JOPI Peranginangin pada 23 Mei 2015, setelah menonton band Navicula yang mendukung kampanye sebuah organisasi lingkungan hidup, dibunuh. Siapa sebenarnya Jopi Peranginangin? Kenapa dia dibunuh?
Oleh: FIRDAUS CAHYADI,
Aktivis Lingkungan
Jopi–begitu ia akrab diÂpanggil–adalah seorang aktivis lingkungan hidup. Ia pernah bekerja berÂsama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Greenpeace. Sejak Januari 2015, ia menjabat juru kampanye dan kepala proyek riset perizinan kebun sawit di Sawit Watch.
Akhir-akhir ini Jopi dikabarÂkan sedang menginisiasi peneÂlitian tentang peraturan daerah (perda) untuk mencegah korupÂsi di perkebunan sawit yang kerÂap muncul tanpa proses. Proyek itu dilakukan selama setahun di Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah. Hasil penelitian renÂcananya akan diterbitkan seÂbelum Juli 2015. Sayang, belum sempat hasil penelitian itu diterÂbitkan, Jopi telah dibunuh.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, pada awal Mei, seorang pejabat negara yang sangat dekat dengan kekuasaan menÂgatakan bahwa sawit harus diÂproteksi pemerintah sehingga, apabila ada lembaga atau keÂmenterian, bahkan LSM (lemÂbaga swadaya masyarakat), yang menghambat perkembangan inÂdustri sawit nasional, mending dibolduser saja.
Apakah pembunuhan Jopi hanya sebuah peristiwa krimiÂnal biasa atau terkait dengan pernyataan pejabat yang akan membuldoser pihak-pihak yang mengganggu perkebunan sawit? Jawaban dari pertanyaan itu berÂgantung pada sebuah proses huÂkum yang jujur, transparan, dan adil atas kasus pembunuhan Jopi.
Terlepas dari apakah pemÂbunuhan Jopi ada kaitannya dengan pernyataan keras sang pejabat kepada pihak-pihak yang mengkritik perkebunan sawit atau tidak, yang jelas upaÂya untuk membuldoser aktivis lingkungan hidup sebenarnya sudah lama terjadi di negeri ini.
Ini konsekuensi logis dari model pembangunan yang kini sedang menjadi arus utama dan didukung para pengambil kepuÂtusan di banyak negara, baik negara-negara maju maupun berkembang. Model pembanguÂnan itu adalah memaksimalkan keuntungan korporasi dengan mengeluarkan biaya sosial dan lingkungan hidup dari keseluruÂhan proses produksinya. Biaya sosial dan lingkungan hidup itu nantinya akan dibebankan keÂpada negara dan masyarakat. Korporasi cukup memberikan sedikit uang untuk memoles citranya sehingga tetap diterima oleh masyarakat.
Dipertahankannya model pembangunan seperti tersebut di atas menjadi ancaman bagi aktivis lingkungan hidup. SeÂbab, model pembangunan itu mengharuskan negara dan juga korporasi membuldoser suara-suara kritis aktivis lingkungan dan masyarakat yang memproÂtes aktivitas perusahaan.
Jika demikian, sebenarnya, bila ingin menghentikan upaya membuldoser aktivis lingkunÂgan hidup, kita harus mengaÂwalinya dengan menghentikan model pembangunan yang merusak alam. Sebab, keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama. Jika negara yang seharusÂnya melindungi keselamatan warganya memilih untuk memÂbuldoser aktivis lingkungan hidup dan di sisi lain membiarÂkan terus model pembangunan yang merusak alam, itu sama saja dengan upaya bunuh diri secara ekologis. Hal seperti ini seharusnya segera disadari oleh Presiden Jokowi. (*)