah dalam masyarakat Amerika? Kenapa saat ini Trump menjadi kandidat terdepan dan terus menguat, bukan hanya di ka­langan pemilih Republiken, tetapi juga dalam batas-batas tertentu di kalangan Demokrat dan kaum in­dependen? Apa yang terjadi pad­amu, Uncle Sam?

Pada hemat saya, ada tiga faktor penting di sini. Pertama, suasana anti partai dan anti poli­tisi kini sangat kental di kalangan pemilih. Rakyat rupanya ingin sesuatu yang lain sekarang, lebih populis, lebih cair, praktis, serta berjarak dari partai politik. Faktor ini tidak hanya terjadi di AS, tetapi juga di Eropa dan banyak negeri demokrasi lain. Hampir semua kandidat presiden yang ada, baik Republiken maupun Demokrat, menjadikan Washington DC—sim­bol politik dan pemerintahan—se­bagai sasaran kecaman.

Suasana hati pemilih sema­cam itu sangat menguntungkan Trump. Bertahun-tahun ia telah memiliki brand yang kuat di luar politik, baik sebagai pengusaha sukses maupun sebagai pembawa acara populer di televisi, The Ap­prentice. Dengan mudah ia men­jadi tokoh alternatif pada saat rakyat sekarang membutuhkan sebuah pilihan di luar sistem. Hal ini sulitterjadi pada Hillary Clinton dan Jeb Bush karena latar belakang mereka yang begitu berakar pada politik dan pemerintahan.

Kalau sudah klik dengan sua­sana hati rakyat, segala kelema­han Trump akan dilihat dari sudut lain. Keangkuhannya dipahami se­bagai daya tarik tersendiri.Dalam hal ini, saya teringat pada Muham­mad Ali, yang pernah berkata bah­wa dia adalah orang hitam paling ganteng, bergerak bagaikan angin, dan memukul KO George Fore­man semudah merobohkan rum­put kering. Terhadap arogansi ini, para pemuja Muhammad Ali pada dekade 1970-an akan bertepuk tangan sambil tersenyum, bukan mencemooh atau berpaling. Hal seperti inilah yang sekarang se­dang terjadi pada Trump.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Faktor kedua adalah jurang yang melebar antara kaum atas dan pemilih umumnya, khu­susnya dalam masalah kultural dan persepsi terhadap kehidu­pan. Kaum elite AS makin tidak mengerti apa yang terjadi atau apa yang diinginkan the political base. Satu contoh menarik di sini me­nyangkut isu imigrasi. Trump san­gat menyudutkan kaum migran ilegal dari Meksiko dan menjadi­kannya sebagai isu sentral. Hal ini dikecam keras oleh kaum elite AS dari semua spektrum politik. Ia di­anggap tidak manusiawi. Namun, ternyata banyak orang Hispanik yang mendukung Trump sebab mereka juga cemas pada kaum migran ilegal yang merambah ke mana-mana.

Satu atau dua dekade lalu, isu ini mungkin tidak relevan. Na­mun, sekarang, ketika jumlah pe­milih Hispanik sudah mencapai 15 persen, melampaui jumlah pemil­ih kaum hitam, isu ini bukan lagi persoalan remeh. Trump menger­ti hal ini dan berhasil menggunak­annya sebagai salah satu sumber penarik dukungan yang efektif.

Faktor ketiga berhubungan dengan media sosial. Di masa lalu, jika semua jaringan media kon­vensional sudah menyudutkan seorang kandidat, riwayat kan­didat tersebut akan tamat. Seka­rang, walau The New York Times, CNN, dan Foxnews bisa dikatakan bersikap anti Trump, dampaknya sudah jauh berkurang. Malah bisa jadi efeknya justru memukul balik: semakin dikecam, rakyat keban­yakan semakin bersimpati kepada Trump dan menyalurkan per­asaan mereka lewat jutaan pesan serempak di Twitter, Facebook, atau Youtube. Kita bisa berbeda pendapat tentang kekuatan pen­garuhnya, tetapi tanpa mengerti peran medium baru ini, perkem­bangan politik Amerika akan sulit dipahami.

Konstruktif?

Pastilah ketiga faktor peruba­han di atas tidak berperan sendiri-sendiri. Ketiganya berkombinasi serta dalam takaran masing-ma­sing mengubah fondasi politik. Perubahan ini, tanpa banyak dis­adari, kini menghasilkan sesuatu yang mengejutkan, yaitu the Trump phenomenon.

Saat ini, ia hanyalah salah satu kejutan yang dilahirkan oleh pe­rubahan tersebut. Di masa depan, pasti masih akan ada lagi berbagai kejutan lain. America now is so in play: kita berharap, kalau terjadi, kejutan tersebut akan mengarah pada sesuatu yang lebih kon­struktif. Bagaimanapun, Amerika adalah negara demokrasi modern pertama yang tetap menjadi sum­ber inspirasi bagi banyak negara lain, termasuk kita.

============================================================
============================================================
============================================================