Oleh: BETTA ANUGRAH SETIANI
Saat kesenian menemuÂkan jalan, barangkali disanalah letak kesadaÂran tertinggi seorang manusia. Benar kata Gus Dur, bahwa, bukan hanya persoalan taat beribadah, melainÂkan sebagai hamba, manusia juga diperintahkan untuk menjadi peÂmimpin (khalifah). Dan seorang pemimpin harusnya peka pun mampu untuk memimpin segala kondisi objektif yang mengemuka.
Kondisi objektif itu tentulah berkutat pada persoalan-persoaÂlan kemanusiaan.
Di samping itu, teori sosial memandang, dalam sebuah konsÂtelasi yang dijelaskan Peter Burke, manusia dengan [m] kecil itulah yang kini makin marak tercipta. Manusia dengan [m] besar, artinya manusia dengan menggenggam karakter, sikap, mampu berdiri dengan tegap, memiliki kesadaran individu yang akan membentuk kesadaran kolektif itu sendiri. MaÂnusia yang sadar akan banyaknya persoalan di sekitarnya, manusia yang peka dan mau bergerak unÂtuk melerai dan mencari solusi dengan tetap memerhatikan raÂgam karakter manusia lainnya.
Bila saya berpanjang lebar pada esensi jalan mana yang dapat ditempuh oleh kesenian, maka di sini, akan saya kerucutÂkan. Saya melempar wacana pada sisi: bagaimana masyarakat luas dapat bebas mengapresiasi karya seni -di sini artinya harus ada waÂdahnya-, sekaligus mendapat araÂhan bagaimanakah cara mengaÂpresiasi dengan baik dan benar. Dari itu, nampaknya, akan saya beri analogi dalam bingkai kesÂusastraan klasik yang semestinya harus terus diperjuangkan tetap hidup dalam kehidupan yang suÂdah penuh intrik ini.
Sampai saat ini, John F. KenÂnedy tetaplah dikenang sebagai pemimpin yang berani berbeda. Ia berbeda dengan menelurkan kredonya (meminjam istilah Sutardji C. Bachri) “Jika politik bengkok, maka puisi meluruskanÂnyaâ€. Sebenarnya, ia juga serupa dengan para tokoh di agama IsÂlam, misalnya KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Gus Mus, Emha Ainun Najib hingga seorang sufi yang kini sedang naik daun, Candra Malik memberi stimulus yang terus-menerus dikumandanÂgkan dengan lantang. Bagaimana agama dan kemanusiaan, seperti kutipan di atas yang dikatakan AbÂdurrahman Wahid (Gus Dur) itu mesti seiya sekata, seiring sejalan.
Kembali lagi, saya tawarkan contoh betapa apresiasi itu pentÂing. Ternyata, betapa dalam makÂna nilai yang terkandung pada sebuah karya. Sebuah makna yang kadang kala kita merasa sulit atau mungkin juga malas berpikir. Sementara, padahal, kesenian diciptakan untuk dapat –tidak sekadar dinikmati- tetapi juga dapat dimaknai sedikit demi sedikit sampai akhrinya utuh. Di sinilah peran pengistilahan seorang ahli sastra dan penyair klasik Yunani, Horatius dimainÂkan “dulce et utileâ€, menghibur dan bermanfaat.
Lihatlah (lagi) karya yang suÂdah tak asing lagi bagi kita. Cerita Lutung Kasarung (LK) atau bisa juga permainan tradisional PaciÂwit-ciwit Lutung (PCL). Sebuah cerita/legenda dan permainan seÂjatinya tidak semata-mata mengÂgambarkan aktivitas yang diberi tanda makna denotasi, misalnya mencari jodoh, dikutuk, atau dalam permainan PCL saling mencubit di ujung lengan. Hasil kesenian di ranah tradisional ini mengantarkan kita pada makna kata “lutung†yang agaknya jadi kunci maknawi suatu simbol keÂpongahan sikap manusia yang selalu ingin berkuasa. Setiap kata dalam karya klasik ini dapat dijelaskan dengan menafsirÂkan setiap simbol yang tertera di dalamnya. Analisis dari segi akademis misalnya, kita dapat membedahnya dengan teori SeÂmiotik. Maka, dengan ilmu tanda tersebut, saya mencoba menangÂkap makna dan memperpanÂjangnya bahwa secara semiotik “lutung†merupakan simbol wuÂjud makhluk hidup yang selalu ingin berada di atas tangan siapa pun. Di dalam karya ini juga bisa didefinisikan suatu ekspresi dan rasa ihwal kejujuran dan suratan betapa jadi juragan dan bawahan, akhirnya juga akan menikmati kondisi senasib sepenanggungan.
Dengan demikian, kita bisa mengibaratkan bahwa orang yang serakah dalam kekuasaan meÂmiliki sifat seperti Lutung: ingin selalu berkuasa. Sehingga, haraÂpannya adalah para penerus perÂjuangan yang masih muda-muda (termasuk saya ini) harus terus berusaha untuk tidak menjadi orang yang serakah. Itulah barangÂkali letak nilai edukasi, di mana seorang anak dibentuk untuk meÂnyadari bahwa dirinya “manusia†dengan berbagai dimensi karakter positif dan sekuat mungkin meÂninggalkan hal-hal negatif. Senada dengan falsafah pendidikan: meÂmanusiakan manusia.
Selain nilai edukasi, cerita dan permainan tradisional ini mengandung Emotional QuoÂtient. Anak diajarkan kesabaran, ketabahan, dan kesadaran bahwa ketika kita menyakiti orang lain (dalam hal ini dengan mencubit), itu sebenarnya yang sakit adalah diri kita sendiri. Permainan salÂing mencubit berlangsung secara terus-menerus tidak ada habisÂnya, dan di sanalah seorang anak sedang berlatih sikap empati.
Ada nilai edukasi, ada pula nilai-nilai filosofis. Sebagaimana telah disampaikan pada paraÂgraf sebelumnya, permainan tradisional jika lebih mendalam diamati, ternyata memenuhi juga manfaat lain, di antaranya stimulasi fisik, emosi, dan sosial. Multiple intelegence (kecerdasan jamak) yang dipopulerkan oleh Howard Gardner, yang kemudian diaplikasikan di sekolah-sekolah dengan berbagai alat stimulasi rekaan dengan harga yang maÂhal (kadang-kadang) sebenarnya bisa dipenuhi dengan aneka perÂmainan dan mainan tradisional berbahan baku benda-benda beÂrasal dari alam. Selain harganya terjangkau, pemakaiannya pun jauh lebih aman, karena bebas dari unsur toxic (racun) dan efek-efek buatan teknologi lainnya.
Kesenian beserta jalan yang diÂtempuhnya barangkali tidak perlu kita dikotomi. Semua jenis seni nampak selalu akur. Tak pernah saling sikut. Adapun bila ada, maka yang salah adalah para pekerja seninya, yang mengaku-aku seniÂman yang hebat, tetapi mandek dalam memaknai kesenian dalam pengertian luasnya itu sendiri.
Ya, bahwa seni, apapun yang kita produksi hasil pelibatan: inÂtelektual, emosional, dan imajiÂnasi, adalah seni. Kata “indah†itulah yang khas di dalamnya. Itulah mengapa Firman VenayÂaksa, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat 2015-2020, Doktor biÂdang Ilmu Sastra menetaskan seÂbuah karya yang dinamakan PoÂetography (Poet and Fotography), salah satunya untuk memperkeÂnalkan puisi sangat mudah dielabÂorasi dengan karya seni lainnya yakni fotografi. Sungguh terbayÂang betapa nikmatnya membaca puisi dengan didukung visualisasi fotografi yang sesuai dengan kontÂen makna batin secarik puisi. SeÂlanjutnya, harian Kompas secara konsisten sejak 1992 melahirkan pameran Seni Rupa (Ilustrasi) yang merupakan aktualisasi dari cerpen-cerpen yang dimuat oleh Kompas setiap tahunnya.
Ya, demikianlah kiranya seÂdikit kelumit wacana dan sajian alternatif jalan yang ditemukan oleh seni agar tetap eksis di ruang publik dan dipandang ‘keren’ di mata anak muda. Semua genre seni dapat dipadukan sampai akhÂirnya tidak menutup kemungkiÂnan akan bermunculan kemasan karya-karya yang fantastis, bomÂbastis, dramatis sekaligus puitis berwadahkan apresiasi masyaraÂkat yang kreatif, aktif, dan kritis.
Jadi, untuk apa kita memeÂlihara dan mencintai lalu memÂperkenalkan kepada dunia tenÂtang budaya asli bangsa kita dengan kesenian yang banyak ragamnya? Tidak lain tidak buÂkan memang untuk menjumpai manusia (manusia dengan “M†besar) dengan beragam karakter dan berbagai persoalannya.
Memelihara dan menghidupÂkan kembali budaya bangsa pada dasarnya memang untuk merespons persoalan, nasib, keÂsakitan, kegembiraan, kelucuan, keriangan, kepalsuan, sekaligus keculasan manusia! Inilah juga misi yang digadang-gadang oleh hajat besar eksplorasi dan aprÂesiasi seni di kota Bogor pada September mendatang. Semoga dengan adanya wadah, upaya keÂsadaran, dan penyatupaduan segÂala bentuk kesenian berikut daya apresiasi yang luhur, niscayalah seni kita semakin menemukan jalannya. Oh ya, pukul berapa sekarang? Saya belum sarapan.
# Penggiat Sastra, Pendiri Komunitas ARtERI, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia STKIPM Bogor