Oleh: USTADZ SOLICHIN AL-AMIN
KHUTBAH PERTAMA

Assalaamu ‘alaikum warahÂmatullahi wa barakaatuh
Innal hamda lillaahi nahmadÂuhu wanasta’iinuhuu wanastÂaghfiruh wa na’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa, man yahÂdihillaahu falaa mudhillalah wa man yudhlilhu falaa hadiyalah. Wa asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyÂhadu anna muhammadan ‘abÂduhuu warasuuluhu laa nabiyya ba’dah. Allaahumma shalli wa salÂlim wabaarik ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shohbihi wa manihtadaa bi hudaahu ilaa yauÂmil qiyaamah. Yaa ayyuhannasu uushikum wa iyyaaya bi taqwalÂlaahi fa qad faazaal muttaquun. Qaala ta’aalaa: yaa ayyuhaladÂziina aamanuttaqullaha haqqaÂtuqaatihii wala tamuutunnaa illaa wa antum muslimuun. Yaa ayyuÂhalladziina amanuttaqullaaha wa quuluu qaulan sadiidaa. Yuslih lakum a’maalakum wa yaghfirÂlakum dzunuubakum wa man yuthi’illaaha wa rasuulahu fa qad faaza fauzan ‘adziimaa.
Pada kesempatan mulia ini mari sama-sama kita tingkatkan keimanan dan ketakwaan kita. Mungkin di hari dan waktu lain kita cukup sulit untuk mengaÂlokasikan waktu khusus dalam mengkondisikan keimanan kita, maka pada saat yang sangat muÂlia ini kita optimalkan waktu yang sebentar ini untuk kembali kepaÂda Allah Swt, meningkatkan iman dan takwa kita.
Jamaah jum’at yang dimuliakan Allah
Godaan maha besar berupa wanita, seorang istri seorang pejaÂbat tinggi di Mesir yang mengajak berbuat tidak senonoh pernah diÂhadapkan kepada Nabi Yusuf As. Namun ketahanan mental dan keÂsucian jiwa beliau, disamping peÂtunjuk serta perlindungan Allah Swt, akhirnya bisa selamat dari godaan itu. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) denÂgan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memaÂlingkan dari padanya kemungÂkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf: 24).
Perlindungan Allah yang diterima Nabi Yusuf As tersebut, lantaran sifat dan sikapnya yang cenderung shalih dan taat akan hak-hak Ilahiah. Sikap dan sifat Yusuf As itu pula yang menghanÂtarkannya kegerbang kemuliaan dirinya didunia dan akhirat. FirÂman Allah Swt:
“Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat keÂpadaku“. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kamiâ€.(QS. Yusuf: 54).
Kedudukan tinggi yang diberiÂkan kepada Nabi Yusuf As adalah menteri keuangan. Beliau menÂjalankan tugasnya dengan dua modal kriteria, yaitu;pertama, hafidh (kecakapan menjaga), amanah, jujur dan dipercaya. Kedua, ‘alim (kemampuan inteleÂktual), cerdik
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (MeÂsir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuanâ€.(QS. Yusuf: 55).
Dua sifat tersebut merupakÂan pilar penyangga kesuksesan dalam setiap pekerjaan Yusuf As. Perkataan beliau “jadikanlah aku bendaharawan negara“tidak lain dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan serta membantu mengatasi krisis yang melanda bangsa saat itu, disampÂing itu beliau memahami betul akan beratnya pangkat dan jaÂbatan. Beliau memilih jabatan itu karena ketulusan hati dan keberÂsihan jiwa, bukan karena mencari popularitas diri atau menimbun kekayaan atau ambisi kekuasaan. Sebab ternyata dengan dua sifat itu, beliau mampu mengeluarÂkan negara dan bangsa dari krisis yang menyengsarakan. LantaÂran itulah Allah tak segan-segan mamberikan kepadanya tamkin (posisi yang kuat) dalam sebuah pemerintahan. Firman Allah Swt:
“Dan demikianlah Kami memÂberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia keÂhendaki di bumi Mesir ini. Kami melimpahkan rahmat kami keÂpada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala diakhirat itu lebik baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa.†(QS. Yusuf: 56-57).
Jamaah jum’at yang dimuÂliakan Allah
Jabatan dalam pandangan Islam bukanlah kehormatan, melainkan mas’uliyah (tanggung jawab) dan mandat yang berarti butuh pengorbanan bukan mumÂpung-isme (manipulasi kesempaÂtan). Sebab tugas adalah amanat yang akan dipertanggungjawÂabkan, baik di dunia maupun di akhirat kelak, dihadapan Allah. Oleh karenanya setiap pemimpin ataupun pemegang amanat haÂruslah orang yang mempunyai dua sifat diatas; hafidzun dan ‘alim, yaitu sosok yang mampu menjaga kekayaan dan hasil bumi negara untuk kemaslahatan umat dan bangsa dan sekaligus memÂpunyai kemampuan memberdayÂakan secara proporsional SDA dan SDM yang dimiliki.
Dalam Al-Quran surat At-TauÂbah ayat 128, Allah menjelaskan tentang sifat kepemimpinan RasuÂlullah Saw yang merupakan protoÂtype bagi setiap orang yang diemÂbani amanat memimpin bangsa dan negara. Allah Swt berfirman:
“Sungguh telah datang keÂpadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukminâ€.
Adapun sifat-sifat yang terseÂbut dalam ayat tadi adalah:
Pertama, ‘azizun ‘alaihi ma ‘anittumâ€, berat beban atas Rasul dari apa yang dirasakan umatnya. Beban yang dirasakan oleh rakyat hendaknya menjadi beban moral pemimpin bangsa sebagai rasa kepedulian yang mendalam terhÂadap berbagai permasalahan dan problematika bangsa. Ia senantiaÂsa memikirkan nasib bangsa dan negara sebelum memikirkan diri, dan kelompoknya.
Kedua, “harisun ‘alaihimâ€, pemimpin yang menginginkan kebaikan bagi rakyat. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempunyai keinginan dan tekad yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, bukan sebaliknya, pemimpin yang memikirkan keÂmakmuran diri dan keluarga serÂta kroni-kroninya.
Ketiga, â€roufur rahimâ€, peÂmimpin yang santun dan kasih. Sifat rahmat (kasih sayang dan lemah lembut) hendaknya diwuÂjudkan dalam sikap dan prilaku setiap muslim, sehingga seluruh alam bisa merasakan misi keislaÂmannya. Setiap pemimpin pada level manapun, hendaknya berÂprilaku rahmat, kasih sayang, lemah lembut, baik pernyataan maupun sikapnya. Bukan sebaÂliknya, sikap dan pernyataannya membuat bingung, stres rakyat dan kontraproduktif.
Fenomena kekerasan, kerusuÂhan, keributan, baik di level elit politik maupun di level massa, sangat membutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kriÂteria diatas. Sehingga umat tidak terombang-ambing dalam ketidaÂkmenentuan dan ambisi pribadi.
Khutbah Kedua
Alhamdu lillahi hamdan kasÂtiiran kamaa amar. Asyhadu alÂlaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu wa raÂsuuluhul mab’uustu ilaa saa-iril basyar. Allaahumma fa shalli wa salim wabaarik ‘alaa sayyidinaa wa maulaanaa muhammadin nuuril anwaari wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi mashaabihil ghurar. Amma ba’du fa yaa ‘ibaadallaah uushiikum wa iyyaaya bi taqwalÂlaah fa qad faazal muttaquun. Qaalallaahu ta’aalaa filqur-aanil ‘adziim: innallaaha wa malaa-ikatahuu yushalluuna ‘alaanabiyy yaa-ayyuhalladzina aamnuu shalÂluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa. Allaahumma shalli wa sallim ‘alaa sayyidinaa muhammad wa ‘alaa aalihii wa ash-haabihii aj ma’iin, birahmatika yaa arhamarrahimiin. Allaahummaghfir lil mu’miniina wal mu’minaat wal muslimiina wal muslimaat al ahyaa-i minhum wal amwaat. Rabbanaa hab-lanaa min azwaajinaa wa dzurriyatiÂnaa qurrata a’yun waj-‘alnaa lil muttaqiina imaamaa. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaÂbannaar. Rabbanaa taqabbal minÂnaa innaka antassamii’ul ‘aliim wa tub ‘alainaa innaka antattawwaaÂburrahiim. Walhamdu lillaahi rabÂbil ‘aalamiin.
Kita berdo’a semoga Allah tiÂdak memberikan kepemimpinan kepada seorang yang tidak meraÂsa takut kepada Allah dan tidak mengasihi kita,“Allahumma la tusallith ‘alaina man la yakhofuka wala yarhamunaâ€, Amiin. WassaÂlaamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakaatuh. (*)