Oleh: MEUTHIA GANIE ROCHMAN
Ahli Sosiologi Organisasi; Pengajar di UI;Â Anggota Panitia Seleksi KPK 2015
Lepas dari kerangka PanÂsel KPK dan berbagai reaksi yang diajukan dari anggota/kelompok masyarakat, penulis akan mengajukan pemikiran berÂdasarkan keahlian sebagai ahli soÂsiologi organisasi dan riset selama dua tahun berkaitan eksistensi KPK. Penulis ingin membagi persoÂalan KPK dalam dua wilayah besar, yaitu politik dan organisasional.
Wilayah Politik
Didirikannnya suatu lembaga anti korupsi hampir selalu meruÂpakan hasil dari suatu pemikiran bahwa korupsi merupakan persoÂalan serius bagi suatu negara. KoÂrupsi dipercaya dapat menghanÂcurkan basis ekonomi yang sehat, pelencengan sistem politik dan disintegrasi dalam masyarakat. Lembaga anti korupsi didirikan oleh para elite politik, baik karena pikiran progresifnya atau karena desakan masyarakat yang kuat. Di Indonesia, KPK didirikan dengan kewenangan yang lebih lengkap daripada lembaga penegak hukum lainnya dan mendapatkan banÂtuan penguatan pendirian fondasi organisasi dari berbagai organisasi dalam dan luar negeri.
Meski demikian, KPK mengÂhadapi korupsi yang dihasilkan dari ketimpangan kekuasaan warisan rezim yang lalu, persaingan politik yang tinggi setelah reformasi, dan kelemahan institusi negara. Faktor-faktor ini membuat korupsi meluas (melibatkan aktor yang beragam) dan mendalam (merasuki pusat-pusat politik dan ekonomi stratÂegis). Kondisi ini mutlak perlu penÂguatan organisasi anti korupsi yang membutuhkan dukungan politik, di samping penguatan teknokrasi kelembagaan. Pelajaran di semua negara, lembaga anti korupsi agar berhasil selalu membutuhkan duÂkungan politik yang besar. DukunÂgan politik membawa implikasi perluasan ruang gerak lembaga anti korupsi. Dukungan politik mengÂhambat penetrasi kepentingan dari aktor politik lain untuk melemahÂkan organisasi ini, misalnya melalui pelemahan wewenang. Dukungan politik akan mendorong pimpinan di lembaga publik untuk menerima lembaga anti korupsi agar memÂbawa pembaruan sistematis di lemÂbaganya. Dukungan politik juga meÂmungkinkan alokasi sumber daya negara untuk lembaga anti korupsi diperbesar.
Penguatan Kelembagaan
Penguatan kelembagaan meÂliputi pengelolaan internal dan eksternal. Penguatan internal meliputi penguatan kerangka kerja, instrumen dan mekanisme knowledge management, proseÂdur dalam organisasi dan sumber daya manusia. Kejelasan kerangka adalah dasar konseptual arah orÂganisasi ini ke depan. Perencana strategis KPK, yang telah dibuat, misalnya, memilih penindakan dan pencegahan korupsi di bidang sumber daya alam (SDA). Bidang ini dianggap sangat strategis unÂtuk menyelamatkan sumber kesÂejahteraan bangsa. Jika demikian, KPK harus memperkuat pendekaÂtannya dalam menangani penindaÂkan dalam bidang yang jadi karakÂter dari persoalan di bidang ini.
KPK telah melakukan beberapa studi tentang korupsi di wilayah SDA dan mendapatkan bentuk-bentuk korupsi dan persoalan leÂmahnya tata kelola di bidang ini. Namun, KPK harus tahu jauh lebih banyak, seperti bagaimana para aktor korup berjaringan dan meÂmanfaatkan sistem/aturan yang ada, serta bagaimana lembaga-lembaga publik yang terkait selama ini terkait dalam kelemahan sistem yang ada. Aspek konstruksi kasus dan penyidikan dalam bidang ini juga akan berbeda di bidang ini.
Isu besar lain yang sering terangkat adalah bagaimana menÂjalankan dua bidang pencegahan dan penindakan. Selama ini telah muncul pandangan bahwa kedua bidang ini harus berimbang dan terintegrasi. Namun, belum banÂyak pemikiran yang diangkat, pada tingkat konseptual dan penerapan bagaimanakah keduanya saling menguatkan yang lain. Dengan demikian, pertanyaannya adalah bagaimana penindakan akan menÂdorong perbaikan sistem pencegaÂhan; dan bagaimana pencegahan akan memudahkan penindakan?
Pencegahan seharusnya meÂmanfaatkan “ruang yang terbuka†akibat adanya penindakan. KoÂrupsi di pemerintah daerah atau di suatu lembaga pemerintah akan menciptakan kondisi “guncang†akibat adanya salah satu rantai jaringan korupsi diambil. Ruang terbuka ini bisa dimanfaatkan KPK untuk masuk memfasilitasi perbaiÂkan sistem. Jika dibiarkan, jaringan korup yang ada akan melakukan konsolidasi lagi. Karena itu, dalam penindakan KPK harus melakukan pilihan strategis bagi lembaga yang ingin diperbaiki. Ada pemikiran, untuk kondisi Indonesia, KPK harÂus fokus pada korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum, sepÂerti peradilan dan kepolisian. Hal ini didasarkan pertimbangan kedÂua lembaga ini paling mendasar dalam upaya melawan korupsi. PeÂmikiran ini mungkin benar. Tapi, dalam kondisi sekarang, untuk melakukan strategi ini KPK harus dapat dukungan politik besar dari elite politik, organisasi masyaraÂkat, dan pimpinan di kedua lemÂbaga itu sendiri.
Lebih realistis dalam kondisi saat ini adalah KPK menggunakan strategi memotong sumber daya korupsi yang dilakukan aktor elite partai yang menggunakan penÂgaruh politik untuk mengambil sumber daya di sektor negara. Caranya adalah memperbaiki tata kelola lembaga negara yang “baÂsah†dengan mendorong dibuatÂnya sistem peringatan (alert sysÂtem). Sistem dalam suatu lembaga ini diperbaiki koneksinya dengan sistem-sistem lain yang ada, sepÂerti BPK, PPATK, dan Ditjen PerÂpajakan. Tentu lembaga lain ini harus menjalankan perbaikan sistem juga agar dapat menanggaÂpi jaringan pengawasan bersama.
Penguatan Eksternal
Seperti sering dikatakan, KPK butuh lembaga lain dalam penanÂganan korupsi. Agar koordinasi dan supervisi KPK dengan lembaga penegakan hukum lain berjalan baik, perlu diciptakan mekanisme koordinasi seperti sistem komuniÂkasi dan data. Di pihak KPK, suatu pendekatan komunikasi yang tepat dengan pimpinan di lembaga lain itu sangat dibutuhkan, Namun, di pihak lain, pimpinan di lembaga lain pun bertanggung jawab memÂbantu KPK menjalankan fungsinya. Pimpinan di tiap lembaga, misalnya, mendorong komitmen internal dan memilih mekanisme yang sesuai kondisi di lembaga masing-masing.
Satu wilayah penguatan yang sering dilupakan adalah dukungan dari berbagai organisasi dan kelomÂpok profesional. Banyak organisasi yang sebenarnya bersedia mengaloÂkasikan sumber dayanya membanÂtu KPK. Namun, hingga saat ini, KPK belum terlalu berhasil menemukan skema yang membangkitkan enÂergi dari organisasi-organisasi lain. Selain skema yang ada masih perlu diperbaiki, skema lainnya juga perlu dikembangkan. (*)