BAGAI menggarami air di lautan. Itulah pepatah yang diarahkan pada mereka yang bermimpi sungai Ciliwung bersih. Gambaran kelam masa depan sungai ini, menjadi potret hitam putih yang seolah tak lagi memiliki warna hidup. Pekerjaan membersihkan sungai Ciliwung pun, dianggap sebagai perbuatan sia-sia.
Oleh: RIFKY SETIADI
Seperti habis air mata, wajah sungai Ciliwung dari posko pemantau Bendung Katulampa Bogor, terlihat mengering. Debit air yang biasanya diangÂgap buas kini tanpa riak dan gairah. Bebatuan besar dan beton pemecah arus yang beÂrada di dasar sungai Ciliwung, kini terlihat jelas diterkam maÂtahari. Di musim kering, sungaiCiliwung mengalami penuÂrunan debit air secara drastis sejak awal pertengahan bulan Juni lalu. “Saat ini, sungai CiliÂwung yang mengalir melalui BendungKatulampa hanya 100 liter air per detik. Sedangkan untuk saluran irigasi hanya diÂalirkan 1.900 liter per detik,†jelas Andi Sudirman, penjaga Posko Bendung Katulampa BoÂgor, kepada BOGOR TODAY, JuÂmat (18/09/2015), kemarin.
Dalam cuaca normal, debit air yang mengalir di sungai Ciliwung bisa mencapai hingÂga 4 ribu liter per detik. BahÂkan, di musim hujan debitnya bisa di atas 50 ribu liter per detik. Andi, sang penjaga air, hingga kini tetap setia mengaÂtur riak sungai Ciliwung, baik disaat meluap maupun ketika kekeringan melanda. Untuk mengantisipasi kekeringan ini, ia melakukan sistem pola berÂgilir dari Bendung Katulampa. “Langkah ini dilakukan untuk menyelamatkan ekosistem di sungai Ciliwung dan supaya tetap bisa mengairi sawah perÂtanian,†ungkapnya.
Andi memang memperÂlakukan sungai sebagai sahaÂbat. Ia sadar, air adalah denyut kehidupan. Kerenanya, upaya-upaya seperti pelestarian huÂtan di hulu sungai, menjaga kebersihan sungai dari samÂpah dan limbah, baik rumah tangga maupun industri, sudah seharusnya menjadi komitÂmen bersama. Ciliwung yang kerontang, menjadi teguran bagi kita, betapa selama ini kita tidak peduli pada pelestariandan kealamian sungai. Kita terlalu buruk memperlakukan sumber air ini. Namun, maÂsalah sesungguhnya ternyata juga bukan hanya muncul di hilir sungainya, namun justru berawal dari hulunya.
Di hulu sungai Ciliwung, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor badan sungai mulai dihadang beton bangunan. Vila-vila baru banyak yang bermunculan dan memakan lahan kosong yang dulunya adalah kebun. Di area hulu itu, ada beberapa titik alirankecil yang nantiÂnya menyatu menjadi Sungai Ciliwung. Antara lain, hutan konservasi Telaga Warna, Desa Tugu Utara, Situ Patung Pramuka, dan Perkebunan Teh Ciliwung. Sayangnya, di banÂtaran awal Sungai Ciliwung itu banyak dibangun vila dan peÂrumahan warga.
Di atas aliran sungai CiÂkamasan, salah satu hulu Ciliwung, berdiri bangunan-bangunan dengan beton yang justru menghalangi aliran air sungai Cikamasan. Di sisi lain, ada kamar mandi umum yang limbahnya langsung di buang ke sungai. Sementara di Desa Tugu Selatan, keadaan sungaipun sangat menyedihkan. Beton-beton villa menyempitÂkan aliran sungai. Beberapa vila terlihat dibangun tepat di badan sungai. Hulu lain sungaiCiliwung yang terletak di Desa Cibereum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, kondisinyatak kalah miris. Sampah-sampah yang sudah dikarungi denganplastik hitam bertumÂpuk dan bertebaran, semenÂtara sampah styrofoam terliÂhat ikut berceceran. Beberapa baliho juga tergeletak di pingÂgir sungai.
Dari beberapa titik hulu sungai Ciliwung ini, sungai yang awalnya besar, semaÂkin lama mengerucut dengan banyaknyarumah-rumah liar yang berdiri. Di beberapa titik itu juga, terlihat warga yang membuang sampah langsung ke hulu sungai Ciliwung. SamÂpah yang terbuang itu terÂkumpul di satu tempat karena tertahan oleh batu besar yang berada di sungai. Kerusakan yang dimulai dari hulu sungai inilah yang membuat ribuan warga Jakarta harus senantiasa mendapat kiriman banjir jika tiba-tiba curah hujan tinggi di kawasan Puncak.
Sungai Kritis
Kondisi kerusakan sungai Ciliwung yang membentang dari dataran tinggi Jawa Barat hingga Teluk Jakarta, memang semakin parah. Ciliwung meruÂpakan sungai dengan panjang hampir 120 kilometer. Sungaiini membelah wilayah Bogor, Depok dan Jakarta. Kondisi kritis di sungai itu cenderung semakin meningkat. MenuÂrut inventarisasiKementerian Lingkungan Hidup, kondisi kritis Daerah Aliran Sungai (DAS) tahun 1984 terhitung seÂbanyak 22. Di tahun 1992, DAS Kritis menjadi 39, dan pada 1998 jumlah DAS Kritis terus meningkatmenjadi 55 DAS dan bahkan menjadi 62 DAS di taÂhun 2010. Sungai Ciliwung terÂmasuk ke dalam salah satu DAS kritis di Indonesia dan terus mengalami kerusakan serius pada semua segmen.
Hilangnya spesies ikan menjadi salah satu indikator keparahan rusaknya Sungai Ciliwung. Dari 33 spesies ikan yang teridentifikasi hidup di sungai Ciliwung, hanya terÂsisa sekitar 20 jenis saja. BerÂbagai jenis ikan yang hilang dari sungaipenting di wilayah Bogor-Jakarta ini diantaranya ikan gobi dan jenis seperti ikan arelot, ikan soro, ikan berot hingga ikan belida yang kini seÂmakin sulit dijumpai dan hanyadapat ditemukan di sungai Cisadanesaja. Padahal, menuÂrut data yang pernah dihimpun oleh Biologi LIPI menyebutkan di era 1910-an jumlah ikan speÂsies ikan yang hidup di sungai Ciliwung diperkirakan bisa mencapai 187 jenis.
Berbagai informasi bahÂkan menyebutkan beragam jenis ikan seperti menga, ikan bawal, ikan patin, ikan gehed (sejenis ikan mas), sili, baung lilin, baung kuning, gurame dan buntal air tawar ikut menghilang dari aliran sungai ini. “Banyak ikan-ikan asli CiliÂwung yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memberikan nilai tamÂbah ekonomi maupun menjadi spesies khas dari sungai ini, entah untuk dikembangkan maupun untuk olahraga meÂmancing atau bahkan menjadi konsumsi,†ungkap Ruby Vidia Kusumah, aktivis Komunitas Peduli Ciliwung (KPC-Bogor) sekaligus peneliti pada Balai RiÂset Budidaya Ikan Hias (BRBIH) Depok.
Kualitas Air
Ancaman nyata lingkungan di aliran sungai yang mengalir dari daerah Puncak di Jawa Barat hingga Jakarta ini seÂmakin tak tak terhindarkan. Kondisi lingkungan kualitas air menurun akibat pencemaran limbah domestik dan industri dan siklus hidrologis yang flukÂtuatif. Padatnya pemukimandan luasnya industri di sepanÂjang aliran sungai ini, telah menyebabkan berkurangnya lokasi-lokasi bagi sungai unÂtuk melakukan sistem pulih dirinyasendiri. Salah satu loÂkasi ‘sistem pulih diri’ sungai Ciliwung adalah ketika aliran sungai melintas di Kebun Raya Bogor. Lokasi ‘sistem pulih diri’ ini sekaligus merupakan lokasi reservat yang baik yang secara layak dapat menjadi habitat bagi spesies-spesies biota yang ada di Ciliwung.
Kenyataan miris bahÂkan diungkapkan oleh Pusat PengelolaanEkoregion (PPE) Jawa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyatakan dari sembilan sungai di Pulau Jawa, Sungai Ciliwung menempati urutan pertama sebagai daerah aliransungai terburuk dalam rilis Indeks Kualitas LingkunganHidup (IKLH) berbasis DAS. Sembilan DAS tersebut yaitu Bengawan Solo, Brantas, CiliÂwung, Cisadane, Cimanuk, Citarum, Citanduy, Progo, dan Serayu. “Air di sungai-sungai tersebut tidak layak. KualiÂtas air masih berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat,†kata Kepala PPE Jawa Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananSugeng Priyanto.
Ia mengatakan kualitas air yang paling buruk dari sembiÂlan DAS tersebut dengan skala 0-100 adalah Sungai Ciliwung. Sementara yang tertinggi adalah Sungai Progo. “Itu baru dilihat dari aspek air. Padahal ada aspek lain yang juga bisa mengukur IKLH-nya,†ujarnya. Aspek atau komponen selain air kata dia, juga ada aspek udaÂra, lahan dan keanekaragaman hayati. Pada aspek sumberdaya air digunakan indikator kualiÂtas air sungai dan kekritisan air. Pada aspek udaradiguÂnakan indikator kualitas udara ambien dan pengatur kualitas udara. Pada aspek lahan mengÂgunakan indikator tutupan vegetasi dan lahan kritis. SeÂdangkan pada aspek keanekaragaman hayati digunakan inÂdikator keamanan ekosistem pengawet keanekaragaman hayati. “Seluruh air sepanjang Ciliwung berada di bawah baku mutu kualitas air. Sampah dan limbah selain mencemari juga mengurangi habitat ikan asli. Karena tercemar, masyarakat pinggir sungai juga kehilangan kesempatan pemanfaatan air,†tangap M. Muslich, aktivis KoÂmunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor.
Lomba Mulung Sampah
Penyusuran sungai CiliÂwung yang dilakukan KPC BoÂgor pada 2011 mencatat berÂbagai kondisi dan data yang perlu disikapi bersama. Dari kegiatan susur tersebut terÂcatat 134 titik sebaran sampah, 103 titik perumahan dan atau villa di bantaran Ciliwung, 87 titik anak sungai atau muara sungai, 163 titik mata air, 94 jembatan baik besar maupun kecil, 21 titik delta, 24 tempat pemancingan/kolam ikan, dan 353 titik buangan limbah baik dari industri maupun rumah tangga yang tersebar dari daerah Cibinong, Citayam hingga Stasiun Depok Lama dan Pondok Cina, Depok. “TiÂdak jarang kami menyaksikan warga membuang sampah ke Ciliwung ketika KPC sedang beraksi memulung di sungai. Dari situlah KPC mencari cara untuk mengajak peduli dan tiÂdak lagi membuang sampah ke Ciliwung. Akhirnya tercetuslah ide untuk menyelenggarakan lomba mulung,†tambah AngÂgit Saranta, anggota KPC Bogor.
KPC Bogor melakukan lomba mulung ini bagi keluraÂhan yang dilewati oleh Sungai Ciliwung. Ada beberapa kriteÂria yang dinilai dalam lomba mulung, yaitu jumlah warga yang mengikuti lomba; jumÂlah karung berisi sampah anÂorganik yang berhasil dikumÂpulkan; serta kreativitas dan dukungan dari warga. Dari kirtieria tersebut, kelurahan yang mendapatkan poin terÂtinggi akan menjadi pemenang dan mendapatkan piala berÂgilir dari Walikota Bogor serta sejumlah uang tunai yang diseÂdiakan panitia. Cara ini cukup berhasil dan memberi inspirasi bagi tindakan penyelamatan air sungai Ciliwung.
Komunitas Peduli Ciliwung dan Pemkot Bogor akhirnya menjadikan agenda tahunan dan merupakan bagian dari gerakan di Hari Jadi Bogor. TaÂhun 2015, Lomba Mulung ini sudah tujuh kali diselenggaraÂkan. Walikota Bogor Bima Arya mengingatkan pentingnya sinergi berbagai pihak dalam memperbaiki kondisi Ciliwung, terlebih jika mengingat kualitas air sungai yang semakin memÂburuk. “Kalau Pemerintah Kota saja tidak sanggup, tidak cuÂkup, tenaganya terbatas, harus didorong oleh warga. Ini tangÂgung jawab kita semua,†tegas Bima.
Sebanyak 13 Kelurahan se-Kota Bogor dan 3000 warga bergerak memulung sampah yang berada di sepanjang 26 km aliran sungai Ciliwung dengantarget mengangkatsampah di 45 titik pemulungan. Sampah-sampah itu, selanÂjutnya dipusatkan di 25 titik pengangkutan dan langsung diangkut kendaraan yang telah disiagakan oleh DKP Kota BoÂgor. Tak hanya ribuan warga, lebih dari tiga ratus tenaga sukarela juga ikut membantu pelaksanaan Lomba Mulung Ciliwung dan banyak dari merekayang juga datang dari luar Kota Bogor, seperti Depok dan Jakarta. Sebelumnya, di taÂhun 2014, dalam enam kali peÂnyelenggaraan lomba mulung, ribuan warga Kota Bogor telah berhasil mengangkat sampah sebanyak11.435 karung ukuÂran 25-50 kg. “Ini merupakan gerakan masyarakat Kota BoÂgor dalam menjaga kebersihan SungaiCiliwung, khususnya warga yang ada di bantaran sungai Ciliwung,†jelas Uju Juwono, Kepala Bidang KeÂbersihan DKP Kota Bogor. Semangatini akan terus dilakuÂkan sebagaiupaya untuk menÂjaga kelestarian dan kealamiansungai.
Kesetiaan dan konsistensi gerakan ini, layaknya air yang menetes di batu, terus perlaÂhan, tabah dan konsisten hingga akhirnya mampu melubangi batu. Fakta ini juga telah menyingkap kenyataan, menjernihÂkan mimpi dan harapan, bahwa mewujudkan sungaiCiliwung yang bersih bukanlah pekerjaan sia-sia. Andi Sudirman dan KPC Bogor telah berusaha memberi pesan bijak bahwa kelestarian air bertalian erat dengan kehidupan manusia. Kekeringan yang kini tengah melanda juga menjadi teÂguran bagi kita, mampukah kita menjadi sahabat air yang baik, agar senantiasa berdampingansepanjang hidup? (*)