Oleh: DINNA WISNU
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina
Graduate School of Diplomacy
Namun, dalam keÂadaan damai, apakah kekuatan militer meÂmiliki daya gentar? Jawabannya mungkin tidak karena dalam damai maka negosiasi politik dan kekuatan ekonomi menjadi andalan unÂtuk menggentarkan negara lain. Minggu ini kita saksikan bahwa kekuatan militer menjadi tidak relevan karena krisis ekonomi yang mengguncang banyak negÂara. Mata uang negara-negara emerging-market dan pasar saÂham dunia yang rontok pada minggu ini adalah sinyal resmi krisis ekonomi.
Ini merupakan bagian dari pergerakan menuju keseimbanÂgan baru dalam sistem pasar kapitalisme saat ini. Dalam prosÂes mencari keseimbangan inilah, amunisi-amunisi ekonomi yang telah disimpan rapi dikeluarÂkan untuk tetap menjaga posisi dominan dalam pasar. Salah satu yang mengejutkan banyak pihak adalah serangkaian kebijakan Pemerintah China dalam melakuÂkan devaluasi. Di saat kita berÂdoa mata uang rupiah tidak akan terus melemah, China justru senÂgaja melakukan pelemahan mata uangnya. Alasan mereka melakuÂkan itu sudah tepat karena China mengutamakan agar produk-produknya tetap kompetitif di pasar dunia.
Kita juga tidak salah berdoa agar rupiah tidak melemah kareÂna produk ekspor kita sebagai besar komponen impornya maÂsih besar. Faisal Basri mencatat bahwa kandungan bahan baku/ penolong impornya masih 75,6%. Hal ini mengindikasikan bahwa kita masih membutuhkan rupiah yang kuat agar ekspor bisa terus lanjut. Namun hal yang membeÂdakan kita dan China adalah liÂkuiditas atau cadangan uang merÂeka yang banyak. Beberapa hari yang lalu Pemerintah China telah mengizinkan 30% dana pensiun mereka untuk digunakan memÂbeli saham-saham perusahaan yang menurun dengan tajam pada minggu ini. Kebijakan terseÂbut adalah yang pertama kali diÂlakukan oleh Pemerintah China karena sebelumnya uang dana pensiun hanya dapat digunakan untuk membeli surat utang negaÂra (treasury) dan deposito.
Pilihan untuk membelanÂjakan dana pensiun di pasar saham dan produk-produk tuÂrunannya (derivative) adalah keputusan yang logis. Karena jika menempatkannya pada deÂposito atau surat utang negara tidak bisa memberikan return yang tinggi dengan alasan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Selain memberikan kepercayaan kepada pelaku pasÂar bahwa saham-saham perusaÂhaan China masih memiliki nilai, investasi untuk membeli saham yang sedang turun saat ini diangÂgap tepat karena harganya sudah kompetitif.
Yang patut dipilah di sini adalah bahwa hal yang dilakuÂkan China pada dana pensiunÂnya adalah hal umum yang juga dilakukan negara-negara yang menggantungkan hidup dari ekonomi pasar kapitalisme. China mengupayakan mandiri dari kekuatan asing dengan cara memobilisasi dana segar dari maÂsyarakat, khususnya dari mereka yang tinggal di perkotaan. NaÂmun di sisi lain, kita tidak boleh lupa bahwa sistem pengelolaan jaminan sosial di China masih kental bergantung pada arahan dari sistem politik yang sentralisÂtis dan monolitis.
Lebih jelasnya demikian. ChiÂna, merujuk pada kantor berita Xinhua, memiliki dana pensiun sebesar USD548 miliar. Jumlah itu puluhan kali lipat dari dana penÂsiun yang dikumpulkan BPJS KeÂtenagakerjaan yang besarnya kiÂra-kira Rp203 triliun atau sekitar USD145 juta ditambah yang dikeÂlola swasta sebesar Rp185 triliun.
Besarnya dana tersebut tidak lepas dari transisi dari Sistem Jaminan Sosial Sosialis (1930- 1950) menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terintegrasi dengan pasar (1950-sekarang). Aiqun Hu (2014) mencatat bahwa perbedaan terbesar dari Sistem Jaminan Sosial Sosialis dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terkait dengan pasar adalah diperkenalkannya pilar â€rekenÂing individu†(individual account) di mana tiap orang (khususnya di perkotaan) yang terdaftar sebagai peserta Sistem Jaminan Sosial Nasional dibuatkan rekening-rekÂening terpisah untuk persiapan pensiun mereka.
Dana pensiun itu â€diisi†denÂgan iuran pekerja dan pemberi kerja sesuai dengan lama kerja dan persentase upah yang merÂeka lakukan selama bekerja. Dana yang terkumpul kemudian dapat diuangkan setelah mereka maÂsuk usia pensiun. Model ini lazim disebut sebagai system provident fund; mirip sekali pengelolaannya dengan dana Jamsostek dahulu. Kemiripannya dengan sistem JamÂsostek terdahulu adalah karena pengelola dana pensiun adalah BUMN dan program itu sifatnya sukarela, terutama bagi pekerja di perdesaan. Untuk masyarakat perdesaan ada skema terpisah. Demikian pula untuk para peÂkerja di perusahaan-perusahaan besar, mereka tidak tergantung pada skema pensiun yang dikeÂlola oleh pemerintah tersebut.
Lain provinsi, lain pula sistem jaminan sosial yang diterapkan di lapangan. Kebetulan saja jumlah penduduk di China cukup besar sehingga dana yang terkumpul pun cukup besar. Karena penÂgelolanya adalah BUMN, pemerÂintah â€berhak meminjam†dana untuk mendongkrak kinerja pemerintah.
Dalam Sistem Jaminan Sosial Sosialis model Uni-Soviet, warga negara tidak memiliki rekening pribadi karena memang seluruh fasilitas diberikan oleh negara. Uang untuk pensiun sepenuhnya diambil dari kas negara. Karena dalam sistem sosialis semua warÂga adalah pekerja dan tidak ada majikan sehingga tidak dikenal iuran yang harus dibayar oleh peÂrusahaan atau pengusaha. Model ini yang diadopsi negara-negara Eropa Timur pada masa itu. Bedanya China dengan negara-negara sosialis lain adalah karena Negeri Tirai Bambu ini mengakui adanya tanggung jawab majikan (bahkan ketika yang disebut maÂjikan adalah BUMN) dalam meÂnyediakan jaminan sosial bagi pekerjanya. Saat Deng Xiao Ping memperkenalkan dualisme ekoÂnomi di beberapa provinsi, dana pensiun juga dilimpahkan tangÂgung jawabnya kepada perusaÂhaan. Pada hakikatnya sistem yang baru mensyaratkan ada kontrol atas dana pensiun oleh serikat buruh, tetapi karena seriÂkat buruh di China adalah bagian dari rezim yang ada, kehendak pemerintahlah yang terjadi.
Yang menarik bagi kita adalah bahwa besaran dana pensiun ini cukup untuk menggentarkan negara-negara lain apabila merÂeka mencoba berspekulasi dan masuk terlibat dalam perang mata uang. China punya keunÂtungan politik karena tidak perlu khawatir akan protes rakyatnya bila dana pensiunnya digunakan untuk menalangi saham perusaÂhaan-perusahaan yang terancam bangkrut akibat krisis ekonomi.
Di sinilah kita di Indonesia perlu jeli. Kebijakan di China menunjukkan bahwa daya gentar suatu negara perlu juga didukung kemampuan negara mengerahÂkan sumber-sumber dana segar dari dalam negeri. Kini kita tahu apa saja amunisi yang dipakai oleh China untuk memenangkan perÂsaingan dalam kompetisi global.
Kita patut bersyukur bahwa sistem jaminan sosial di IndoneÂsia sudah meninggalkan model yang diterapkan di China. Artinya para pengiur relatif lebih tenang dan tidak perlu khawatir bahwa dana pensiun akan dipergunakan secara sepihak oleh pemerintah untuk agenda-agenda politik terÂtentu. â€Pagar-pagarnya†sudah disepakati dalam Undang-UnÂdang (UU) No 40/2004 dan UU No 24/2011.
Namun kita juga perlu peka pada kenyataan bahwa daya genÂtar dan kekuatan ekonomi suatu negara ditunjukkan juga oleh kemampuan negaranya dalam mengembangkan cadangan dana segar. Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu seperti sekaÂrang, itulah pentingnya kita memÂbiasakan diri untuk menyisihkan penghasilan bulanan untuk dana jaminan sosial. Kita bisa belajar dari Jepang yang berhasil keluar dari krisis ekonomi pasca Perang Dunia II dengan menggenjot penÂgumpulan dana jaminan sosial (termasuk pensiun) untuk meÂnambah likuiditas ekonominya. Pada akhirnya â€kekuatan†negara adalah refleksi dari â€kekuatan†warganya. (*)