Oleh: AUNUR ROFIQ
Sekjen DPP PPP; Praktisi Bisnis
RAPBN 2016 tersebut disusun atas dasar seÂjumlah asumsi makro sebagai berikut: PerÂtama, pertumbuhan ekonomi 2016 ditargetkan 5,5%. Kedua, laju inflasi 2016 diperÂkirakan mencapai 4,7%. Ketiga, nilai tukar rupiah diperkirakan sebesar Rp13.400 per dolar AS. Keempat, rata-rata suku bunga surat perbendaharaan negara tiga bulan 5,5%. Kelima, asumsi rata-rata harga minyak mentah IndoÂnesia USD60 per barel. Keenam, produksi minyak bumi 830.000 barel per hari dan gas bumi sekiÂtar 1,155 juta barel setara minyak per hari. Adakah yang istimewa dari RAPBN tersebut?
Dari sisi makroekonomi, pemerintah mematok target yang tidak terlalu tinggi mengingat risiko global masih belum usai sehingga perekonomian masih berpotensi menghadapi tekanan. Ruang fiskal juga terbatas. PemerÂintah mengajukan RAPBN 2016 dengan total belanja Rp2.121,3 triliun dan pendapatan negara Rp1.848,1 triliun. Dengan demikiÂan, RAPBN 2016 direncanakan mengalami defisit Rp273,2 triliun atau 2,1% terhadap produk doÂmestik bruto.
Artinya, belanja negara hanÂya naik 6,9% dari APBNP 2015 menjadi Rp2.121,3 triliun. AngÂgaran tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.339,08 trilÂiun dan dana transfer ke daerah dan dana desa Rp782,2 triliun. Sementara belanja pemerintah pusat masih didominasi fungsi pelayanan umum yaitu sebesar 57,1% dari total anggaran belanja. Artinya, RAPBN 2016 masih suÂlit untuk menjadi alat anggaran yang ekspansif di tengah kelesuÂan ekonomi. Meski demikian, ada peningkatan yang cukup signifiÂkan pada anggaran yang didaeÂrahkan yakni anggaran desa naik signifikan yakni 126% menjadi Rp47 triliun. Sementara fokus belanja pemerintah pusat diarahÂkan untuk infrastruktur.
Adapun pemerintah menÂganggarkan belanja infrastrukÂtur sebesar 8% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 atau senilai Rp313,5 triliun. Dalam APBNP 2015, pemerintah mengalokasikan unÂtuk infrastructure spending sebeÂsar Rp290,3 triliun atau meninÂgkat 63,18% dari realisasi APBN 2014, yang tercatat mencapai Rp177,9 triliun.
Meski ada peningkatan infraÂstructure spending, jauh dibandÂingkan peningkatan pada 2015. Memang ada peningkatan untuk infrastructure spending, namun dilihat dari persentasenya maÂsih kecil karena hanya mencapai sekitar 3% dari PDB atau jauh lebÂih kecil jika dibandingkan dengan Tiongkok di mana infrastructure spending sudah mencapai 11% dan India sebesar 7% dan MalayÂsia belanja infrastruktur terhadap PDB sudah mencapai 7%.
Sejumlah riset ilmiah mengeÂnai infrastruktur di negaranegara miskin menunjukkan bahwa negÂara-negara miskin memerlukan penggunaan sekitar 9% dari PDB untuk dapat mengoperasikan, memeliharaataumerawat, dan membangun infrastruktur jika negara miskin tersebut hendak meraih level Millennium DevelÂopment Goals (MDGs) (Antonio Estache, 2006).
Indonesia meski bukan kateÂgori negara miskin, kondisi infraÂstrukturnya juga masih mempriÂhatinkan. Perbaikan infrastruktur memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kualitas pembanguÂnan dan pengentasan kemiskinan. Dalam laporan Bank Dunia (Curbing Fraud, Corruption and Collusion in the Roads Sector, 2011) ditunjukkan beberapa studi yang secara jelas memaparkan kaitan tersebut.
Di perdesaan India, pembangunan jalan telah meningkatkan pertumbuhan dan produktiviÂtas pertanian (Fan, Hazell, dan Thorat, 1999). Demikian pula, pembangunan jalan di China dan Thailand memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumÂbuhan output, baik dalam kegiatan pertanian maupun nonperÂtanian (Fan, et. al., 2000, 2002, 2004). Hal yang sama juga terjadi di Meksiko, di mana pembanguÂnan jalan memberikan donasi yang kuat terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja (DeichÂman, et. al., 2002).
Desain Infrastructure Spending
Untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan, desain atau arah pengembangan infrastruktur hendaknya tidak lagi bias ke arah perkotaan, tetapi juga diarahkan keperdesaan atau pertanian.
Pengeluaran infrastruktur untuk sektor pertanian memiliki keterkaitan (lingkage) dengan sektor lain baik yang di hulu mauÂpun di hilir. Pembangunan infraÂstruktur juga harus memperhatiÂkan aspek kewilayahan. Saat ini sekitar 82% PDRB dikuasai Jawa dan Sumatera karena konsentrasi ekonomi terdapat di dua pulau ini, khususnya Jawa. Pemerintah juga harus melanjutkan fokus pada pembangunan infrastrukÂtur yang mendukung daya saing khususnya menjadikan efisiensi biaya logistik. Adapun potensi bisnis dalam bidang logistik di Indonesia sangat besar. Sesuai hasil penelitian Frost and SulliÂvan, nilai bisnis logistik Indonesia dalam dua tahun terakhir sekitar Rp1.400 triliun dan diprediksi naik menjadi Rp1.700 triliun.
Di tengah rendahnya infraÂstructure spending , pemerintah harus mengurangi tingginya koÂrupsi. Selama ini korupsi telah memperburuk kualitas infraÂstruktur karena ada mark-up. Menurut laporan Bank Dunia, proporsi anggaran yang dimark-up di negara berkembang rata-rata 40%, sementara di negara maju seperti Jepang, kisaran mark-up sebesar 20%.
Korupsi ini juga menyebabkan biaya investasi di Indonesia menÂjadi mahal yang tercermin dalam tingginya tingkat incremental capital output ratio (ICOR) atau perbandingan antara kebutuhan investasi dan pertumbuhan outÂput. Level ICOR Indonesia saat ini 5,3%. Artinya, untuk meningkatÂkan PDB sebesar 1% membutuhÂkan investasi sebanyak 5,3% dari PDB. ICOR juga menjadi salah satu indikasi tingkat efisiensi perÂekonomian suatu negara karena semakin kecil ICOR berarti suatu investasi mampu menghasilkan output yang semakin besar. Salah satu penyebab ICOR kita yang cukup tinggi adalah besarnya tingkat kebocoran dalam investaÂsi akibat korupsi atau ekonomi biaya tinggi. Investasi yang boros tersebut juga menyebabkan kualÂitas pertumbuhan yang kita capai menjadi kurang berkualitas dan berkesinambungan.
Selain keterbatasan anggaran dan korupsi, kita juga masih diÂhadapkan pula pada penyerapan anggaran yang rendah. Rendahnya penyerapan anggaran negÂara mempunyai implikasi serius terhadap upaya peningkatan kualitas pertumbuhan. Secara langsung, rendahnya anggaran menyebabkan rencana pembangunan tidak dapat terealisasi sesuai perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Padahal, pengeluaran pemerintah (anggaÂran negara) merupakan salah satu faktor penting pendorong kegiatan ekonomi. Lebih riskan lagi karena dana pembangunan terseÂbut sebagian juga dibiayai dari dana utang sehingga rendahnya penyerapan juga mengakibatkan pemerintah harus membayar biaya bunga untuk dana yang tidak dipergunakan secara benar. (*)