- Hamdan Zoelva 2. Arief Hidayat
- Wahiduddin Adams 4. Maria Farida Indrati
- Anwar Usman 6. Patrialis Akbar
- Ahmad Fadlil Sumadi
- Muhammad Alim 9. Aswanto.
Namun setelah RPH itu diketok, putusan tiÂdak kunjung dibacakan dan mengumumkan ke publik. Hingga Hamdan lengser sebagai hakim konstitusi per 1 Januari 2015 lalu dan tampuk Ketua MK jatuh ke tangan Arief HiÂdayat. Namun setelah itu, putusan juga tiÂdak kunjung diselesaikan dan tidak pernah diumumkan hasilnya. Hingga MK membaÂcakan pada Selasa (22/9/2015) atau setelah 11 bulan berlalu sejak putusan dibuat. “Mengabulkan permohonan II untuk sebaÂgian,†kata Ketua MK Arief.
Terlambatnya pengumuman putusan ini sangat kontras dengan kinerja Mahkamah Agung (MA). Saat ini MA membuat reguÂlasi yaitu majelis mengumumkan putusan maksimal 1×24 jam sejak diketok. Artinya, regulasi ini sudah dipetieskan selama 11 bulan.
KPK Tak Mau Tahu
Menyikapi keputusan itu, Komisi PemÂberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tak mau tahu. “Selama ini KPK berpedoman keÂpada UU 30 Tahun 2002 dalam melakukan pemanggilan saksi dan atau tersangka KPK dalam kaitan dengan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kecuali jika tidak diiatur oleh UU 30 tahun 2002 maka KPK akan mengacu pada KUHAP dan KUHP,†kata Plt Pimpinan KPJ Johan Budi, Selasa (22/9/2015).
Jadi, KPK akan tetap melakukan peÂmanggilan tanpa perlu izin Presiden atau Mendagri. Lagi pula, dahulu aturan UU MD3 ini tidak berlaku bagi KPK yang mempunyai UU Khusus.
Sebelumnya, keharusan ini dituangkan dalam putusan yang dimohonkan PerkumÂpulkan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. Pemohon meminta pemeriksaan penyidik tidak perlu izin Mahkamah KehorÂmatan Dewan (MKH) untuk memberikan kesamaan warga negara di muka hukum. Tapi anehnya, selain menghapuskan ketenÂtuan itu, MK malah mengalihkan kewajiban penyidik meminta izin ke presiden. “Kita kecewa dengan putusan MK. Sebab menuÂrut kami ini janggal. Sebab kita perlu tahu kenapa ajukan permohonan untuk kesetaÂraan perlakukan WNI. Kalau orang umum dipanggil tanpa izin, lalu kenapa untuk angÂgota DPR harus ada izin,†ujar kuasa hukum Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, Ichsan Zikry, usai persiÂdangan di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Selasa (22/9/2015).
Untuk memutus seperti itu dia meniÂlai hakim harus memiliki alasan rasional dan objektif. Dia mencontohkan dengan UU Pemda tentang keharusan izin PresÂiden untuk Walikota dan Bupati yang henÂdak diperiksa, namun dibatalkan oleh MK. “Sebelumnya hanya DPR, sekarang makin parah karena anggota DPD dan MPR harus izin juga, bahkan DPRD juga. Bukan norma 245 itu saja. MK perluas objek pemerikÂsaan hingga pasal 224, yang mana memang berkaitan saat dia jalankan tugas dan keÂwenangan sebagai anggota DPR,†kata dia. “Tapi poin yang kita sayangkan, kenapa semangat kesetaraan DPR malah berujung semakin parahnya diskriminasi. Yang harÂusnya kita ingin anggota DPR tak perlu izin MKD, justru diperluas ke MPR dan DPD,†sambungnya.
Dia khawatir prosedur izin antara lemÂbaga eksekutif dan legislatif ini akan memÂperlambat proses penegakan hukum. Juga akan mempersulit proses hukum anggota DPR. “MK juga akui dalam pertimbangan, saat dipanggil proses hukum tak menghaÂlangi tugas-tugas dia. Pertanyaannya kalau tak ganggu kinerja kenapa harus ada izin. Ini kan cuma pemanggilan pemeriksaan. Kalau penahanan okelah bisa ganggu kinerja, tapi ini kan dipanggil doang. Kalau begini caranÂya semua pejabat negaa kalau mau diperikÂsa harus ada surat izin, bagaimana sulitnya usut pidana,†kata Ichsan. (*)